Berita Manado
Kisah Peperangan Suci dan Tercemar di Tubuh Pecandu Narkoba. Sembuh Setelah Dengar Suara Tuhan
Kurangnya pengawasan dan pemotongan anggaran untuk Covid 19 membuat penegakan hukum kasus narkoba tak maju. Malah mundur.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Alpen Martinus
Dari seminggu dua kali menjadi setiap hari. "Hampir tiap hari saya pakai ganja, saya pakai sepulang sekolah" tuturnya.
Usai memakai, Mike merasakan rasa malas yang tiada tara.
Gejala umum dari orang yang pakai ini adalah merasa berani, sering berhalusinasi serta bisa jadi kleptomania," katanya.
Meski begitu, sekolah tetap jalan dan ia tak pernah bolos. Lulus SMA, ia lanjut kuliah.
Di salah satu perguruan tinggi di luar Manado ini, Mike mendapat kawan baru.
Mereka tak kenal narkoba. Mike pun terpengaruh, meski ia tak berhenti sama sekali. "Saya pakai pada waktu-waktu tertentu saja, contohnya saat week end," sebutnya.
Setamatnya dari sana, ia keluar negeri untuk kuliah lagi. Dia memilih Amerika Serikat. Masa kelam semasa SMA kembali berulang di negeri Paman Sam ini.
Apalagi ia sudah kenal dengan kokain dan putauw. Hiruk pikuk negeri adidaya ia kenal dengan baik.
Namun seperti pengguna kokain lainnya, ia sering menyendiri. Dari Amerika, ia balik ke Jakarta.
Menceburkan diri dalam semarak ibu kota, ia makin terbenam dalam pengaruh narkotika.
Bekerja pada siang hari, malamnya ia triping. Ekstasi menghebohkan Jakarta pada pertengahan tahun 1990-an.
Mike ikut dalam kehebohan itu."Dari kokain, saya lalu mengonsumsi ekstasi," jelasnya.
Ternyata hidup bagi para pengguna narkoba bukan hanya euforia.Seperti pengguna lainnya,
Mike ingin berhenti. "Itu keinginan yang umum, biar masyarakat pun tahu," ujarnya.
Lama dipendam, keinginan itu menguat di akhir 1990-an.