Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Mengenang Remy Sylado: Tidak Memilih Berdarah Minahasa, Melampaui Sekat Identitas Sosial

Bahwa almarhum yang bernama lengkap Yapi Panda Abdiel Tambayong tidak memilih dalam darahnya mengalir darah leluhur Minahasa.

Dokumentasi Stefi Rengkuan
Kawanua Minahasa di Jakarta dan sekitarnya melayat ke rumah duka sastrawan senior almarhum Remy Sylado di Cipinang, Jakarta Timur, Senin (12/12/2022). 

Memang ada beberapa tulisan yang berusaha menampilkan secara langsung maupun tak langsung apa sebenarnya keyakinan agamanya itu, yang bagi pemerintah dan mungkin banyak orang Indonesia itu penting bahkan mutlak ada tertulis di kolom KTP, yang menjadi bermasalah bagi warga negara yang tidak masuk dalam 6 agama dan keyakinan yang diakui secara resmi.

Namun secara tersirat bisa dilacak dari karya-karya novel berlatar kisah sejarah bahkan kisah nyata leluhurnya sendiri. Misalnya dalam novel Gunung Tidar, dikisahkan seorang tentara KNIL asal Minahasa, Protestan, militan lalu bertemu seorang perempuan Jawa yang Katolik tulen. Si tole (pemuda) Minahasa perkasa itu jatuh cinta pada peragai dan paras menawan mbak ayu Jawa itu. Dan sang prajurit beralih menjadi Katolik lalu mereka saling menerimakan sakramen pernikahan dalam upacara Katolik. Konon, katanya, cerita itu berkisah tentang kakek nenek dari penulis novel itu sendiri, tak lain Remy Sylado.

Ada kisah lain mengatakan bahwa dia anak dari pasangan asal Minahasa yang menjadi misionaris gereja Baptis di Makasar dan kemudian migrasi ke Malang. Di sana Yapi kecil bersekolah pendidikan dasar dan menengah lalu terus belajar sastra dan seni, bahkan belajar di sekolah Alkitab dan teologia Protestan. Lalu kemudian sejak beralih menjadi Katolik, dia mendalami teologi Katolik. Dan dia banyak mengisi bahan seminar di kalangan lembaga Protestan dan Katolik. Dan lebih banyak bagi kalangan umum karena kemampuannya yang mengagumkan khususnya dalam bidang sastra dan seni budaya, sejarah dan ilmu sosial lainnya.

Stefanus Tokan, senior saya asal Flores dan besar di Maluku, menulis, "Singkatnya, beliau seorang multitalenta. Kalau sobat Stefi baru tahu dia Katolik, saya malah sering melihatnya menghadiri Misa di Ketedral Jakarta. Kadang, ketika seusai Misa dia masih duduk dalam gereja ditemani istrinya (sebelum stroke sejak 2 tahun lalu), dengan kakinya yang agak bengkak yang membuatnya berjalan agak kentok (pincang). Sebelum stroke itu, masih sering dia memberi materi pada pertemuan bulanan Persatuan Wartawan Katolik Indonesia (PWKI)."

Lanjut si pengagum Catatan Pinggir Goenawan Moehamad itu, "Saya kira, Remy Silado adalah sosok budayawan yang komplet. Sedih beliau telah pergi. Sulit sekali temukan orang Indonesia yang "lengkap" seperti dia. Saya belum lihat ada sosok seperti dia di Indonesia ini."

"Budayawan seperti dia sudah hidup melampaui batas-batas agama. Turut berdukacita bersama Keluarga Kawanua. Semoga ada putra Sulut yang muncul lagi seperti dia. Remy lama tinggal di Makassar dan Malang, karena itu dia bisa ambil jarak dengan Sulut untuk melampaui Sulut dan Indonesia, termasuk soal agama."

Demikian sedikit kisah dan coretan saya terutama dalam suasana duka mengenang sosok Remy Sylado ini dalam pentas peradaban dan kemanusiaan yang universal, melampai batas-batas primordialisme dalam segala turunannya yang membahayakan sistem nilai budaya luhur manusia.

Juga secara khusus tulisan ini sebagai respons terkait salah satu pokok survei demografi, yang diangkat senior Frits Pangemanan dalam diskusi WAG Alumni Pineleng, sebuah analisis tajam yang memberi sinyalemen dan indikator kuat bahwa pokok agama dan keyakinan ini masih sangat peka bahkan riskan untuk diungkap secara terbuka dan jelas, terutama terkait jumlah populasi anggota masing-masing agama tersebut, bilamana itu bisa memicu kecemburuan dan konflik sosial. Padahal agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku, bukan kata Gus Dur. Duh begitu aja kok repot ya.

Sampai di sini saya pikir bagus menyelipkan tanggapan senior Frits H Pangemanan dalam WAG sebagai berikut.

"Kepolosan broer yg innocent atas kekatolikan Bung Remy, pd hematku, menukik sukma kaum ekumenis. Setidaknya dalam perspektifku, innocence broer menyiratkan aspek positif di hadapan kaum ekumenis bahwa broer yg mewakili Tou Kawanua Katolik mengepak sayap melampaui sekat2 agama yg kerap berciri primordial palsu dgn nurani pseudo-diskriminatif di lubuk hati terdalam.

Broer mungkin tak mnyadarinya, tpi dari sergahan sang pendeta yg mneruskan kata "KATOLIK" pd kerohanian Bung Remy ketika Broer tmpak berpikir dua kali sbelum mnyebut identitas keagamaan Bung Remy itu, pd hematku sngat jelas, menyiratkan realita bawah-sadar batin kaum ekumenis bhw Broer dlm paradigma Katolik mndahulukan respek humanitas yg tinggi atas tokoh berjasa Kawanua di hadapan broer, ketimbang mnampilkan kebanggaan sekat2 agama yg kerap mendistorsi cita-rasa persaudaraan kawanua.

Kepolosan broer dlm innocence itu mbuat Roh Kudus menuntun pikiran spontan Broer pd pesan overarching penting bhw humanity tak boleh tersekat dan terkurung dlm paham agama di ruang2 public."

Selamat jalan menuju kehidupan kekal, Bung Remi Silado, bersatu selamanya dalam persekutuan para kudus surgawi. Salah satu nama aliasmu bernada, dan sekarang hendak kubilang 23761 (re mi si la do) untuk kami dendangkan jua.

Kemah kediamanmu di dunia ini sudah dibongkar oleh sang waktu pas pada tanggal bernada do re do do re re, 121222, pada hari Senin. Bisa jadi kau malah baku itong (bernegosiasi) akhir dengan Sang Khalik. Sampai akhirnya seperti dalam lagu liturgi sabda, engkau bermadah dalam lagu bernada indah syahdu:

"Di hening kidung SabdaMu,
terbentang damai tenang...
Di hening kasih CintaMu, imanku ingin pulang..."

Dan engkaupun telah mencapai puncak kesadaran pada saat perayaan Minggu Adven III ini. Gaudete in Domino semper: iterum dico gaudete. Modestia vestra nota sit omnibus hominibus: Dominus prope est.

Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved