Tajuk Tamu Tribun Manado
Pemulihan Ekonomi dan Pembangunan yang Berkelanjutan
pembangunan hanya jangka pendek, berfokus pada pengembangan aspek ekonomi dan infrastruktur dengan mengorbankan pembangunan lingkungan dan sosial.
Oleh:
Dr Karen Alfa Pontoan
Dosen Program Studi Agribisnis Unika De La Salle Manado
SEMENJAK diumumkannya Covid-19 sebagai pandemi pada Maret lalu oleh WHO, rata-rata perekonomian dunia terus mengalami penurunan. Menurut outlook perekonomian dunia yang dipublikasikan oleh IMF pada Juni 2020, perekonomian dunia untuk tahun ini diproyeksikan tumbuh -4,9 persen. Untuk wilayah Asia Tenggara, Asian Development Bank memprediksi pertumbuhan ekonomi sebesar -2,7 persen dan untuk Indonesia diperkirakan tumbuh -1,0 persen.
Kondisi melemahnya perekonomian kita saat ini diakibatkan karena berbagai faktor seperti menurunnya sebagian besar pendapatan masyarakat yang menyebabkan perubahan pola konsumsi dan penurunan permintaan. Bagi dunia usaha yang bergerak di sektor barang dan jasa, pandemi ini menyebakan kerugian yang sangat besar, misalnya gangguan pada rantai pasok industri dari hulu ke hilir, baik dari suplier, pabrik, distributor, dan ritel atau toko, maupun terhambatnya aktivitas ekspor-impor.
Kondisi di sektor riil selanjutnya berdampak pada sektor keuangan karena melemahnya kinerja perusahaan dan investasi. Selain itu, dengan gangguan pada rantai pasok dan adanya penurunan permintaan yang drastis dari konsumen, selanjutnya berdampak pada berkurangnya aktivitas produksi yang berakibat pada jutaan pekerja yang dirumahkan atau pada akhirnya mereka harus mengalami pemutusan hubungan kerja akibat situasi ini.
Berbagai langkah strategis telah ditempuh pemerintah untuk kembali menggairahkan perekonomian dengan memberikan stimulus ke berbagai lapangan usaha, baik di sektor industri pengolahan, energi, pertanian, perikanan dan kehutanan sampai pada sektor keuangan. Hal ini dapat dilihat dari besaran anggaran pemulihan ekonomi nasional yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan RI yang mencapai kurang lebih Rp 695,2 triliun dan untuk sektor kesehatan sekitar Rp 87,55 triliun.
Besaran anggaran untuk pemulihan ekonomi menunjukkan suatu sinyal yang pasti dari pemerintah untuk mendorong kembali perekonomian menuju pada jalurnya apalagi setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menciptakan kondisi masyarakat produktif dan aman dari Covid-19 atau era “new normal” dengan mulai membuka akses ke sektor-sektor ekonomi.
Namun di sisi lain apakah dengan kebijakan pemulihan ini juga mampu mendorong Indonesia menuju pada pembangunan yang berkelanjutan, pembangunan yang tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian alam? Atau justru semakin memperkuat konsep adanya trade-off antara pemulihan ekonomi dan kerusakan lingkungan?
Indonesia sebagai negara dengan populasi tertinggi keempat dan negara kepulauan terbesar di dunia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat selama beberapa dekade terakhir dan telah mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan. Berhasil naik kelas menjadi salah satu negara yang memiliki pendapatan menegah atas versi Bank Dunia dengan PNB per kapita berada di kisaran 4.050 dolar. Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh Syaifudin & Wu (2020) menunjukkan bahwa pembangunan yang ada hanya menekankan perspektif jangka pendek, yang berfokus pada pengembangan aspek ekonomi dan infrastruktur dengan mengorbankan pembangunan lingkungan dan sosial.
Kesimpulan ini berdasarkan pengukuran pada aspek ekonomi, sosial, kelembagaan dan lingkungan untuk 33 provinsi di Indonesia yang hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pencapaian yang tinggi dalam aspek ekonomi namun untuk aspek kelembagaan dan sosial rendah, bahkan untuk aspek lingkungan mengalami penurunan.
Temuan ini juga selaras dengan hasil yang disampaikan oleh Kurniawan & Managi (2018) yang menemukan bahwa adanya pemanfaatan sumber daya alam yang masif namun tidak berkelanjutan (sustainable) di balik pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laju alih fungsi lahan yang pesat dan ketergantungan pada energi fosil menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar dunia. Selain itu adanya penebangan dan kebakaran hutan serta pencemaran yang terjadi baik di darat maupun di laut, telah menekan ekosistem di Indonesia yang kaya akan keragaman hayati.
Permasalahan lingkungan hidup yang dihadapai Indonesia memang cukup pelik karena dari sisi kebijakan pengelolaan lingkungan yang ada, bahkan yang sudah terkodifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan sampai pada peraturan pemerintah di tingkat daerah, masih dianggap belum mampu untuk mengatasi masalah lingkungan yang terus muncul hingga saat ini.
Apalagi dalam upaya memulihkan perekonomian saat ini pemerintah pusat membuat kebijakan penundaan terhadap penerapan standar emisi euro 4 yang seharusnya berlaku mulai tahun 2021 mundur hingga tahun 2022. Penundaan ini dilakukan untuk membantu sektor industri otomotif yang mengalami pelemahan akibat pandemi Covid-19 dan juga untuk merangsang investasi ke dalam industri ini, walaupun di sisi lain terdapat alasan yang sangat mendesak untuk segera diterapkannya standar emisi euro 4 yaitu untuk mengurangi kandungan berbahaya dari gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor yang akumulasinya dapat mencemari lingkungan dan mengakibatkan meningkatnya pemanasan global.
Dengan demikian, memasuki era “new normal” dengan agenda pemulihan ekonomi, tentunya akan memberikan tantangan yang lebih berat lagi terhadap upaya pengelolaan lingkungan. Apalagi berkaca dari krisis ekonomi yang pernah kita alami di tahun 90an, di mana beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara adanya krisis ekonomi dan kerusakan lingkungan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Afsah (1998) yang menjelaskan bahwa telah terjadi peningkatan polusi selama periode krisis ini yang diakibatkan oleh meningkatnya kadar pencemaran limbah industri, selain itu Alisjahbana & Yusuf (2003) menemukan bahwa akibat krisis tersebut terjadi peningkatan ekstraksi sumber daya alam yang membahayakan pembangunan berkelanjutan.
Temuan-temuan ini tentu saja memberikan gambaran bagi kita terkait kondisi yang mungkin terulang lagi, bahwa trade-off antara pemulihan ekonomi dengan kerusakan lingkungan bukanlah mitos melainkan suatu realitas yang terjadi, maka saat ini diperlukan pemulihan ekonomi yang tidak lagi bertumpu pada pendekatan ekonomi konvensional, namun harus pada pendekatan yang mengedepankan penggunaan modal alam secara bertanggung jawab antara lain melalui pendekatan ekonomi hijau.