Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Hari Toleransi Internasional dan Dasar Struktural Intoleransi di Indonesia

Perayaan ini ditetapkan agar terciptanya kesadaran bersama untuk menghargai perbedaan budaya, ras, etnis maupun agama yang sangat beragam di dunia ini

Dokumen Rohit Mahatir Manese
Rohit Mahatir Manese, dosen IAIN Manado 

Oleh: Rohit Mahatir Manese
Dosen IAIN Manado

TANGGAL 16 November 2022 lalu, warga dunia memperingati hari toleransi internasional.

Peringatan dan perayaan hari toleransi internasional merupakan ketetapan yang dihasilkan oleh badan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO).

Ketetapan tersebut dideklarasikan oleh UNESCO tahun 1995. Persekutuan Bangsa-Bangsa atau PBB kemudian menyambut baik deklarasi ini, setahun setelah deklarasi UNESCO, PBB mengundang seluruh negara yang tergabung di dalamnya untuk merayakan Tolerance International Day.

Latar belakang hari intoleransi internasional didasari pada banyaknya kasus penolakan terhadap ekspresi perbedaan sehinggga melahirkan diskriminasi, konflik dan polarisasi di berbagai belahan dunia.

Perayaan ini ditetapkan agar terciptanya kesadaran bersama untuk menghargai perbedaan budaya, ras, etnis maupun agama yang sangat beragam di dunia ini.

Baca juga: Surat Keterangan Miskin Diduga Abal-abal Beredar di Manado Sulawesi Utara

Hari toleransi internasional juga merupakan sebuah momen di mana toleransi merupakan penghormatan hak asasi manusia.

Sebagai bagian dari warga dunia, hari intoleransi internasional juga diperingati di Indonesia, di media sosial banyak dijumpai poster-poster ucapan selamat atas peristiwa setahun sekali ini.

Saya mengartikan bahwa di Indonesia toleransi masih menjadi harapan kolektif untuk diwujudkan secara terus-menerus. Karena dengan toleransi perbedaan bisa diterima bahkan warga turut berpatisipasi dan melakukan emansipasi di dalamnya.

Akan tetapi, ada tantangan bersama yang terus dihadapi oleh bangsa Indonesia tantangan tersebut bernama intoleransi.

Intoleransi merupakan sebuah gagasan dan sikap penolakan terhadap perbedaan yang berujung pada kekerasan dan konflik kemanusiaan.

Intoleransi lawan dari toleransi itu sendiri dan di Indonesia dari waktu ke waktu terus terjadi.

Karena terjadi terus menerus, sulit untuk memprediksi kapan ia bisa diminimalisir atau bahkan selesai.

Intoleransi semacam telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, faktanya adalah pada 1 Mei 2022 tepatnya malam perayaan Idulfitri di Desa Mareje, Kecamatan Lembara, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat telah terjadi penyerangan dan pembakaran rumah milik warga Buddha.

Meski tidak ada korban jiwa, namun penyerangan yang dilakukan oleh massa ini, mengakibatkan enam rumah hangus terbakar dan membuat warga Buddha harus mengungsi.

Selanjutnya, pada tahun yang sama masih banyak dijumpai aksi penolakan pendirian rumah ibadah umat Kristiani, pada September terdapat aksi massa di kantor wali kota dan kantor DPRD Cilegon.

Aksi ini bertujuan untuk menolak pendirian Gereja HKBP Maranatha, Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon.

Baca juga: Ada Ketua Lingkungan Bergaji Rp 5 Juta Sebulan Masuk Data Orang Miskin Manado Sulawesi Utara

Intoleransi juga menyasar kepada penganut agama leluhur, pada 21-22 Juni 2022 terjadi penyerangan dan perusakan Wale Paliusan atau tempat beribadah penghayat kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, Lalang Rondor Malesung (Laroma) di Desa Tondei dua, Kecamatan Motoling, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

Akibatnya: Wale Paliusan mengalami rusak berat, penyerangan ini meninggalkan trauma bagi penganut Laroma dan sulit bagi mereka untuk melaksanakan ritual karena dibaluti dengan rasa takut serta tempat pelaksanaan ritual tersebut sudah tidak layak digunakan.

Intoleransi yang terus berlangsung di Indonesia tidak tumbuh dari kevakuman ruang, ada asbabnya. Sebab yang membuat intoleransi terus tumbuh-berkembang di Indonesia salah satunya adalah didukung oleh faktor struktural.

Faktor struktural ini dapat ditemukan pada dukungan secara legal oleh Negara dan sikap pembiaran Negara atas intoleransi yang kian menjamur di Indonesia.

