Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Menunggu Panglima TNI yang Khatam Urusan Pertahanan Maritim

Kompleksitas geostrategis Indonesia saat ini sejatinya sangat cocok untuk seorang Panglima berlatar belakangan Angkatan Laut.

Editor: Aldi Ponge
Dokumen Pribadi Jannus TH Siahaan
Dr Jannus TH Siahaan, Pengamat Pertahanan dan Keamanan 

Misalnya, TNI Angkatan Laut (AL) tidak lagi membatasi pada naval intelligence, tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence yang mampu menyediakan informasi strategis kepada institusi maritim nasional.

Seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup, Bea Cukai, Kepolisian, dan terutama untuk TNI.

Untuk itu, urgensi membangun sejumlah infrastruktur pangkalan dan sarana pemeliharaan kapal perang tak terhindarkan lagi.

Infrastruktur tersebut utamanya untuk mendukung efektivitas Markas Komando Armada ketiga yang terletak di Sorong, Papua Barat.

Selama ini kekuatan tempur TNI AL masih bertumpu pada dua armada wilayah, yakni barat atau Armabar, dan timur atau Armatim.

Jumlah kapal perang milik TNI AL hanya berjumlah 151 unit. Padahal, jumlah kapal perang RI pada 1960-an berjumlah hingga 162 kapal.

Sistem komando armada yang bertugas membina kemampuan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, pasukan marinir, dan pangkalan sebaiknya lebih bersinergi dengan instansi lain yang juga mengelola wilayah laut.

Kemampuan peperangan laut dan kesiapan operasi laut pada saat ini harus bisa berubah menjadi operasi non-perang yang mendukung penegakan kedaulatan dan hukum di laut, serta mengamankan potensi ekonomi di laut

Tugas penting lanjutannya adalah membentuk sistem nasional pengawas kelautan yang andal dengan tiga aspek penting.

Pertama, aspek informatif. Sistem harus memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional, baik dari sisi sumber daya laut, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut (accident maupun incident), tanda-tanda navigasi laut yang sangat membantu bagi kapal berlayar, dan segala informasi mengenai laut lainnya.

Kedua, aspek integratif. Tumpang tindihnya pengadaan infrastruktur dan pemasangan peralatan pengawasan antar departemen bisa diatasi, sehingga ada penghematan anggaran negara.

Karena jumlah peralatan atau sistem yang dibangun tidak bertabrakan dalam hal jangkauan pada suatu daerah atau sistem dan fungsinya.

Selain itu, dengan solusi interoperabilitas maka masalah selang-seling pemilik peralatan di sepanjang selat kritis, seperti Selat Malaka bisa diintegrasikan.

Ketiga, adalah aspek kolaboratif. Hal ini lebih fokus pada status data yang dipertukarkan.

Misalnya, data untuk memberantas Illegal Unregulated and Unreported Fishing (IUU) seperti jalur kapal ikan (posisi, kecepatan, heading), SIKPI (identitas pemilik, perusahaan, ukuran kapal, jenis alat tangkap, tanggal kedaluwarsa izin), basis data log book (jenis ikan, lokasi), data parameter biologi laut (klorofil, upwelling), dan data batas WPP.

Jadi pendeknya, perlu sinergi strategis yang permanen antara tiga lembaga yang selama ini menjadi pengelola utama sistem kelautan nasional, yakni KKP, TNI AL, dan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan, yang secara pertahanan dan ketahanan akan sangat strategis dan cocok berada di bawah koordinasi seorang Panglima TNI berasal dari matra Angkatan Laut.

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved