Opini
Mewaspadai 'Penumpang Gelap' Pariwisata dan The Exercise Of Immigration Control
Oleh: Romel Krismanto Malensang, S.IP,M.A. (Analis Keimigrasian Pertama Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado)
Tren tersebut masih terus berlangsung hingga tahun- tahun berikutnya beririsan dengan kebijakan keimigrasian yang melarang masuknya wisatawan asing dan pengetatan di perbatasan negara.
Akhirnya, awal tahun 2022 seiring dengan optimisme perkembangan pariwisata internasional, pemerintah Indonesia perlahan mulai membuka pintu gerbang.
Direktorat Jenderal Imigrasi mengeluarkan kebijakan pemberian Visa Kunjungan Saat Kedatangan (Visa on Arrival/VOA) untuk tujuan wisata bagi 23 negara dan diujicobakan di Bali sejak tanggal 7 Maret 2022.
Sambutan positif saat ribuan wisatawan asing menggunakan fasilitas ini sehingga jumlah negara subjek VOA ditambah menjadi 42 Negara.
Di saat yang bersamaan kebijakan ini juga mulai diberlakukan di Kepulauan Riau dengan jumlah subjek 25 negara.
Khusus Kepulauan Riau juga berlaku kebijakan Bebas Visa Kunjungan (Visa Exemption/BVK) khusus wisata untuk sembilan negara ASEAN.
Berangsur-angsur sektor pariwisata nasional kembali bergairah dengan instrumen kebijakan keimigrasian ini.
Hingga pada tanggal 6 April 2022, kebijakan BVK dan VOA khusus wisata ini kembali diperluas jangkauannya. Subjek BVK atau VOA khusus wisata ditambah menjadi 43 negara.
Wisman dari negara-negara tersebut dapat memasuki wilayah Indonesia melalui 19 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang ditunjuk di DKI Jakarta, Bali, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Untuk memperolehnya, wisman harus menunjukkan paspor kebangsaan yang sah dan masih berlaku paling singkat enam bulan, tiket kembali atau terusan melanjutkan perjalanan ke negara lain, bukti pembayaran (khusus VOA), dan bukti kepemilikan asuransi sesuai ketetapan Ketua Satgas COVID-19.
Adapun tarif yang harus dibayar untuk memperoleh VOA khusus wisata adalah sebesar 500 ribu rupiah, disetor kepada negara sebagai non-tax revenue.
Waspada “Penumpang Gelap” BVK & VOA
Cerita diatas menunjukkan rasionalitas pemerintah dalam kebijakan keimigrasian saat ini pada dasarnya untuk meningkatkan devisa negara di sektor pariwisata.
Pertanyaannya adalah apakah ada resiko yang turut menyertainya? Pejabat Imigrasi sekaligus akademisi Politeknik Imigrasi, Andry Indrady dalam tulisannya yang berjudul “A Critical Assessment on the Indonesian Free Visa Policy: a Neorealist Perspective” telah mengelaborasinya.
Dengan menggunakan konseptualisasi interdependence sovereignty dari Krasner (1991,2001), Indrady mengkaji bahwa kebijakan bebas visa dapat dikritisi dari tiga variabel yakni asas manfaat-ekonomi, asas resiprokal, dan pendekatan keamanan.