Dukungan secara legal ini merupakan kebijakan diskriminatif Negara yang sampai dengan hari ini dipakai untuk mengamputasi kehidupan pluralisme dan kebebasan beragama di Indonesia.

Kebijakan tersebut adalah UU Penodaan Agama atau secara lengkap sebagai Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Agama dan Penodaan Agama.

Kebijakan yang disahkan oleh Presiden Soekarno ini, makin diperkuat di era Presiden Soeharto dengan menjadikannya Undang-undang, secara hirarkis dalam konstitusi Indonesia, Undang-undang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan Penetapan Presiden.

Baca juga: Depot Air di Manado Sulawesi Utara Tak Higienis, Andrei Angouw Minta Camat dan Lurah Periksa

Latar belakang kemunculan peraturan ini karena ingin menghalau agama leluhur dan penghantaman terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI dianggap tidak bertuhan. Sedangkan agama leluhur dianggap sebagai bukan bagian dari agama. Keduanya dianggap sebagai ancaman oleh penganut agama dominan di Indonesia.

Sejak era reformasi, regulasi ini banyak memakan korban kasus intoleransi dan diskriminasi di atas merupakan bagian dari hilirisasi kebijakan ini.

Secara eksplisit efek dari UU penodaan agama ini adalah dipenjarakannya Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Ahok dituduh menistakan agama—karena pernyataannya tentang surat al-Maidah ayat 51.

Selain UU PNPS Tahun 1965, terdapat juga kebijakan tentang pendirian rumah ibadah yang berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB).

SKB tersebut adalah peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 9 Tahun 2006.

SKB menetepkan bawa untuk mendirikan rumah ibadah harus memiliki izin tertulis dari 60 warga di sekitar pembangunan, memiliki rekomendasi dari kementerian agama, FKUB dan kelurahan serta mengumpulkan KTP sebanyak 90 orang yang mendukung pembangunan rumah ibadah tersebut.

Sebelumnya juga sejak orde baru telah ada kebijakan dalam bentuk yang sama yakni peraturan bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 1969.

SKB 2006 dan 1969 ini menjadi faktor pendukung atas sulitnya pendirian rumah ibadah di Indonesia, apalagi pendirian gereja, karena agenda utamanya adalah untuk menghalau kristenisasi yang telah menjadi isu hangat di era 1960-an.

SKB ini turut memperumit pendirian Gereja HKBP Maranatha Cilegon karena menjadi alasan struktural kelompok yang menolak atas pendirian Gereja HKBP di Cilegon.

Selain dua kebijakan di atas, ada juga SKB 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

SKB menjadi legitimasi bagi gerakan garis keras untuk berbuat sesukanya kepada warga Ahmadiyah, akibat kebijakan ini banyak warga Ahmadiyah diserang, dipersekusi bahkan diusir dari kampungnya.

Sebenarnya masih banyak peraturan yang menciptakan dan mendukung tindakan intoleransi baik secara nasional maupun secara lokal.

Faktor struktural yang lain adalah sikap negara yang sering abai saat persekusi, kriminalisasi dan intoleransi sedang berlangsung.

Realitasnya pada September tahun 2021 saat terjadi penyerangan masjid Miftahul Huda milik warga Ahmadiyah di Desa Balai harapan, Sintang, Kalimantan Barat.

Tampak dalam video yang beredar terdapat aparat kepolisian di lokasi kejadian, namun mereka tidak menghadang massa yang banal.

Sikap ini semacam memberikan karpet merah terhadap massa untuk menghancurkan masjid Miftahul Huda.

Baca juga: Warga di Manado Sulawesi Utara Jadikan TKB Sebagai Tempat Nongkrong, Foto-foto hingga Bikin PR

Sikap pembiaran negara yang lain adalah memberikan impunitas terhadap perilaku intoleran padahal sangat jelas penyerangan rumah ibadah, pembakaran serta penganiayaan terhadap penganut agama yang berbeda merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Meski pemerintah melalui Kementerian Agama negara mendeklarasikan tahun 2022 sebagai tahun toleran, akan tetapi kehidupan di Indonesia masih dihantui oleh intoleransi.

Menurut catatan Imparsial tahun 2022 telah terjadi 25 peristiwa intoleransi di Indonesia.

Toleransi bisa diwujudkan bersama, asal secara struktural negara serius membuat kebijakan yang mendukung terselenggaranya kehidupan yang damai dan harmonis.

Memang telah ada kebijakan di Negara ini dalam mendukung terlaksanakannya kehidupan yang rukun dan toleran.

Namun akan menjadi sia-sia jika tidak dipikirkan kembali peraturan yang mendukung bahkan mewujudkan intoleransi di Indonesia. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved