Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Jakob Oetama

Pak JO dan Penyelenggaraan Ilahi

Hingga usia makin uzur, menggunakan kursi roda, bahkan ingatan sudah kacau, Jakob pun sesekali diantar ke redaksi dan ruang kerjanya.

tribunnews/Dany Permana
Foto kenangan pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, memberikan sambutan dalam acara peringatan ulang tahunnya yang ke-80, di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (27/9/2011). Dalam acara tersebut juga diluncurkan sebuah buku jejak langkah tentang kehidupan Jacob Oetama selama 80 tahun yang berjudul Syukur Tiada Akhir yang disusun oleh St Sularto. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 

Oleh

Andi Suruji
Pemimpin Umum Tribun Timur
Mantan Deputy Managing Editor Kompas

KABAR duka itu, meninggalnya Jakob Oetama, pendiri Kelompok Kompas-Gramedia bersama almarhum PK Ojong, segera tersiar di grup whatsapp "Keluarga Kompas" dan "Red Palm's". Dua grup silaturahmi karyawan dan eks karyawan Kompas.

Grup Keluarga Kompas bercampur baur karyawan yang sudah pensiun, masih aktif dari berbagai bagian. Sementara Grup Red Palm's yang agak keren sedikit namanya, terbatas pada orang-orang lantai 3, sebutan untuk orang Redaksi.

Orang Redaksi adalah mereka yang bekerja atau pernah bekerja sebagai bagian redaksi. Lantai 3 sebutan untuk Redaksi karena seluruhnya dikuasai Redaksi Kompas. Karena alamat Kompas di Jalan Palmerah Selatan, maka grupnya dinamakan Red Palm's, akronim dari Redaksi Palmerah Selatan.

Bercampur baur anggotanya, tukang tulis berita, tukang foto, tukang koreksi berita, tukang layout, tukang sunting, sampai yang ngatur-ngatur perjalanan dan kendaraan dinas semua ada.

Begitulah memang nilai-nilai kekeluargaan yang selalu ditanamkan pendiri Kompas. Kebersamaan. Tidak ada yang merasa superior, lebih hebat dari yang lainnya. Tetapi satu sama lain saling melengkapi membentuk tim yang kuat. Yang kuat menutupi yang lemah.

Seperti itu juga Pak JO, begitu kami orang-orang Kompas menyebut namanya. Duet JO dan PK Ojong juga dua talenta luar biasa yang bersinergi melahirkan Kompas-Gramedia (KG). Pak JO orang Jawa dan guru yang ngemong, sementara PK Ojong keturunan Tionghoa-Sumatera yang "straight-forward".

Sebagaimana kebiasaan di Kompas, khususnya redaksi (wartawan), yang sangat egaliter, umumnya karyawan wartawan dipanggil sesuai inisialnya. Itulah inisial Pak Jakob, (JO). Seingat saya, hanya dua orang yang dipanggil 'pak', yakni Pak JO dan Pak Swan.

Selebihnya dipanggil 'mas' untuk laki-laki dan 'mbak' untuk perempuan. Yang muda pun dipanggi 'mas' dan 'mbak'. Khusus wartawan disertakan inisialnya, seperti Mas AG (August Parengkuan almarhum), Mas RB (Robby Sugiantoro) dan sebagainya.

Tetapi Pak JO punya cara memanggil kami anak-anaknya. Bagi mereka yang berasal dari luar Jawa, dipanggilnya 'bung'. Tetapi manakala dia memanggil kita 'mas', berarti ada something wrong, apakah karena dia tidak nyaman, atau kesal. Begitu juga jika orang Jawa, selalu dipanggil 'mas'. Manakala disapa dengan kata 'you', itu juga ada yang salah.

Di masa-masa akhir karier saya, sebelum pamit, resign, Pak JO teramat sering mengingatkan kami tentang tantangan jurnalisme dan media ke depan. Perlunya peningkatan profesionalisme media dan jurnalismenya.

Surat kabar semakin ditinggalkan pembaca. Media televisi semakin digemari karena masyarakat lebih terhibur. Tidak perlu mengernyitkan dahi pagi-pagi seperti ketika membaca surat kabar.

Itulah sebabnya, JO mencoba merumuskan jurnalisme yang harus diaplikasikan Kompas dan kelompoknya. Bahkan juga seluruh media sebenarnya. Yakni jurnalisme makna.

Tesis jurnalisme makna itulah yang mengantarnya meraih gelar Doktor Hinoris Causa dari almamaternya, Universitas Gadjahmada. Inilah salah satu legacy yang tak akan lekang ditelan zaman, termasuk era disrupsi media.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved