Tajuk Tamu Tribun Manado
Inovasi Nahdlatul Ulama dalam Bingkai 95 Tahun
Paling tidak ada dua pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan NU untuk makin meneguhkan khidmat dan komitmen kebangsaan.
Dalam keadaan penuh ketidakpastian ini, penting kiranya warga nahdliyin merespons ruang berbatas menjadi tak terbatas dengan memanfaatkan persenjataan teknologi sebagai media alternatif untuk terus menyampaikan pesan-pesan Islam yang rahmah dan toleran kepada masyarakat.
Bukan hanya di masa pandemi, kerja-kerja inovasi dakwah berbasis digital ini harus menjadi khidmat berkelanjutan bagi warga nahdliyin.
Mengingat revolusi media informasi telah membawa manusia pada babak baru, di mana penguasaan teknologi sangatlah prestisius dan menjadi indikator kemajuan suatu negara.
Sebuah negara dikatakan maju jika memiliki tingkat penguasaan teknologi tinggi (high technology), sedangkan negara-negara yang tidak bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi dianggap sebagai negara gagal (failed country).
Karena itu, pesan zaman tersebut harus ditangkap oleh semua warga nahdliyin untuk memformulasikan pendekatan dakwahnya dengan cara-cara yang inovatif dan terdigitalisasi.
Sehingga harapannya, dakwah Islam ala NU mampu dinikmati khalayak umum secara fleksibel.
YouTube, Facebook, Instagram, dan berbagai platform media sosial lainnya harus menjadi alat dan media dakwah utama dari para kiai, gus, ustaz, dan kader NU.
Konten dakwah di pelbagai platform media sosial tersebut harus dipenuhi dengan konten inklusif Islam ahlussunnah wal jamaah (aswaja).
Unggah dan viralkan semua pengajian kitab kuning di pesantren-pesantren, juga ceramah dan tausiah maupun mauidloh hasanah (nasihat yang baik) para masyayikh (kiai) dan gus-gus (putra kiai) dari puluhan ribu pesantren setiap hari.
Karena itu, metode dakwah NU harus dirombak besar-besaran dalam menghadapi era di mana setiap orang adalah pengguna handphone (HP) sepanjang waktu.
Metode dan konten dakwah NU harus disesuaikan dan mampu menjangkau HP setiap orang.
Kemandirian Ekonomi NU
Semangat kelahiran NU tidak hanya dibangun dengan tradisi keagamaan: nasionalisme dan pemikiran. NU juga dibangun dengan kekuatan ekonomi.
Tiga fondasi itulah yang menjadi pilar berdirinya NU pada 1926, yang kemudian sering disebut sebagai tiga pilar penyokong berdirinya NU.
Tiga pilar utama tersebut adalah nahdlatul waton (kebangkitan bangsa), sebagai semangat nasionalisme dan politik; taswirul afkar (kebangkitan pemikiran), sebagai semangat pemikiran keilmuan dan keagamaan; serta nahdlatut tujjar (kebangkitan ekonomi) sebagai semangat pemberdayaan ekonomi.
Melihat kondisi mayoritas penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan atau keterbatasan ekonomi, mayoritas adalah nahdliyin yang berada di pedesaan, pengembangan ekonomi berbasis kebersamaan dan keumatan menjadi satu hal terpenting.