OPINI
Peserta Didik dan Demam Ranking Satu
Setiap Senin hingga Sabtu, ia harus berangkat dari rumah di lereng gunung menuju sekolah pada jam 05.00 pagi agar tidak terlambat.
Oleh: Abdul Muis Daeng Pawero, M.Pd
(Dosen FTIK IAIN Manado)
SEORANG siswa berseragam Pramuka dengan wajah berseri menunggu kedatangan ibunya demi memperlihatkan isi raportnya.
Beberapa saat kemudian, sang ibu datang dengan membawa bingkisan yang sepertinya sudah disiapkan sejak semula untuk diberikan kepada anaknya. Sikap sang ibu sangat antusias.
Melihat kedatangan ibunya, anak tersebut kemudian tersenyum seraya menyambut kedatangan sang ibu.
Ia kemudian bersama sang ibu berjalan bergandengan tangan menuju suatu ruangan di mana raport sang anak diletakkan di atas meja.
Sang ibu dan anak bersama-sama membuka raport hasil capaian anaknya.
Walaupun sang ibu terlihat sudah mengetahui hasil raport, namun tak menghalangi kepercayaan diri sang anak yang juga turut berkata kepada ibunya dengan bangga “ibu, aku mendapatkan ranking ke 27”. Ibunya sama sekali tak terlihat marah.
Alih-alih melancarkan kritikan dan protes tajam kepada anak, sang ibu justru meresponnya dengan bersorak gembira seraya memberikan peluk dan cium di dahi anaknya.
Lebih dari itu, sang ibu juga mengapresiasi capaian anaknya dengan memberikan bingkisan yang berisi makanan dan minuman favorit sang anak.
Demikianlah satu video viral yang beredar di media sosial yang turut mengundang banjir pujian dari warganet.
Dalam video tersebut, saya turut tergugah secara emosional khususnya dalam kata-kata yang keluar dari mulut sang ibu.
Sambil memeluk anaknya, sang ibu berbisik “apapun hasil yang kau dapat, kau selalu juara di hatiku”.
Tahu ibunya tetap menghargai hasil usahanya sekalipun terbilang jauh dari harapan, si anak sangat senang dan terus-terusan mengalungkan lengannya ke punggung sang ibu.
Peristiwa tersebut, sependek pengetahuan saya, merupakan peristiwa yang amat langka.
Saya sendiri sering menyaksikan perlakuan orang tua kepada anak yang mendapatkan peringkat paling belakang.
Melihat hasil capaian sang anak yang tidak memuaskan, tidak jarang orang tua sering melancarkan protes keras hingga pukulan fisik kepada sang anak.
Hal tersebut pernah dialami sahabat sekelas saya waktu Sekolah Dasar. Namanya berinisial ‘AP’.
Orang tuanya petani desa dan tinggal di lereng gunung yang berjarak sekitar 3 KM dari sekolah.
Setiap Senin hingga Sabtu, ia harus berangkat dari rumah di lereng gunung menuju sekolah pada jam 05.00 pagi agar tidak terlambat.
Ia juga harus melewati sungai kecil setinggi lutut orang dewasa. Proses menyeberangi sungai ini biasa dijalani dengan membuka baju seragam, memasukkannya ke dalam tas sekolah dan diangkat setinggi mungkin agar tidak basah.
Beberapa kali seragamnya basah karena terjatuh, atau volume air sungai yang naik. Ia juga sering menerima pukulan fisik dari guru karena terlambat dan baju seragamnya yang basah dan kotor.
Setiap penerimaan raport ia selalu berada di peringkat terakhir atau kedua sebelum paling terakhir. Pernah juga dia ketinggalan kelas sebanyak dua kali.
Di saat acara penerimaan raport, seluruh wali murid (orang tua) akan diundang. Peraih peringkat satu hingga peringkat tiga akan diumumkan dan dipanggil di atas panggung untuk menerima hadiah.
Kepala sekolah dan guru memberikan apresiasi kepada siswa yang meraih ranking, seraya mendoakan semoga cita-cita tercapai.
AP dan juga teman-temannya yang dapat peringkat akhir, akan mendapatkan bagiannya di rumah. Ketika saya ke rumah AP, saya mendapatinya menangis.
Adik AP mengatakan kalau kakaknya baru saja mendapatkan marah dan pukulan fisik dari ayah dan ibunya karena memperoleh ranking dua puluh.
Teman-teman saya yang dapat peringkat akhir juga mendapat perlakuan yang sama. Sesampainya di rumah, orang tua mereka dengan serta merta melancarkan kritikan tajam bahkan tak jarang makian dan pukulan fisik.
Waktu itu, saya tidak terlalu peduli dengan peristiwa tersebut meskipun ada rasa kasihan kepada sahabat saya yang mendapat perlakuan demikian.
Namun makin kesini, saya menyadari bahwa apa yang dialami AP dan sahabat-sahabat senasibnya, merupakan kesalahan pendidikan yang sangat fatal.
Sebagaimana yang dikemukakan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk bahwa peserta didik tidak boleh dilihat dari aspek kecerdasan kognitif semata, melainkan juga dari aspek delapan kecerdasan lainnya.
AP merupakan siswa yang memiliki kecerdasan kinestetik yang dibuktikan dengan kemampuan bangun pagi, mengelola waktu serta menyeberangi sungai untuk pergi ke sekolah.
Tujuan pendidikan Nasional sebagaimana dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 menunjukkan akomodasi kecerdasan majemuk tersebut.
Kesalahan fatal pendidikan tersebut meskipun merupakan virus yang diciptakan struktur kekuasaan orde baru dengan kebijakan pendidikan yang “kognitif oriented” serta miskin seni, namun juga terletak pada tradisi sekolah yang tidak memahami anak didiknya secara lebih kultural.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada guru-guru saya bahwa narasi 'ranking satu' dan 'yang terbaik' yang selalu dimunculkan khususnya di tengah keramaian media sosial, hanya akan melahirkan perbedaan kelas antar peserta didik.
Yang mendapatkan ranking dan berprestasi, akan di anggap sebagai manusia 'berkelas' dan yang tidak mendapatkan ranking atau tidak berprestasi akan dianggap 'peserta didik kelas dua' atau peserta didik dengan status rendah.
Informasi terakhir sahabat saya AP yang selalu dianggap rendah itu, telah menjadi petani sukses yang mengelola puluhan hektar sawah dan ternak, sedangkan sahabat saya yang selalu mendapatkan ranking, saat ini menjalankan profesi sebagai ibu rumah tangga dan pedagang kue.*
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.