Tajuk Tamu Tribun Manado
Gempar! Dahlan Iskan Membedah Buku Leluhur Minahasa Penguasa Dinasti Han
Bos Dahlan Iskan dan Prof Perry Rumengan ibarat dua pihak yang sedang mencari dan menemukan fakta sebenarnya di balik kisah leluhur Minahasa.
Oleh:
Stefi Rengkuan
Anggota Presidium ISKA
Wakil Bendahara PIKG
Anggota Pengurus Pusat IKAL STFSP
"PAK Boseke, ni hao. Saya Dahlan Iskan, baru selesai membaca buku Pak Boseke. Hebat sekali. Luar biasa. Sangat mengubah sejarah Minahasa! Salut. Xie xie."
Demikian ungkapan Pak Dahlan dalam percakapan langsung lewat WA dengan Weliam H Boseke pada tanggal 28 Oktober, dan keesokan harinya pas hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sudah muncul tulisan Dahlan Iskan di blog pribadinya, http://www.disway.id, berjudul: Membedah Buku Leluhur Minahasa karya Weliam H Boseke (Boseke Minahaizi).
Dan gemparlah dunia maya Tanah Air, khususnya yang terkait dengan sebuah entitas wilayah dan penduduk di ujung Celebes ini. Itu karena Dahlan Iskan yang punya kisah indah dengan Minahasa, terkait karier profesionalnya sebagai wartawan dan sebagai pengusaha media nasional.
Tulisan beliau memang selalu renyah dan bernas dinanti-nanti sidang pembaca yang luas. Bukan saja karena beliau pengusaha sukses di dunia media khususnya, tapi juga seorang mantan menteri yang pernah membawa banyak perubahan cara kerja di dunia pemerintahan yang serba birokratis dan tak jarang terkesan rumit dan jadinya berat, lamban, menjadi ringkas dan cekatan.
Menarik sekali Dahlan Iskan mengungkapkan kejujuran dia dalam membaca buku ini. Dia bersedia mengubah kebiasaan lamanya karena asumsi tertentu. Merasa lebih percaya dengan kualitas pengantar dari seorang profesor daripada penulis yang bukan seorang akademisi kampus.
Dan ternyata dia kecele sendiri, mendapati dirinya dibuat kaget oleh sang profesor sendiri yang justru sudah lebih dulu dibuat kaget oleh si penulis dengan temuan-temuannya yang mencengangkan, bahkan menggemparkan dunia keilmuan, bahkan sampai sang akademisi mau mengubah beberapa tulisan bukunya sendiri.
Cara Boseke menemukan itu memang di luar cara seorang peneliti ala akademisi kampus dengan prosedur tertentu. Ini sungguh menarik dan luar biasa, di tengah iklim budaya penelitian yang serba terjepit dengan minim dana dan terlebih terkungkung dalam prosedur teoretis akademis rujukan belaka.
Tapi jelas temuan Boseke tak diragukan karena memiliki bobot obyektivitas ilmiah yang tinggi karena siapapun bisa memverifikasinya dengan metode tertentu. Bahkan orang lain bisa membuat falsifikasi dan hanya untuk menegaskan kembali kebenaran obyektif dari sisi bahasa terutama yang telah dan sedang dibuat Boseke, dengan kemandirian dari sisi pendanaan dan cara yang digunakan. Sungguh menarik, luar biasa dan mengagumkan!
Kisah ketertarikan dan kegemparan ini bisa dibandingkan dengan kisah dalam pendahuluan buku yang terbit 1988, The Alchemist, ditulis oleh sastrawan dunia asal Brasil, Paulo Coelho.
Singkatnya, dalam perjalanan sekelompok manusia dengan karafan, sang tokoh pencari harta kartun bernama Santiago dikisahkan memanfaatkan waktunya dengan membaca sebuah kisah lama, yakni mitologi tentang Narsisus yang selalu datang mengagumi bayangan ketampanan dirinya sendiri di tepi danau yang tenang dan jernih. Sampai suatu saat akhirnya Narsisus tercebur dan tenggelam. Mati di dalam danau itu.
Sampai di situ kisah lama itu berakhir. Tapi makin menarik lagi karena ternyata masih berlanjut dengan kisah tentang dewa-dewi yang mengagumi ketampanan Narsisus itu dan juga sedang mencarinya, dari hutan ke hutan, dan tibalah di tepi danau yang diketahui adalah tempat favorit Narsisus. Tapi dewa dewi hanya mendapati sang Danau sedang menangis sedih.
