Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

G30S PKI

Kisah 2 Pimpinan Korem Dikhianati Bawahan saat G30S PKI, Jasadnya Nyaris tak Ditemukan Selamanya

Ada 10 Pewira militer tewas dibunuh oleh para pelaku pengkhianatan tersebut baik di Jakarta dan Yogyakarta.

Penulis: Aldi Ponge | Editor: Aldi Ponge
TRIBUNMANADO/INTERNET
Kolonel Sugiyono dan Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kisah 2 pimpinan Korem yang dikhianati bawahannya saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI.

Diketahui, upaya kudeta yang terjadi pada 30 September 1965 ini telah merenggut nyawa putra terbaik bangsa.  

Ada 10 Pewira militer tewas dibunuh oleh para pelaku pengkhianatan tersebut baik di Jakarta dan Yogyakarta.

Bahkan diperkirakan ratusan ribu orang tewas saat operasi setelah peristiwa tersebut.

10 perwira yang tewas yakni Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal Siswondo Parman

Mayor Jenderal Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Kapten Pierre Tendean, AIP Karel Satsuit Tubun, Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo dan Kolonel Sugiyono.

Sosok Masumi Suzuki, Wanita Jepang yang Kumpulkan Dana Bantu Masyarakat Terdampak Covid-19 di Bali

Ramalan Zodiak Besok Selasa 8 September 2020, Virgo Pertimbangkan Pilihanmu dengan Hati-hati

Kolonel Sugiyono
Kolonel Sugiyono (Istimewa)

8 perwira pertama menjadi korban PKI di Jakarta sedangkan Katamso dan Sugiyono dibunuh PKI di Yogyakarta.

Katamso dan Sugiyono adalah Pimpinan Korem 072/Pamungkas

Katamso yang saat itu menjabat sebagai Komandan Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta.

Katamso diculik dan dibunuh bersama Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Kodam VII/Diponegoro, Kolonel Raden Sugiyonoo Mangunwiyoto.

Sayangnya, nama Jenderal Katamso dan Kolonel Sugiyono  seolah tak setenar para Jenderal lainnya.

Bahkan kisah hidup mereka tak banyak yang tahu. 

Wikipedia pun hanya melansir data seadanya tentang pahlawan revolusi yang meninggal di usia 42 tahun ini.

Disebutkan, Jenderal Katamso, lahir di Sragen 5 Februari 1923. 

Akan Ditutup Hari Ini, Kuota 800 Ribu Pendaftar untuk Kartu Pra Kerja Gelombang 7

Isabella Guzman Jalani Perawatan, Dokter: Dia Sering Menatap ke Ruang Hampa dan Tertawa Sendiri

Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo
Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo ()

Katamso menamatkkan pendidikan di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Usai itu, melanjutkan pendidikan Tentara Pembela Tanah Air. 

Saat bangsa Indonesia merdeka, Brigjen Katamso bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Dia ikut memimpin pasukan untuk mengusir Belanda yang melakukan agresi militer.

Bahkan melakukan penumpasan pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.

Saat peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta, Katamso menjadi Komandan Batalyon Operasi 17 Agustus pimpinan Ahmad Yani.

Katamso dipercayakan sebagai Komandan Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta pada 1963.

Saat itu, paham komunis mulai menyebar dilapisan masyarakat, menyasar kaum terpelajar. Dia giat membina mahasiswa untuk menghadapi PKI di Solo. 

Katamso mencium gelagat itu, sehingga memberikan pelatihan militer kepada mahasiswa untuk meningkatkan kecintaan kepada negara diatas kelompok dan golongan.

Monumen peringatan G30S/PKI
Monumen peringatan G30S/PKI (Instagram)

Dia memperkuat posisi resimen mahasiswa. Katamso berharap suatu saat diperlukan, mahasiswa siap memimpin sebuah kompi.

Katamso selalu mendekatkan diri dengan masyarakat. Ia sering hadir dipertemuan umum, sehingga makin dikenal masyarakat. 

Katamso terus berupaya membina masyarakat untuk memperbaiki kondisi yang saat itu sangat miskin karena tekanan ekonomi.

Dia menjalin hubungan erat dengan para guru, orangtua siswa dianjurkan untuk membantu para guru.

Keterbukaan dan kedekatan inilah membuat PKI tak menyukai Katamso. suasana semakin tak menentu. Bermunculan propoganda PKI melalui selebaran dan pelakat.

Sore itu, Katamso baru saja kembali dari Magelang dan Kolonel Sigiono baru kembali dari Pekalongan. 

Katamso pun disodorkan surat pernyataan yang isinya mendukung dewan revolusi untuk ditandatanganinya.

Dia menolak, lalu memanggil para perwiranya untuk membahas situasi tersebut. Tak disangka, sebagian stafnya sudah dipengaruhi PKI.

Mereka datang ke rumahnya sudah membawa senjata untuk menculik Katamso. Dia dibawa ke Desa Keuntungan, kompleks Batalyon.

Dia dipukuli dengan kunci mortir 8 dan disertai beberapa kali pukulan. Mayatnya dimasukan dalam lubang yang sudah disiapkan sebelumnya. 

Jenazahnya dan Kolonel Sugiono ditemukan pada 21 Oktober, setelah dilakukan pencarian besar-besaran. Tim pencari curiga atas tanaman yang baru ditanam di kompeks asrama di Keuntungan.

Anggota pencari menusukkan tongkatnya ke dalam tanah yang masih lunak. Ujung tongkat beradu dengan sebuah benda.

Tempat yang dicurigai itu langsung digali, dan bau busuk menyengat hidung. Di tempat itulah ditemukan jenazah Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono.

22 Oktober 1965, Katamso dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta. Katamso Darmokusumo diangkat menjadi Pahlawan Revolusi pada 19 Oktober 1965 atas Keppres No. 118/KOTI/1965.

Katamso yang saat itu berpangkat Kolonel pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional.

Dia meninggalkan seorang Istri bernama Sriwulan Murni. Mereka memiliki tujuh anak terdiri lima laki-laki dan dua perempuan.

Sugiyono Tewas saat Cari Katamso

Kolonel Sugiyono ditemukan tewas bersama atasannya, Komandan Korem 072/Pamungkas, Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo di Yogyakarta.

Mungkin sosok Kolonel Sugiyono yang saat itu menjabat Kepala Staf Korem 072/Pamungkas tak setenar nama Jenderal korban pembunuhan sadis itu. 

Atau bisa jadi tak banyak yang tahu sosok pahlawan revolusi yang satu ini.

Bahkan wikipedia pun hanya merilis data seadanya terkait pahlawan yang memiliki nama lengkap Raden Sugiyono Mangunwiyoto ini. 

Kolonel Sugiyono dilahirkan dilahirkan di Gedaren, Gunung Kidul pada 12 Agustus 1926 dan meninggal pada usia 39 tahun. Dia menikahi seorang perawat RS Bethesda, Supriyati.

Mereka bertemu saat Kolonel Sugiyono dirawat ketika cedera bertugas di medan perang.

Mereka dikaruniai enam orang anak laki-laki dan satu perempuan yang merupakan anak bungsu yakni Sugiarti Takarina.

Sayangnya, Sugiarti Takarina tak pernah melihat langsung wajah sang ayah. Sugiarti lahir 20 hari setelah jasad sang ayah ditemukan atau sekitar sebulan setelah Kolonel Sugiyono diculik. 

Padahal umumnya, nama anak diberikan oleh ayahnya sendiri. Tapi nama Sugiarti Takarina adalah pemberian Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. 

Saat ini, tak banyak lagi publik yang keberadaan anak-anak Kolonel Sugiyono. Mereka nyaris hilang dan dilupakan bangsa ini.

Nama mereka tak setenar anak-anak pahlawan revolusi lainnya.

Sedangkan Istri Kolonel Sugiyono baru saja meninggal pada 18 Januari 2017 dalam usia 89 tahun.

Daerah kelahirannya seriang dianggap orang wilayah tertinggal karena sumber air yang minim.

Namun Kolonel Sugiyono dikenal sebagai sosok pekerja keras hingga mengantarkannya pada posisi tersebut.

Awalnya dia ingin menjadi guru, namun kedatangan Jepang, memaksanya berhenti dan mengikuti pendidikan ketentaraan di Pembela Tanah Air (PETA).

Setelah proklmasi kemerdekaan, ia bergabung dengan Tetara Keamanan Rakyat (TKR). Ini menjadi ajudan Komandan Brigade 10 dibawah pimpinan Letkol Suharto.

Ia ikut berjuang dalam serangan umum 1 Maret 1945.

Sugeng Pratopo, keponakan Kolonel Sugiyono menceritakan kenangan sebelum wafatnya Kolonel Sugiyono yang menjadi kebanggan keluarga. Kolonel Sugiyono memliki 16 saudara.

Suatu ketika, Kolonel Sugiyono pulang ke Gedaren, sudah menjadi kebiasaan. Semua anggota keluarga pun berkumpul.

Kolonel Sugiyono berpesan : “Jangan ada yang menjadi tentara, menjadi tentara itu berat. Si Om saja yang menjadi tentara," kutip Sugeng.

Sugeng Pratopo pun diajak berkeliling ke rumah semua saudaranya di wilayah Ponjong dengan memakai seragam dinas serta membawa mobil gas ciri khas tentara kala itu.

Dalam kunjungan tersebut disertai canda, ia meminta hasil tani berupa kacang tanah kepada kakak-kakaknya.

“Kemudian pernah juga mengajak kami ke Gembira Loka untuk bermain dan bersenang-senang, bersama semua keponakan,” ungkapnya.

Tidak lama setelah beberapa peristiwa tersebut, ia mendapat kabar dari pemerintah, bahwa paman kebanggaannya meninggal dibunuh oleh PKI.

Dalam Biografi Kolonel Sugiyono diceritakan bahwa ia ikut serta dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) III dalam rangka menumpas pemberontakan KNIL di wilayah Sulawesi Selatan, yang dipimpin oleh Andi Aziz, Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun 1653.

Pada Juni 1965, ia diangkat menjadi Letnan Kolonel dan menjadi Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Kodam VII/Diponegoro di Yogyakarta, yang kemudian berubah nama menjadi Kodam IV/Diponegoro dibawah pimpinan Kolonel Katamso.

Saat itu, situasi negara dalam keadaan krisis.

Ada perseteruan antara ABRI di bawah komando Angkatan Darat (AD) dengan PKI, mulai dari pusat pemerintahan sampai ke daerah. 

Salah satu daerah tersebut adalah Yogyakarta, dan Surakarta yang menjadi arena percobaan mereka untuk mempersiapkan pemberontakan. 

Pada tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Kol Sugiyono kembali ke Yogyakarta setelah beberapa waktu bertugas di Pekalongan.

Ia langsung menuju markas Korem 072 yang pada saat itu telah dikuasai militer pro-PKI, namun ia tidak mengetahui hal tersebut.

Kolonel Sugiyono salah satu tokoh ABRI yang diincar oleh PKI, sehingga pada kesempatan itu ia langsung ditangkap.

Ia dibawa ke Kentungan, sebelah utara Yogyakarta dan kemudian dibunuh.Jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh PKI.

Jenazahnya ditemukan pada 21 Oktober 1965. Pada tanggal 22 Oktober, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Kolonel Infanteri TNI (Anumerta) Sugiyono dianugrahkan dijadikan Pahlawan Revolusi berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.118/KOTI/1965 tertanggal 19 Oktober 1965.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional. (Tribun Manado/Aldi Ponge)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved