Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pahlawan Nasional

6 Tokoh Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Tahun Ini, 1 dari Sulawesi Utara. Ini Sosoknya

Arnold Mononutu adalah mantan Menteri Penerangan dan Duta Besar Indonesia pertama untuk Tiongkok.

IPPHOS
Arnold Mononutu (ketiga dari kanan), Mohammad Hatta (kedua dari kanan), dan Sultan Hamengku Buwono IX (kanan) meninjau parade militer di Yogyakarta pada tanggal 20 Februari 1948. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Menteri Sosial Juliari P Batubara mengumumkan, ada enam calon penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 2020.

Upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bertepatan peringatan Hari Pahlawan yang akan dilaksanakan di Istana Negara pada 10 November 2020.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan bertindak sebagai inspektur upacara.

Juliari P Batubara menyampaikan hal itu melalui Konferensi Pers 'Jelang Peringatan Hari Pahlawan 2020' secara daring yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemensos RI, Jumat (6/11/2020).

"Insya Allah, nama para calon penerima gelar Pahlawan Nasional tidak ada perubahan," kata Juliari.

Juliari menyebut, penganugerahan dan pemilihan calon pahlawan nasional ini telah melalui pertimbangan dari Kementerian Sosial dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Adapun rincian keenam tokoh tersebut yakni:

1. Sultan Babullah dari Provinsi Maluku Utara

2. Machmud Singgirei Rumagesan dari Provinsi Papua Barat

3. Jenderal Pol. (Purn.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang merupakan Kapolri pertama domisili di DKI Jakarta.

4. Arnold Mononutu dari Provinsi Sulawesi Utara

5. Sutan Mohammad Amin Nasution dari Provinsi Sumatera Utara.

6. Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen bin Adi dari Provinsi Jambi.

Tentang Arnold Mononutu

Mengutip dari Wikipedia bahasa Indonesia, Arnold Mononutu bernama lengkap Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu. 

Ia adalah mantan Menteri Penerangan dan Duta Besar Indonesia pertama untuk Tiongkok.

Ia juga pernah menjadi anggota Majelis Konstituante dan Rektor Universitas Hasanuddin.

Arnold lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 4 Desember 1896.

Meninggal di Jakarta, 5 September 1983 pada umur 86 tahun. 

Ayahnya bernama Karel Charles Wilson Mononutu dan ibunya bernama Agustina van der Slot.

Baik ayah dan kakeknya adalah tokoh terkemuka dalam masa-masa mereka. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri (ambtenaar) Hindia Belanda.

Kakeknya yang juga bernama Arnold Mononutu adalah orang Minahasa pertama yang menyelesaikan studi di sekolah untuk pelatihan dokter pribumi (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, STOVIA) di Batavia.

Ketika Mononutu berusia dua tahun, ayahnya ditugaskan ke Gorontalo.

Empat adiknya lahir di Gorontalo, tetapi sayangnya keempatnya meninggal antara lima dan enam bulan.

Pada tahun 1903, Mononutu mengikuti sekolah dasar bahasa Belanda (Europeesche Lagere School, ELS) di Gorontalo.

Ia melanjutkan studinya di tingkat sekolah yang sama di Manado setelah ayahnya dipindahtugaskan ke Manado.

Pada tahun 1913, Mononutu belajar di sekolah menengah Belanda (Hogere burgerschool, HBS) di Batavia.

Saat itu, ia bertemu dan berteman dengan AA Maramis yang juga dari Minahasa dan Achmad Subardjo.

Sewaktu di Belanda

Pada tahun 1920, Mononutu berangkat ke Eropa untuk memulai studinya di Belanda.

Pada awalnya, Mononutu tidak memiliki jiwa nasionalisme.

Namun, setelah menghadiri rapat-rapat Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) di Belanda, rasa nasionalisme untuk Indonesia mulai bertumbuh dalam dirinya.

Dia menjadi lebih terlibat dalam organisasi tersebut dan terpilih sebagai wakil ketua pada periode yang sama di mana Mohammad Hatta terpilih sebagai bendahara.

Ketika Soekiman Wirjosandjojo menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, Mononutu diminta untuk mewakili organisasi ini di antara organisasi-organisasi mahasiswa di Paris.

Selama berada di Paris, unsur-unsur dari Dinas Intelijen Politik Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst) menjadi curiga terhadap kegiatan-kegiatan Mononutu.

Pemerintah kolonial di Indonesia menyebarkan desas-desus palsu kepada ayahnya bahwa dia bersimpati kepada gerakan komunis.

Ayahnya diancam akan dipindahkan dari posisinya jika ia terus mengirimkan uang kepada anaknya.

Kembali ke Indonesia
Setelah kembali ke Indonesia, Mononutu segera terlibat dalam upaya nasionalisme.

Ia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang baru dibentuk.

Ia juga bertemu dengan pendirinya, Soekarno, untuk pertama kalinya.

Mononutu menyewa sebuah kamar di rumah yang sama dengan Suwirjo dan Sugondo Djojopuspito yang keduanya adalah pemimpin Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia.

Organisasi ini adalah bagian dari Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Pada mulanya, Mononutu bekerja untuk sebuah perusahaan eksplorasi minyak Jepang bernama Mitsui Buissan Kaisha, tetapi kemudian memutuskan untuk bekerja di Perguruan Rakyat yang baru didirikan walaupun dengan gaji yang lebih rendah.

Ia mengelola dan mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Perguruan Rakyat.

Guru-guru lain termasuk Mohammad Yamin dan Gunawan Mangunkusumo (saudara Tjipto Mangoenkoesoemo).

Sekolah-sekolah tersebut memiliki total sekitar 300 siswa yang terdaftar.

Pada tahun 1930, Mononutu harus meninggalkan posisinya di Perguruan Rakyat dan kembali ke Manado, karena dia menerima kabar bahwa ibunya sakit.

Waktu di Manado dan Ternate
Mononutu tinggal di Manado selama 12 tahun dari 1930 hingga 1942.

Selama waktu ini, ia menjadi direktur koperasi kopra. Koperasi ini memiliki sekitar 500 anggota yang tersebar di seluruh wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow.

Mononutu berhasil mendapatkan kredit dari Bank Kredit Umum Rakyat (Algemene Volkscredietbank) yang sekarang Bank Rakyat Indonesia untuk membayar hutang-hutang para petani kopra.

Ini memungkinkan para petani untuk menjual kopra mereka ke koperasi, yang menawarkan harga lebih stabil dan sesuai dengan standar.

Kopra itu kemudian diekspor melalui Nationale Handelsbank yakni sebuah bank yang didirikan Belanda untuk membiayai perdagangan antara Belanda dan Hindia Belanda.

Pada awal pendudukan Jepang pada tahun 1942, Mononutu dicari oleh Jepang karena sikap nasionalisnya dan hubungannya dengan organisasi-organisasi nasionalis.

Dengan bantuan seorang Jepang yang bersimpatik bernama Yamanishi, Mononutu melarikan diri ke pulau Ternate di Kepulauan Maluku dan menetap di sana sampai akhir pendudukan Jepang.

Keterlibatan dalam Negara Indonesia Timur

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Mononutu memokuskan usahanya untuk membantu rakyat Maluku Utara untuk menentukan respon mereka yang terbaik.

Dia adalah salah seorang yang mendirikan organisasi politik bernama Persatuan Indonesia.

Sebuah koran bernama Menara Merdeka diterbitkan untuk mempromosikan cita-cita Persatuan Indonesia.

Koran ini memberikan pesan-pesan pro-republik dan mengkritik upaya-upaya Belanda untuk membentuk sebuah negara yang terpisah dari Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.

Upaya Belanda untuk menemukan solusi federalis untuk Indonesia termasuk diantaranya pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1946.

Mononutu menjadi anggota parlemen NIT dan memimpin kelompok anggota parlemen yang pro-republik.

Dia memfokuskan usahanya untuk membujuk anggota parlemen lain untuk mendukung gagasan menyatukan NIT dengan Republik Indonesia.

Setelah Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, Mononutu mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Organisasi ini berusaha menyoroti tindakan Belanda yang berupaya untuk kembali menjajah Indonesia.

Pada bulan Februari 1948, ia memimpin sebuah delegasi NIT untuk mengunjungi dan bertemu dengan para pemimpin Republik Indonesia di Yogyakarta.

Pada tahun 1949, NIT menjadi konstituen dari Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan digantikan oleh Republik Indonesia yang bersatu.

Menteri Penerangan

Mononutu ditunjuk sebagai Menteri Penerangan dalam pemerintahan Indonesia pada tiga kesempatan terpisah:

Di Kabinet Republik Indonesia Serikat mulai 20 Desember 1949 hingga 6 September 1950.

Di Kabinet Sukiman-Suwirjo dari 27 April 1951 hingga April 1952.

Di Kabinet Wilopo dari 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953.

Selama menjabat sebagai menteri penerangan, beberapa daerah di Indonesia diguncang oleh pemberontakan-pemberontakan termasuk di Jawa Barat (Angkatan Perang Ratu Adil), Sulawesi Selatan (oleh Andi Azis), dan Maluku (oleh Chris Soumokil).

Mononutu bersama dengan Soekarno mengunjungi daerah-daerah ini dan dalam rapat-rapat terbuka mempromosikan cita-cita sebuah bangsa yang bersatu.

Pada tahun 1949 sesudah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dalam suatu tim kerja dengan kolega terdekatnya sesama Diplomat, Mr. Soedibjo Wirjowerdojo (yang kemudian mendampinginya selaku charge d'affaires/Wakil Duta Besar di RRC tahun 1953–1955), ia yang pertama kali mengumumkan nama Batavia menjadi Jakarta.

Sedangkan Mr. Soedibjo Wirjowerdojo mengumumkannya di Belanda.

Rektor Universitas Hasanuddin
Pada tahun 1960, Mononutu diminta oleh Soekarno untuk menjadi Rektor Universitas Hasanuddin.

Dalam lima tahun jabatannya sebagai rektor, jumlah mahasiswa bertumbuh dari 4.000 mahasiswa menjadi 8.000 mahasiswa.

Pada awal jabatannya, universitas ini hanya memiliki tiga fakultas yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Kedokteran.

Selama masa jabatannya, enam fakultas baru didirikan yakni Fakultas Ilmu Pasti dan Alam, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Sastra, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Teknik.

Penghargaan
Pada 15 Februari 1961, Mononutu dianugerahi Bintang Mahaputra Utama yaitu penghargaan tertinggi yang diberikan kepada seorang warga sipil oleh pemerintah Indonesia. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved