Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu

Stunting dan Pragmatisme Politik

Salah satu isu terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah ‘stunting’. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita atau bayi

Editor: David_Kusuma
Dok Pribadi
Adi Tucunan 

Oleh: Adi Tucunan (Staf Pengajar FKM Unsrat dan Pengamat Kebijakan Publik)

SALAH satu isu terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah ‘stunting’. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita atau bayi di bawah lima tahun akibat kekurangan gizi kronis, sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.

Jika melihat data yang dikeluarkan oleh bank Dunia, Indonesia merupakan negara yang masih memiliki stunting tertinggi di dunia, walaupun di tahun 2022 angka penurunan stunting mencapai 21,6 persen, masih cukup jauh dari target yang ditetapkan 14 persen di tahun 2024.

Indonesia menduduki peringkat ke-5 stunting di dunia, itu artinya kita masih dalam situasi darurat terhadap stunting.

Indonesia sebenarnya telah meluncurkan strategi nasional untuk mempercepat pencegahan stunting 2018-2024 dengan melibatkan 23 kementerian dengan biaya mencapai 51,9 triliun rupiah yang melibatkan berbagai sektor dalam pemanfaatannya seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan anak, perlindungan sosial, serta keamanan pangan. Ini semua, butuh upaya keras dalam pengelolaan semua biaya ini.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mereview isu stunting ini dari ASPEK POLITIK saja. Mengapa politik begitu krusial dalam upaya negara mengatasi masalah stunting? Yang pertama, politik adalah panglima perang dalam mengatasi semua persoalan di negeri ini karena semua kebijakan yang ada termasuk stunting bermula dari paradigma politik;

kedua, karena pengambil keputusan politik-lah yang menentukan berapa besar alokasi anggaran yang harus dikeluarkan untuk stunting; ketiga, dengan politik ada posisi tawar yang cukup tinggi untuk menjadi seorang kepala daerah yang ujung-ujungnnya dipakai untuk meloloskan anggaran; keempat, politik akan cukup leluasa membangun jejaring kerja sama lintas sektor antara departemen terkait; kelima, dengan politik semua elemen kunci di republik ini dipaksa untuk menjalankan kebijakan yang pro kepada pencegahan stunting.

Saat ini politik berperan sangat penting dalam upaya mengurangi prevalensi stunting, setiap kebijakan yang dibuat harus diawali dengan political will dari pemerintah termasuk pusat maupun daerah.

Kebijakan politik untuk mengatasi stunting tidak boleh dianggap remeh apalagi oleh pemerintah daerah yang memiliki masyarakat di daerahnya, karena stunting banyak terjadi di daerah.

Itu sebabnya jika prevalensi stunting terjadi di daerah, maka Bupati atau Wali kota adalah figur yang akan disoroti karena gagal menjalankan kebijakan daerah yang pro-kepada upaya pencegahan stunting.

Karena jika political will tidak dimiliki oleh pemerintah daerah, maka Pemda tidak akan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk mengatasi stunting dan ini tidak lepas dari paradigma pemerintah yang lemah.

Mereka berpikir bahwa dengan menggelontorkan anggaran yang terbatas dan program yang asal jadi saja sudah cukup untuk mengatasi masalah ini.

Secara politik, harus ada paradigma yang tepat dan kebijakan strategis dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan seperti ini dengan melibatkan semua sektor pemerintahan dan masyarakat. Karena stunting bukan persoalan kesehatan semata tapi melibatkan banyak sektor strategis lainnya.

Di desa, ada dana desa yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi persoalan ini karena termuat dalam undang-undang dana desa secara khusus untuk kesehatan; tapi oleh pemerintah desa dana desa belum bisa teralokasikan dengan baik.

Jadi, jika secara political will kita lemah dalam mengambil keputusan terhadap isu yang strategis ini, maka kita akan mendapatkan masalah di kemudian hari karena generasi muda kita terancam karena tidak bisa menjadi orang dewasa yang produktif.

Pemerintah daerah yang sebenarnya memiliki otoritas dan wewenang penuh untuk mengatasi masalah stunting di daerahnya, terkesan tidak terlalu peduli dengan isu ini; tapi cenderung lebih peduli membangun infrastruktur serta sarana dan prasarana lainnya, yang memang masih sangat minim tapi melupakan bahwa pembangunan itu butuh keseimbangan, sinergisitas dan kolaborasi.

Memang, setiap pembangunan memiliki prioritas yang harus dijalankan, tapi mengabaikan stunting apalagi ini tidak berkaitan langsung dengan isu peningkatan ekonomi, adalah sebuah kesalahan besar dari para politisi kita.

Para politisi maupun pemerintah jika membuat kebijakan tentang stunting, itu pun karena terpaksa hanya karena statistik menunjukkan kita dalam ‘zona bahaya’ akibat stunting, dan karena terpaksa ada anggaran yang harus dipakai untuk pencegahan stunting, walaupun isu itu tidak terlalu menarik perhatian.

Padahal, dengan adanya persoalan stunting reputasi daerah menjadi pertaruhan dan negeri ini akan kolaps dan kehilangan satu generasi jika tidak diatasi dengan segera. Para kandidat kepala daerah maupun legislatif cenderung menjual isu kesehatan termasuk stunting, tapi setelah terpilih mereka seringkali tidak punya niat mengatasi persoalan ini.

Secara politik global, stunting mendapat perhatian penuh dari lembaga-lembaga dunia, seperti PBB, WHO, dan Bank Dunia karena mereka melihat bahwa jika anak-anak dalam masa tumbuh kembangnya tidak diperhatikan dan dirawat dengan baik, ini akan membuat generasi pemimpin berikut akan menjadi orang yang tidak kompeten memimpin negaranya, dan ini berpengaruh pada kualitas kepemimpinan dan efektivitas pembangunan di suatu negara.

Bagaimana tidak, jika secara politik pemerintah internasional, nasional dan lokal tidak bekerjasama mengatasi persoalan ini, maka kita akan menghilangkan masa depan generasi saat ini. Investasi sumber daya manusia berpusat kepada visi Indonesia 2045, dan digadang-gadang Indonesia akan mencapai puncak ekonomi tertinggi di saat itu.

Tapi kita harus meyakinkan dulu jika mau sampai ke visi tersebut, kita harus memperhatikan isu stunting ini secara politik, sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi pencapaian dari aspek ekonomi; karena jika anak-anak Indonesia dan dunia pada umumnya mengalami stunting dengan penurunan yang lambat, maka kita tidak bisa menciptakan produktivitas unggul dalam manusianya.

Karena stunting bukan hanya masalah nutrisi yang tidak adekuat tapi efek langsungnya kepada perkembangan otak manusia, yang harus memimpin negeri ini ke depan.

Jika negeri ini tidak bisa mengurus para koruptor, dan mereka yang menjabat di negeri ini masih senang dengan mengambil uang rakyat; maka di sanalah alasan mengapa negeri ini tidak bisa mengurus stunting; karena mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada anak bangsa yang lain, sehingga secara politik mereka sangat lemah karena urusan politik hanya tentang kekuasaan dan mendapat uang, bukan tentang mengurus rakyatnya sendiri.

Trias Politica harus benar-benar diberdayakan untuk mengatasi stunting di seluruh dunia termasuk Indonesia, karena ketiga institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah mereka yang diberikan mandat oleh negara untuk berselaras mengatasi persoalan stunting, jika pemerintah membuat kebijakan bersama legislatif lalu tidak mendapat kawalan dari para praktisi hukum, maka kita akan lihat kelumpuhan tak terhingga; dan banyak urusan pemerintah untuk mengurus orang banyak tidak benar-benar terselesaikan, salah satunya adalah memberikan gizi yang cukup bagi anak-anak di negeri ini.

Kerja sama lintas sektor di pemerintahn yang seharusnya lebih berdaya, karena melibatkan semua pengambil kebijakan di tingkat elit maupun daerah, ternyata justru tidak berjalan. Masing-masing instansi mengurus dirinya sendiri tanpa keselarasan, dan kadang pemerintah agak apatis dengan semua program yang dijalankan, hanya karena program itu ada anggarannya maka dilakukan.

Masing-masing instansi tidak cukup kolaboratif karena berjalan sendiri-sendiri dengan tanggungjawabnya masing-masing, tapi jika mendapat dana besar untuk program pencegahan stunting mereka akan saling berebutan, bukan untuk melaksanakan program tersebut tapi karena akan mendapat kecipratan uang dari sana.

Tradisi birokrasi di Indonesia harus dirubah dan dihilangkan, karena kecenderungan kita menjalankan program hanya sekedar sebuah kelaziman dan tunduk pada perintah atasan, bukan karena berpikir bagaimana mengelola instansi secara good governance.

Bias dari pemikiran birokrasi yang tidak cukup kompeten akan melahirkan banyak kebodohan dari elit politik di pemerintahan yang menggunakan kesempatan pemanfaatan dana untuk stunting secara tidak bertanggungjawab, alias korup.

Tahun depan adalah tahun politik kata mereka walaupun sudah terasa mulai dari sekarang, dan akan ada permainan politik tingkat tinggi untuk mendulang suara dari kalangan pemilih. Jika kita salah langkah dalam memilih pemimpin yang tidak paham dengan isu stunting dan cara mengatasinya, maka kita tidak bisa berharap banyak bahwa persoalan stunting itu bisa tertangani dengan baik.

Karena ada calon kepala daerah yang kadang tidak paham dengan masalah stunting ini, tapi karena dia menjual money politic sehingga dia bisa terpilih, dan konsekuensinya dia tidak akan mengurus persoalan stunting untuk bisa dieradikasi di daerahnya.

Jadi, secara tidak langsung masyarakat yang menggunakan hak politiknya juga berkontribusi dalam menghambat upaya mencegah stunting karena pemimpin yang dipilih bukan berdasarkan meritokrasi tapi karena politik transaksional.

Semoga politik di negeri ini menjadi lebih transparan, akuntabel, bernurani dan visioner, agar upaya kita menurunkan stunting dibawah angka 20 persen tercapai dan target di 2024 mencapai 14 persen bisa terealisasi.

Kita hanya berharap kalangan politisi tidak pragmatis menjadikan isu stunting hanya untuk kampanye elektabilitas mereka tapi lebih memikirkan cara agar anak-anak generasi masa depan bangsa ini tidak mengalami stunting. (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved