Dilema Keamanan Oseania Abad Ke-21: Perdagangan Migran dan Pencucian Uang
Salah satu dilema keamanan lainnya adalah masalah pencucian uang, yang merupakan salah satu kejahatan terbesar yang dihadapi oleh negara kepulauan.
Penuli sAndrew Michael Effendi Mahasiswa Hubungan Internasional, UKI Jakarta
KEAMANAN kawasan Oseania telah menghadapi tantangan besar dalam menghadapi globalisasi dan perkembangan teknologi di abad ke-21.
Tidak hanya perkembangan teknologi dan budaya yang dapat diterima dengan hati-hati, tetapi kerentanan ekonomi dan keamanan negara kepulauan telah menyebabkan tingkat kejahatan di Pasifik Selatan meningkat dengan dukungan dari perkembangan teknologi yang ada.
Tingkat kejahatan yang menjadi perhatian negara-negara ini termasuk perdagangan migran dan pencucian uang. Penelaahan keamanan di kawasan Oseania selama satu dekadi terakhir masih mengarah pada ancaman tradisional seperti intervensi militer atau dampak persaingan dari negara adidaya, tetapi melihat pada abad ke-21, masalah keamanan kontemporer akan dilihat lebih luas dengan kemungkinan ancaman seperti kejahatan transnasional yang terorganisir, perubahan demografis, kurangnya kapasitas suatu negara dalam hal perlindungan diri, bentuk pemerintahan yang belum utuh, serta berbagai masalah hukum politik dan tatanan teritorial. Keamanan saat ini terlihat lebih kompleks dan komprehensif (Mack, 1993).
Hingga saat ini, kesepakatan mengenai sifat dan agenda keamanan kontemporer di negara-negara kepulauan telah mendapatkan tanggapan yang kuat dari para pemimpin di kawasan Oseania (Levi, Pernyataan, 17-18 Agustus 2000). Jalan yang mereka tempuh masih panjang untuk menghasilkan keamanan kawasan yang terintegrasi dengan baik dan menciptakan lingkungan yang bebas dari dominasi dan kejahatan.
Dilema keamanan terjadi karena negara-negara kepulauan dianggap tidak mampu menghadapi kekuatan globalisasi, terutama globalisasi keamanan internasional yang kompleks.
Alasan utama banyaknya permasalahan di negara-negara kepulauan karena kelemahan dan kerentanan ekonomi masing-masing entitas, sehingga daerah Pasifik Selatan menjadi tempat yang nyaman bagi setiap pelaku kejahatan transnasional yang terorganisir untuk melakukan aksinya, salah satunya perdagangan migran.
Resesi atau menipisnya sumber daya yang layak secara komersial telah memungkinkan pemerintah menjadi lebih lunak, kurang berhati-hati dalam mengambil keputusan dan dalam beberapa kasus mengabaikan arus migrasi ilegal dan investasi ilegal ke negara mereka (Zhang dan Gaylord, 1996: 182-183). Inilah yang menyebabkan mengapa angka kejahatan di negara-negara kepulauan sangat tinggi, dan jumlah migran yang masuk ke negara mereka melebih kapasitas.
Hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan perdagangan manusia.
Apa yang membedakan migrasi dari abad ke-21 adalah dengan meningkatnya migrasi dan pembatasan migran oleh masing-masing negara telah meningkatkan peluang migran untuk bermigrasi secara ilegal.
Hal ini terjadi karena terdapat ketidakseimbangan global antara tingkat pendapatan, standar sosial-ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan lingkungan, serta perkembangan demografi yang ada. Permasalahan tersebut telah membawa permusuhan dan proteksionisme antara negara-negara di kawasan Oseania dan negara-negara di luar wilayahnya.
Arus migrasi yang deras telah memaksa negara-negara untuk menutup perbatasannya dan membatasi orang asing untuk memasuki negara mereka (Salt dan Stein, 1996: 477-478).
Namun dengan segala bentuk keamanan yang diupayakan, muncul masalah baru ketika para migran tampak terbaikan di beberapa negara seperti kebutuhan yang belum terpenuhi dan asupan pekerja migran yang kurang dan penolakan pencari suaka.
Beberapa dari mereka telah menolak jalur hukum sebagai jalur resmi pengiriman migran karena jumlah pekerja migran yang terbatas. Kesejahteraan manusia berkurang.
Masyarakat mulai menggunakan berbagai cara-cara alternatif dalam bermigrasi yang mana mengabaikan jalur hukum.
Hanya masalah waktu saja, organisasi-organisasi tersebut akan semakin marak dan sangat terorganisir dengan baik dan dapat disebut sebagai salah satu kejahatan transnasional yang terorganisir.
Alasan utamanya adalah kesejahteraan masyarakat di negara asalnya semakin menurun, terdapat beberapa penganiayaan, kemiskinan dan pengangguran.
Hal ini yang memaksa mereka untuk bermigrasi secara ilegal ke negara lain dengan bantuan organisasi profesional yang terlarang, dan mereka bertindak sebagai pedagang manusia.
Integrasi keamanan di wilayah Pasifik Selatan merupakan salah satu jalan terbaik untuk membendung terjadinya pergerakkan perdangan migran.
Selain daripada perdagangan migran, salah satu dilema keamanan lainnya adalah masalah pencucian uang, yang merupakan salah satu kejahatan terbesar yang dihadapi oleh negara-negara kepulauan yang menyerang sektor perekonomian masing-masing negara.
Hal ini menimbulkan banyak ancaman terhadap keamanan nasional dan regional karena hampir semuanya tidak dapat ditangani oleh kekuatan militer masing-masing negara.
Pengaruh globalisasi di bidang ekonomi dan teknologi menjadi salah satu penyebabnya, dimana kemudahan pengiriman uang secara elektronik tidak dapat disangkal telah memudahkan praktek pencucian uang di sejumlah negara Oseania.
Dilema keamanan yang muncul dalam pencucian uang berdampak sangat besar pada negara kepulauan yang ekonominya tidak sekuat negara tetangganya seperti Australia dan Selandia Baru.
Dilema keamanan lainnya muncul dari kurangnya dukungan yang kuat untuk melindungi uang yang diperoleh secara legal dari sistem perpajakan di daerah.
Jika dilihat dari sudut pandang hukum, sangat sulit bagi penegak hukum untuk mengatur transaksi keuangan antar negara atau kawasan karena sebagian besar pengalihan izin oleh pihak yang tidak bertanggung jawab bersifat rahasia dan terorganisir dengan baik (McDonnell, 1998).
Arus globalisasi dalam transaksi keuangan telah memungkinan negara-negara pulau terpencil seperti Palau dan Nauru untuk meminta bantuan dari Amerika Serikat dalam menyelesaikan masalah pencucian uang yang memanfaatkan perbankan lepas pantai.
Perekonomian negara-negara kepulauan relatif lemah, sehingga kegiatan kriminal terkadang terlewatkan oleh pemerintah.(*)
Referensi:
Mack, Andrew. (1993). Concepts of Security in the Post-Cold War World. Canberra: Department of International Relations, Australia National University
McDonnell, Rick. (1998). Money Laundering Methodologies and International and Regional Counter-Measures” Australia National Crime Authority, Volume 1
Salt, John dan Jeremy Stein. (1997). Migration as a Business: The Case of Trafficking. Interantional Migration 467, pp. 477-478
Zhang, Sheldon X. dan Mark S. Gaylord. (1996). Bound for the Golden MountainL The Social Organisation of Chinese Alien Smuggling. Crime, Law & Social Change, pp. 182-183
This consensus is reflected in the statement by Noel Levi, Secretary General, South Pacific Forum Secretariat, entitle ‘Regional Strategies’ dipresentasikan di Australia South Pacific Conference pada ‘The South Pacific Zone of Peace or Sea of Troubles, Canberra, Australian Defence Studies Centre, Australian Defence Force Academy, 17-18 Agustus 2000