Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pahlawan Nasional

6 Tokoh Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Tahun Ini, 1 dari Sulawesi Utara. Ini Sosoknya

Arnold Mononutu adalah mantan Menteri Penerangan dan Duta Besar Indonesia pertama untuk Tiongkok.

IPPHOS
Arnold Mononutu (ketiga dari kanan), Mohammad Hatta (kedua dari kanan), dan Sultan Hamengku Buwono IX (kanan) meninjau parade militer di Yogyakarta pada tanggal 20 Februari 1948. 

Sekolah-sekolah tersebut memiliki total sekitar 300 siswa yang terdaftar.

Pada tahun 1930, Mononutu harus meninggalkan posisinya di Perguruan Rakyat dan kembali ke Manado, karena dia menerima kabar bahwa ibunya sakit.

Waktu di Manado dan Ternate
Mononutu tinggal di Manado selama 12 tahun dari 1930 hingga 1942.

Selama waktu ini, ia menjadi direktur koperasi kopra. Koperasi ini memiliki sekitar 500 anggota yang tersebar di seluruh wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow.

Mononutu berhasil mendapatkan kredit dari Bank Kredit Umum Rakyat (Algemene Volkscredietbank) yang sekarang Bank Rakyat Indonesia untuk membayar hutang-hutang para petani kopra.

Ini memungkinkan para petani untuk menjual kopra mereka ke koperasi, yang menawarkan harga lebih stabil dan sesuai dengan standar.

Kopra itu kemudian diekspor melalui Nationale Handelsbank yakni sebuah bank yang didirikan Belanda untuk membiayai perdagangan antara Belanda dan Hindia Belanda.

Pada awal pendudukan Jepang pada tahun 1942, Mononutu dicari oleh Jepang karena sikap nasionalisnya dan hubungannya dengan organisasi-organisasi nasionalis.

Dengan bantuan seorang Jepang yang bersimpatik bernama Yamanishi, Mononutu melarikan diri ke pulau Ternate di Kepulauan Maluku dan menetap di sana sampai akhir pendudukan Jepang.

Keterlibatan dalam Negara Indonesia Timur

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Mononutu memokuskan usahanya untuk membantu rakyat Maluku Utara untuk menentukan respon mereka yang terbaik.

Dia adalah salah seorang yang mendirikan organisasi politik bernama Persatuan Indonesia.

Sebuah koran bernama Menara Merdeka diterbitkan untuk mempromosikan cita-cita Persatuan Indonesia.

Koran ini memberikan pesan-pesan pro-republik dan mengkritik upaya-upaya Belanda untuk membentuk sebuah negara yang terpisah dari Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.

Upaya Belanda untuk menemukan solusi federalis untuk Indonesia termasuk diantaranya pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1946.

Mononutu menjadi anggota parlemen NIT dan memimpin kelompok anggota parlemen yang pro-republik.

Dia memfokuskan usahanya untuk membujuk anggota parlemen lain untuk mendukung gagasan menyatukan NIT dengan Republik Indonesia.

Setelah Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, Mononutu mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Organisasi ini berusaha menyoroti tindakan Belanda yang berupaya untuk kembali menjajah Indonesia.

Pada bulan Februari 1948, ia memimpin sebuah delegasi NIT untuk mengunjungi dan bertemu dengan para pemimpin Republik Indonesia di Yogyakarta.

Pada tahun 1949, NIT menjadi konstituen dari Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan digantikan oleh Republik Indonesia yang bersatu.

Menteri Penerangan

Mononutu ditunjuk sebagai Menteri Penerangan dalam pemerintahan Indonesia pada tiga kesempatan terpisah:

Di Kabinet Republik Indonesia Serikat mulai 20 Desember 1949 hingga 6 September 1950.

Di Kabinet Sukiman-Suwirjo dari 27 April 1951 hingga April 1952.

Di Kabinet Wilopo dari 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953.

Selama menjabat sebagai menteri penerangan, beberapa daerah di Indonesia diguncang oleh pemberontakan-pemberontakan termasuk di Jawa Barat (Angkatan Perang Ratu Adil), Sulawesi Selatan (oleh Andi Azis), dan Maluku (oleh Chris Soumokil).

Mononutu bersama dengan Soekarno mengunjungi daerah-daerah ini dan dalam rapat-rapat terbuka mempromosikan cita-cita sebuah bangsa yang bersatu.

Pada tahun 1949 sesudah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dalam suatu tim kerja dengan kolega terdekatnya sesama Diplomat, Mr. Soedibjo Wirjowerdojo (yang kemudian mendampinginya selaku charge d'affaires/Wakil Duta Besar di RRC tahun 1953–1955), ia yang pertama kali mengumumkan nama Batavia menjadi Jakarta.

Sedangkan Mr. Soedibjo Wirjowerdojo mengumumkannya di Belanda.

Rektor Universitas Hasanuddin
Pada tahun 1960, Mononutu diminta oleh Soekarno untuk menjadi Rektor Universitas Hasanuddin.

Dalam lima tahun jabatannya sebagai rektor, jumlah mahasiswa bertumbuh dari 4.000 mahasiswa menjadi 8.000 mahasiswa.

Pada awal jabatannya, universitas ini hanya memiliki tiga fakultas yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Kedokteran.

Selama masa jabatannya, enam fakultas baru didirikan yakni Fakultas Ilmu Pasti dan Alam, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Sastra, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Teknik.

Penghargaan
Pada 15 Februari 1961, Mononutu dianugerahi Bintang Mahaputra Utama yaitu penghargaan tertinggi yang diberikan kepada seorang warga sipil oleh pemerintah Indonesia. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved