Opini
Menunggu Panglima TNI yang Khatam Urusan Pertahanan Maritim
Kompleksitas geostrategis Indonesia saat ini sejatinya sangat cocok untuk seorang Panglima berlatar belakangan Angkatan Laut.
Penulis Dr Jannus TH Siahaan, Pengamat Pertahanan dan Keamanan
TRIBUNMANADO.CO.ID - Tantangan pertahanan dan keamanan ke depan semakin komplek, terutama dari sisi ketahanan kelautan seiring dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan dan seringnya terjadi percurian ikan di Laut Natuna serta perairan Nusantara lainnya.
Sehingga Pemerintah memang sedang memerlukan cara baru untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya kelautan sekaligus membenahi kemampuan operasi maritim dan pertahanan kelautan nasional.
Kondisi ini sepatutnya menjadi pertimbangan utama istana dalam mempersiapkan Panglima TNI yang baru, yakni calon panglima yang khatam soal pertahanan dan ketahanan kelautan.
Apalagi, jika merujuk kepada model tradisi rotasi yang telah disepakati dan sudah berlangsung bahwa semestinya pengganti Panglima TNI kali ini adalah dari Angkatan Laut, setelah dua masa kepemimpinan sebelumnya berasal dari Angkatan Darat dan Angkatan Udara.
Baca juga: Kecelakaan Maut Pukul 11.30, Seorang Pemuda Tewas, Motornya Bertabrakan dengan Mobil Angkutan Umum

Kompleksitas geostrategis Indonesia saat ini sejatinya sangat cocok untuk seorang Panglima berlatar belakangan Angkatan Laut.
Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan terdiri dari tiga wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang terbuka bagi pihak internasional dan membutuhkan keandalan operasi maritim TNI.
Terutama yang terkait dengan masalah operasi cegatan maritim, misalnya. Operasi ini harus bisa dilakukan di perairan manapun, baik di wilayah NKRI maupun di luar.
Operasi maritim juga membutuhkan keandalan infrastruktur keamanan laut dan pembaruan terhadap doktrin pertahanan laut yang mengedepankan aspek intelijen dan teknologi.
Bidang intelijen maritim harus dibenahi sehingga mencapai kemampuan pengawasan yang tangguh.
Situasi dunia menuntut agar Indonesia mampu mewujudkan kemampuan intelijen maritim yang canggih.
Intelijen maritim merupakan bagian intelijen strategis dalam upaya untuk menjamin stabilitas nasional dan upaya untuk penginderaan terhadap lingkungan strategis baik di dalam maupun di luar negeri.
Baca juga: Terkait Kasus Mensos, Yunarto Wijaya Diserbu Warganet hingga Adu Argumen dengan Hidayat Nurwahid
Intelijen maritim fokus pada kegiatannya terkait bidang maritim atau yang berpengaruh terhadap kemampuan maritim negara asing maupun negara sendiri.
Kapasitas dan postur intelijen nasional sebaiknya diarahkan untuk meneguhkan kemampuan intelijen maritim.
Jangan ada lagi operasi intelijen yang sifatnya parsial, yaitu yang membatasi pada dimensi pengamanan dan sektoral.
Misalnya, TNI Angkatan Laut (AL) tidak lagi membatasi pada naval intelligence, tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence yang mampu menyediakan informasi strategis kepada institusi maritim nasional.
Seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup, Bea Cukai, Kepolisian, dan terutama untuk TNI.
Untuk itu, urgensi membangun sejumlah infrastruktur pangkalan dan sarana pemeliharaan kapal perang tak terhindarkan lagi.
Infrastruktur tersebut utamanya untuk mendukung efektivitas Markas Komando Armada ketiga yang terletak di Sorong, Papua Barat.
Selama ini kekuatan tempur TNI AL masih bertumpu pada dua armada wilayah, yakni barat atau Armabar, dan timur atau Armatim.
Jumlah kapal perang milik TNI AL hanya berjumlah 151 unit. Padahal, jumlah kapal perang RI pada 1960-an berjumlah hingga 162 kapal.
Sistem komando armada yang bertugas membina kemampuan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, pasukan marinir, dan pangkalan sebaiknya lebih bersinergi dengan instansi lain yang juga mengelola wilayah laut.
Kemampuan peperangan laut dan kesiapan operasi laut pada saat ini harus bisa berubah menjadi operasi non-perang yang mendukung penegakan kedaulatan dan hukum di laut, serta mengamankan potensi ekonomi di laut
Tugas penting lanjutannya adalah membentuk sistem nasional pengawas kelautan yang andal dengan tiga aspek penting.
Pertama, aspek informatif. Sistem harus memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional, baik dari sisi sumber daya laut, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut (accident maupun incident), tanda-tanda navigasi laut yang sangat membantu bagi kapal berlayar, dan segala informasi mengenai laut lainnya.
Kedua, aspek integratif. Tumpang tindihnya pengadaan infrastruktur dan pemasangan peralatan pengawasan antar departemen bisa diatasi, sehingga ada penghematan anggaran negara.
Karena jumlah peralatan atau sistem yang dibangun tidak bertabrakan dalam hal jangkauan pada suatu daerah atau sistem dan fungsinya.
Selain itu, dengan solusi interoperabilitas maka masalah selang-seling pemilik peralatan di sepanjang selat kritis, seperti Selat Malaka bisa diintegrasikan.
Ketiga, adalah aspek kolaboratif. Hal ini lebih fokus pada status data yang dipertukarkan.
Misalnya, data untuk memberantas Illegal Unregulated and Unreported Fishing (IUU) seperti jalur kapal ikan (posisi, kecepatan, heading), SIKPI (identitas pemilik, perusahaan, ukuran kapal, jenis alat tangkap, tanggal kedaluwarsa izin), basis data log book (jenis ikan, lokasi), data parameter biologi laut (klorofil, upwelling), dan data batas WPP.
Jadi pendeknya, perlu sinergi strategis yang permanen antara tiga lembaga yang selama ini menjadi pengelola utama sistem kelautan nasional, yakni KKP, TNI AL, dan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan, yang secara pertahanan dan ketahanan akan sangat strategis dan cocok berada di bawah koordinasi seorang Panglima TNI berasal dari matra Angkatan Laut.