"Wahai Danau, mengapa engkau menangis?" "Saya sedih karena Narsisus sudah tidak ada, wahai Dewa Dewi." "Oh, bukankah Narsisus selalu berada denganmu, wahai Danau?" "Iya, tapi saya hanya memperhatikan bayangan diri saya yang cantik di cermin matanya. Apakah Narsisus tampan juga?"
Sungguh kisah yang menarik. Para dewa-dewi kayangan pun jadi bingung, hanya bisa saling menatap dan sadar bahwa Narsisus telah menjadi korban dari kebanggaan diri berlebihan di satu pihak, dan di lain pihak si Danau yang terbuai dengan diri sendiri tanpa tahu realitas kesekitaran sebenarnya.
Nah, Bos Dahlan Iskan dan Prof Perry Rumengan ibarat dua pihak yang sedang mencari dan menemukan fakta sebenarnya di balik kisah leluhur Minahasa yang dipaparkan oleh Weliam Boseke ini. Mereka berdua segera menjadi sadar seperti dewa dewi tentang realitas ketampanan dan kecantikan itu serta konteks yang melingkupinya. Kisah ini bisa dipakai untuk menggambarkan kenyataan banyak orang Minahasa yang memiliki bacaan dan pengetahuan lama tentang Minahasa, tapi sudah selalu terjebak dalam bayangan "cantik tampan"nya Minahasa hanya dari bayangan dan persepsi sendiri, tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, dan konteks latar belakang tentang" kebenaran" itu sendiri.
Kisah Narsisus sendiri ternyata tidak cukup menyadarkan kita orang Minahasa tentang kebanggaan semu itu, maka perlu lanjutan kisah tentang sang Danau yang ternyata terperangkap juga dengan keelokan diri tanpa tahu apa-apa lagi tentang realitas yang telah dan sedang terjadi di sekitarnya. Akhirnya yang terjadi adalah kebanggaan semu, kemandegan bahkan kemerosotan budaya dan identitas, yang mengancam dan membahayakan diri sendiri, secara individual dan komunal.
Akhir tulisan pendek ini, saya menduga jangan-jangan Bos Dahlan dan Prof Perry pernah terjebak dengan kisah "ketampanan" Minahasa itu lalu pernah berkisah tentangnya tanpa banyak tahu, atau tepatnya hanya punya pengetahuan lama tentang Minahasa?
Paling tidak, sekarang melalui tulisan, mereka berdua sadar disadarkan oleh temuan baru dari seorang Boseke, yang mendapat dukungaan istei terkasih dan keluarga, serta direstui dunia Langit sehingga bisa mengungkap fakta-fakta baru dan cara melihat ketampanan dan keelokan Minahasa itu.
Kalau saya salah kira, bisa tanyakan langsung kepada kedua tokoh kita yang sempat dibuat terkejut dan kagum oleh "Pak Boseke", ungkapan hormat dan formal dari seorang Dahlan Iskan, seperti halnya menyapa Eric Samola, seorang Minahasa yang menjadi mentor yang dikagumi sang DI, dalam tulisan resensi buku itu. Bandingkan dengan ungkapan "Pak Wely" yang dipakai oleh seorang Prof Perry.
Dua cara mengungkapkan dan menegaskan terhadap satu hal yang sama terkait nama penulis buku itu sendiri, sebagai seorang yang mendapat hidayah sejarah lebih dahulu.
Ya, demikian juga fakta sejarah hanya satu, tapi bisa beragam perspektif dalam penulisan apalagi dalam hal tafsir dan makna, dalam lintasan ruang dan waktu: doeloe, kini, masa depan.
I Yayat U Santi. (*)
Baca juga: Sosok Chiang Kai-shek, Berseberangan dengan Partai Komunis China, Mendirikan Negara Taiwan
Baca juga: Pekan Depan, Siswa di Kotamobagu Mulai Belajar Tatap Muka. Ini Pesan Mendikbud Nadiem Makarim
Baca juga: Minum 3 Gelas Tuak, Pecatan Polri Ini Serang Ulama di Aceh Tenggara, Ustadz Maulana Luka di Leher