Opini
Mewaspadai 'Penumpang Gelap' Pariwisata dan The Exercise Of Immigration Control
Oleh: Romel Krismanto Malensang, S.IP,M.A. (Analis Keimigrasian Pertama Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado)
Oleh: Romel Krismanto Malensang, S.IP,M.A.
(Analis Keimigrasian Pertama Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado)
Angin segar bagi sektor pariwisata Indonesia dikala pemerintah tengah melakukan relaksasi pintu masuk ke wilayah Indonesia di sejumlah bandara dan pelabuhan internasional.
Melalui skema pemberian Bebas Visa Kunjungan (BVK) dan Visa on Arrival (VOA) khusus wisata, diharapkan terjadi penambahan jumlah kunjungan turis mancanegara.
Dalam konteks keimigrasian, kebijakan ini adalah perwujudan fungsi keimigrasian sebagai fasilitator pembangunan serta dukungan terhadap sektor pariwisata dengan konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).

Momentum ini harus dimaknai sebagai upaya kebangkitan (kembali) pariwisata Indonesia.
Namun, disaat yang bersamaan ada ancaman yang mesti diwaspadai atas kebijakan kemudahan keimigrasian tersebut.
Kewajiban memiliki visa sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan sebelumnya dihilangkan, sekaligus meniadakan “first layer”
pengawasan administratif keimigrasian. Sehingga ancaman-ancaman keamanan yang berpotensi membonceng kebijakan kemudahan keimigrasian, lebih berpeluang terjadi.
Sebut saja potensi kejahatan lintas negara seperti terorisme, migrasi ilegal, narkotika, kejahatan siber serta potensi meningkatnya wabah COVID-19 akibat penetrasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) secara masif tanpa protokol kesehatan yang ketat.
Di sinilah fungsi imigrasi lainnya berperan yakni penegakan hukum dan keamanan negara sebagai the exercise of immigration control.
Dukungan Imigrasi terhadap Pariwisata Indonesia
Mengutip “Buku Tren Pariwisata 2021” yang diterbitkan Kemenparekraf, bahwa sejak Februari 2020 jumlah kunjungan turis mancanegara mengalami penurunan yang sangat drastis akibat COVID-19. Data kunjungan terendah terjadi pada April 2020 yaitu dengan jumlah wisman hanya 158 ribu.
Total sepanjang tahun 2020 hanya ada 4,052 juta wisman atau hanya sekitar 25 persen dari jumlah wisman yang masuk Indonesia pada tahun 2019.
Dampak pandemi COVID-19 menjadi efek berganda (multiplier effect) dan perlahan mematikan lapangan kerja di sektor pariwisata.

Tren tersebut masih terus berlangsung hingga tahun- tahun berikutnya beririsan dengan kebijakan keimigrasian yang melarang masuknya wisatawan asing dan pengetatan di perbatasan negara.
Akhirnya, awal tahun 2022 seiring dengan optimisme perkembangan pariwisata internasional, pemerintah Indonesia perlahan mulai membuka pintu gerbang.
Direktorat Jenderal Imigrasi mengeluarkan kebijakan pemberian Visa Kunjungan Saat Kedatangan (Visa on Arrival/VOA) untuk tujuan wisata bagi 23 negara dan diujicobakan di Bali sejak tanggal 7 Maret 2022.
Sambutan positif saat ribuan wisatawan asing menggunakan fasilitas ini sehingga jumlah negara subjek VOA ditambah menjadi 42 Negara.
Di saat yang bersamaan kebijakan ini juga mulai diberlakukan di Kepulauan Riau dengan jumlah subjek 25 negara.
Khusus Kepulauan Riau juga berlaku kebijakan Bebas Visa Kunjungan (Visa Exemption/BVK) khusus wisata untuk sembilan negara ASEAN.
Berangsur-angsur sektor pariwisata nasional kembali bergairah dengan instrumen kebijakan keimigrasian ini.
Hingga pada tanggal 6 April 2022, kebijakan BVK dan VOA khusus wisata ini kembali diperluas jangkauannya. Subjek BVK atau VOA khusus wisata ditambah menjadi 43 negara.
Wisman dari negara-negara tersebut dapat memasuki wilayah Indonesia melalui 19 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang ditunjuk di DKI Jakarta, Bali, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Untuk memperolehnya, wisman harus menunjukkan paspor kebangsaan yang sah dan masih berlaku paling singkat enam bulan, tiket kembali atau terusan melanjutkan perjalanan ke negara lain, bukti pembayaran (khusus VOA), dan bukti kepemilikan asuransi sesuai ketetapan Ketua Satgas COVID-19.
Adapun tarif yang harus dibayar untuk memperoleh VOA khusus wisata adalah sebesar 500 ribu rupiah, disetor kepada negara sebagai non-tax revenue.
Waspada “Penumpang Gelap” BVK & VOA
Cerita diatas menunjukkan rasionalitas pemerintah dalam kebijakan keimigrasian saat ini pada dasarnya untuk meningkatkan devisa negara di sektor pariwisata.
Pertanyaannya adalah apakah ada resiko yang turut menyertainya? Pejabat Imigrasi sekaligus akademisi Politeknik Imigrasi, Andry Indrady dalam tulisannya yang berjudul “A Critical Assessment on the Indonesian Free Visa Policy: a Neorealist Perspective” telah mengelaborasinya.
Dengan menggunakan konseptualisasi interdependence sovereignty dari Krasner (1991,2001), Indrady mengkaji bahwa kebijakan bebas visa dapat dikritisi dari tiga variabel yakni asas manfaat-ekonomi, asas resiprokal, dan pendekatan keamanan.
Pertama, dari sisi asas manfaat-ekonomi, Indrady menyimpulkan bahwa penambahan jumlah negara wisatawan sebagai subjek bebas visa tidak linier dengan jumlah spending profil-nya (jumlah spending yang dikeluarkan wisman).
Kedua, dari aspek penerapan asas resiprokal, Indonesia hanya mampu menembus ke 69 negara tanpa menggunakan visa
padahal menerima 169 negara untuk masuk dengan cuma-cuma (Perpres Nomor 21 Tahun 2016).
Sehingga sangat asimetris antara keuntungan yang didapat Indonesia vis-à-vis negara- negara lainnya yang menjadi subjek BVK. Ketiga, dari perspektif keamanan, arus globalisasi membawa banyak pengaruh negatif maupun positif.
Kondisi itu dapat mereduksi kedaulatan negara namun disaat yang sama memberi solusi untuk menghadapinya melalui peningkatan kapabilitas negara, atau kapabilitas kebijakan keimigrasian.
Dalam konteks hari ini, BVK dan VOA khusus wisata dapat menjadi penggerak utama perputaran roda perekonomian dari sektor pariwisata.
Tapi sejumlah resiko khususnya ancaman keamanan negara juga turut menyertai dan harus diwaspadai.
Tantangan keamanan yang dihadapi mungkin bukan dari ancaman militer tapi bersifat nirmiliter seperti dengan adanya kejahatan lintas negara yang semakin berevolusi.
Belum lagi ancaman wabah COVID-19 yang juga belum kunjung usai.
Direktorat Jenderal Imigrasi ditantang untuk beradaptasi serta berinovasi dalam mengantisipasi ancaman-ancaman tersebut.
Sebab fungsi imigrasi bukan hanya soal pelayanan publik atau sebagai fasilitator pembangunan tetapi juga sebagai penegak hukum, penjaga keamanan negara.
Kebijakan keimigrasian BVK dan VOA khusus wisata harus sejalan dengan peningkatan kapabilitas jajaran imigrasi untuk melaksanakan exercise of immigration control.
Perlu penguatan terhadap struktur administrasi kelembagaan serta modernisasi infrastruktur teknologi informasi. Ditjen Imigrasi memiliki Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM).
Pertanyaannya adalah apakah SIMKIM sudah cukup memadai untuk melakukan “clearance” berbasis data analisis sehingga setiap WNA yang masuk menggunakan BVK dan VOA adalah benar-benar wisatawan yang dapat bermanfaat bagi negara.
Pengembangan SIMKIM di bandara/pelabuhan internasional dapat mengadopsi teknologi Artificial Intelligence (AI) sehingga mampu mendeteksi adanya “kemungkinan” penumpang gelap yang berpotensi menyalahgunakan BVK dan VOA kemudian memberi rekomendasi tindakan yang dapat didalami oleh pejabat imigrasi yang berwenang.
Sebaliknya kapabilitas serta insting personal petugas imigrasi di perbatasan juga harus tetap diasah guna mencegah dokumen fraud dan segala bentuk pemalsuan data serta dokumen keimigrasian.
Kemampuan teknologi, kapabilitas manusia serta kejelasan aturan adalah dukungan utama kontrol imigrasi di perbatasan.
Pengarusutamaan Partisipasi Warga
Bagaimana dengan wisman yang sudah dan sedang berada di Indonesia? Tentu saja ancaman keamanan masih ada.
Jajaran imigrasi sebagai representasi negara hadir dengan memperketat kegiatan pengawasan keimigrasian serta intelijen keimigrasian.
Selain kekuatan internal, imigrasi juga telah membangun pola koordinasi antar institusi lewat hadirnya Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA) hingga di level kecamatan.
Tapi kualitas pengawasan keimigrasian yang ideal nyatanya sukar dipenuhi jika hanya mengandalkan negara sebagai aktor tunggal dengan segala kebuntuannya.
Kekuatan masyarakat dapat didayagunakan.
Sebagaimana konseptualisasi kebijakan publik, partisipasi warga (citizenship participation) adalah “the cornerstone”.
Kedaulatan negara adalah kedaulatan masyarakat, state purpose adalah public purpose; dan cara terbaik untuk mencapainya adalah to create opportunities for participation and collaboration (Denhardt dan Denhardt, 2003).
Selain pembentukan TIMPORA yang berisi aparatur negara lintas sektor, upaya membuka diri untuk mewujudkan pengawasan keimigrasian yang lebih efektif sebenarnya telah dimulai oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sejak bulan Mei 2015 dengan menetapkan kebijakan bagi pemilik atau pengurus tempat penginapan/hotel untuk memberikan keterangan
dan data orang asing yang menginap di rumah atau penginapannya secara mandiri melalui
Aplikasi Pelaporan Orang Asing (APOA).
Dengan menggunakan APOA pemilik hotel atau tempat penginapan tidak perlu lagi datang ke Kantor Imigrasi secara berkala untuk melaporkan keberadaan orang asing namun dapat langsung melaporkannya secara online.
Kendalanya, hingga saat ini belum semua pemilik/pengurus penginapan atau perseorangan melaporkan keberadaan Orang Asing melalui aplikasi ini.
Kemungkinan yang terjadi adalah kurang maksimalnya sosialisasi penggunaan APOA terhadap pemilik/pengurus penginapan atau perseorangan.
Namun menurut hemat penulis, yang paling berpotensi terjadi ialah motivasi yang rapuh karena didasari oleh penetapan kewajiban yang bersifat paksaan dan bukan atas dasar kesukarelaan publik (voluntarism).
Pengawasan keimigrasian yang partisipatif atau berorientasi kepada masyarakat dapat dibudayakan terlebih karena sektor pariwisata merupakan “nation branding” kita saat ini.
Inisiatif untuk melakukan pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tapi juga menjadi tanggung jawab dari masyarakat sebagai obyek pelayanan, perlindungan, dan pembangunan itu sendiri.
Penutup
Menghilangkan kewajiban memiliki visa (BVK) atau memberi kemudahan Visa on Arrival khusus wisata nyatanya telah menghilangkan satu tahapan pengawasan keimigrasian.
Namun demi merangsang pertumbuhan (kembali) sektor pariwisata, kebijakan ini dapat diambil asal secara simultan diimbangi dengan pertimbangan keamanan, asas manfaat serta asas resiprokal yang menguntungkan bagi negara.
Keterbatasan institusi imigrasi dalam pengawasan keimigrasian dapat diretas efektivitasnya melalui kolaborasi antar institusi negara, actor non-state, bahkan dengan melibatkan publik untuk berpartisipasi. (*)