G30S PKI
Kisah 2 Pimpinan Korem Dikhianati Bawahan saat G30S PKI, Jasadnya Nyaris tak Ditemukan Selamanya
Ada 10 Pewira militer tewas dibunuh oleh para pelaku pengkhianatan tersebut baik di Jakarta dan Yogyakarta.
Penulis: Aldi Ponge | Editor: Aldi Ponge
Mereka dikaruniai enam orang anak laki-laki dan satu perempuan yang merupakan anak bungsu yakni Sugiarti Takarina.
Sayangnya, Sugiarti Takarina tak pernah melihat langsung wajah sang ayah. Sugiarti lahir 20 hari setelah jasad sang ayah ditemukan atau sekitar sebulan setelah Kolonel Sugiyono diculik.
Padahal umumnya, nama anak diberikan oleh ayahnya sendiri. Tapi nama Sugiarti Takarina adalah pemberian Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno.
Saat ini, tak banyak lagi publik yang keberadaan anak-anak Kolonel Sugiyono. Mereka nyaris hilang dan dilupakan bangsa ini.
Nama mereka tak setenar anak-anak pahlawan revolusi lainnya.
Sedangkan Istri Kolonel Sugiyono baru saja meninggal pada 18 Januari 2017 dalam usia 89 tahun.
Daerah kelahirannya seriang dianggap orang wilayah tertinggal karena sumber air yang minim.
Namun Kolonel Sugiyono dikenal sebagai sosok pekerja keras hingga mengantarkannya pada posisi tersebut.
Awalnya dia ingin menjadi guru, namun kedatangan Jepang, memaksanya berhenti dan mengikuti pendidikan ketentaraan di Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah proklmasi kemerdekaan, ia bergabung dengan Tetara Keamanan Rakyat (TKR). Ini menjadi ajudan Komandan Brigade 10 dibawah pimpinan Letkol Suharto.
Ia ikut berjuang dalam serangan umum 1 Maret 1945.
Sugeng Pratopo, keponakan Kolonel Sugiyono menceritakan kenangan sebelum wafatnya Kolonel Sugiyono yang menjadi kebanggan keluarga. Kolonel Sugiyono memliki 16 saudara.
Suatu ketika, Kolonel Sugiyono pulang ke Gedaren, sudah menjadi kebiasaan. Semua anggota keluarga pun berkumpul.
Kolonel Sugiyono berpesan : “Jangan ada yang menjadi tentara, menjadi tentara itu berat. Si Om saja yang menjadi tentara," kutip Sugeng.
Sugeng Pratopo pun diajak berkeliling ke rumah semua saudaranya di wilayah Ponjong dengan memakai seragam dinas serta membawa mobil gas ciri khas tentara kala itu.
Dalam kunjungan tersebut disertai canda, ia meminta hasil tani berupa kacang tanah kepada kakak-kakaknya.
“Kemudian pernah juga mengajak kami ke Gembira Loka untuk bermain dan bersenang-senang, bersama semua keponakan,” ungkapnya.
Tidak lama setelah beberapa peristiwa tersebut, ia mendapat kabar dari pemerintah, bahwa paman kebanggaannya meninggal dibunuh oleh PKI.
Dalam Biografi Kolonel Sugiyono diceritakan bahwa ia ikut serta dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) III dalam rangka menumpas pemberontakan KNIL di wilayah Sulawesi Selatan, yang dipimpin oleh Andi Aziz, Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun 1653.
Pada Juni 1965, ia diangkat menjadi Letnan Kolonel dan menjadi Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Kodam VII/Diponegoro di Yogyakarta, yang kemudian berubah nama menjadi Kodam IV/Diponegoro dibawah pimpinan Kolonel Katamso.
Saat itu, situasi negara dalam keadaan krisis.
Ada perseteruan antara ABRI di bawah komando Angkatan Darat (AD) dengan PKI, mulai dari pusat pemerintahan sampai ke daerah.
Salah satu daerah tersebut adalah Yogyakarta, dan Surakarta yang menjadi arena percobaan mereka untuk mempersiapkan pemberontakan.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Kol Sugiyono kembali ke Yogyakarta setelah beberapa waktu bertugas di Pekalongan.
Ia langsung menuju markas Korem 072 yang pada saat itu telah dikuasai militer pro-PKI, namun ia tidak mengetahui hal tersebut.
Kolonel Sugiyono salah satu tokoh ABRI yang diincar oleh PKI, sehingga pada kesempatan itu ia langsung ditangkap.
Ia dibawa ke Kentungan, sebelah utara Yogyakarta dan kemudian dibunuh.Jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh PKI.
Jenazahnya ditemukan pada 21 Oktober 1965. Pada tanggal 22 Oktober, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kolonel Infanteri TNI (Anumerta) Sugiyono dianugrahkan dijadikan Pahlawan Revolusi berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.118/KOTI/1965 tertanggal 19 Oktober 1965.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional. (Tribun Manado/Aldi Ponge)