Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Mewaspadai 'Penumpang Gelap' Pariwisata dan The Exercise Of Immigration Control

Oleh: Romel Krismanto Malensang, S.IP,M.A. (Analis Keimigrasian Pertama Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado)

Editor: Finneke Wolajan
HO
Romel Krismanto Malensang, S.IP,M.A. (Analis Keimigrasian Pertama Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado) 

Kemampuan teknologi, kapabilitas manusia serta kejelasan aturan adalah dukungan utama kontrol imigrasi di perbatasan.

Pengarusutamaan Partisipasi Warga

Bagaimana dengan wisman yang sudah dan sedang berada di Indonesia? Tentu saja ancaman keamanan masih ada.

Jajaran imigrasi sebagai representasi negara hadir dengan memperketat kegiatan pengawasan keimigrasian serta intelijen keimigrasian.

Selain kekuatan internal, imigrasi juga telah membangun pola koordinasi antar institusi lewat hadirnya Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA) hingga di level kecamatan.

Tapi kualitas pengawasan keimigrasian yang ideal nyatanya sukar dipenuhi jika hanya mengandalkan negara sebagai aktor tunggal dengan segala kebuntuannya.

Kekuatan masyarakat dapat didayagunakan.

Sebagaimana konseptualisasi kebijakan publik, partisipasi warga (citizenship participation) adalah “the cornerstone”.

Kedaulatan negara adalah kedaulatan masyarakat, state purpose adalah public purpose; dan cara terbaik untuk mencapainya adalah to create opportunities for participation and collaboration (Denhardt dan Denhardt, 2003).

Selain pembentukan TIMPORA yang berisi aparatur negara lintas sektor, upaya membuka diri untuk mewujudkan pengawasan keimigrasian yang lebih efektif sebenarnya telah dimulai oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sejak bulan Mei 2015 dengan menetapkan kebijakan bagi pemilik atau pengurus tempat penginapan/hotel untuk memberikan keterangan
dan data orang asing yang menginap di rumah atau penginapannya secara mandiri melalui
Aplikasi Pelaporan Orang Asing (APOA).

Dengan menggunakan APOA pemilik hotel atau tempat penginapan tidak perlu lagi datang ke Kantor Imigrasi secara berkala untuk melaporkan keberadaan orang asing namun dapat langsung melaporkannya secara online.

Kendalanya, hingga saat ini belum semua pemilik/pengurus penginapan atau perseorangan melaporkan keberadaan Orang Asing melalui aplikasi ini.

Kemungkinan yang terjadi adalah kurang maksimalnya sosialisasi penggunaan APOA terhadap pemilik/pengurus penginapan atau perseorangan.

Namun menurut hemat penulis, yang paling berpotensi terjadi ialah motivasi yang rapuh karena didasari oleh penetapan kewajiban yang bersifat paksaan dan bukan atas dasar kesukarelaan publik (voluntarism).

Pengawasan keimigrasian yang partisipatif atau berorientasi kepada masyarakat dapat dibudayakan terlebih karena sektor pariwisata merupakan “nation branding” kita saat ini.

Inisiatif untuk melakukan pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tapi juga menjadi tanggung jawab dari masyarakat sebagai obyek pelayanan, perlindungan, dan pembangunan itu sendiri.

Penutup

Menghilangkan kewajiban memiliki visa (BVK) atau memberi kemudahan Visa on Arrival khusus wisata nyatanya telah menghilangkan satu tahapan pengawasan keimigrasian.

Namun demi merangsang pertumbuhan (kembali) sektor pariwisata, kebijakan ini dapat diambil asal secara simultan diimbangi dengan pertimbangan keamanan, asas manfaat serta asas resiprokal yang menguntungkan bagi negara.

Keterbatasan institusi imigrasi dalam pengawasan keimigrasian dapat diretas efektivitasnya melalui kolaborasi antar institusi negara, actor non-state, bahkan dengan melibatkan publik untuk berpartisipasi. (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved