Tajuk Tamu Tribun Manado
Sulawesi Utara, Covid-19, dan New Normal
Secara umum dapat dikatakan bahwa mayoritas aktivitas ekonomi dominan di Sulut relatif sulit untuk dilakukan secara jarak jauh atau dari rumah.
Oleh:
Enggelin Giacinta Wongkar
Statistisi Ahli Pertama Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara
SEJAK Covid-19 melanda wilayah Indonesia pertama kali pada 2 Maret 2020, pemerintah mulai memberlakukan beberapa anjuran untuk menekan penyebaran virus ini semakin meluas, salah satunya dengan anjuran stay at home.
Tidak terkecuali masyarakat Sulawesi Utara, khususnya ketika pasien pertama positif Covid-19 di Sulawesi Utara teridentifikasi pada 14 Maret 2020. Dari hari ke hari, jumlah pasien positif, ODP, dan PDP di Sulawesi Utara semakin bertambah. Kondisi terakhir saat tulisan ini dibuat, yaitu pada 21 Juni 2020, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 853 orang atau sebanyak 1,9 persen dari total kasus Indonesia. Angka ini menempatkan Sulawesi Utara pada peringkat ke 13 secara nasional (sumber: covid19.go.id).
Demi mencegah penyebaran Covid-19 lebih meluas, pemerintah menganjurkan seluruh warga masyarakat untuk menerapkan stay at home dan social/physical distancing. Konsep ini menganjurkan masyarakat untuk tetap bertahan diri di rumah dan menerapkan jarak aman satu dengan yang lain, baik dalam kegiatan bersosialisasi maupun pekerjaan.
Namun, bagaimana dengan keadaan sesungguhnya? Apakah masyarakat sanggup untuk menjalankan anjuran ini jika meninjau fakta di lapangan?
Bersumber dari data hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) Februari 2020, sebanyak 39,36 persen penduduk bekerja berstatus buruh/karyawan, 28,21 persen berstatus berusaha sendiri, 13,25 persen lainnya berstatus berusaha dengan buruh baik tetap maupun tidak tetap, 10,08 persen berstatus pekerja bebas, serta sisanya sebanyak 9,1 persen berstatus pekerja tidak dibayar.
Masih dari sumber yang sama, data menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha maupun pekerja di Sulawesi Utara menggeluti lapangan usaha pertanian (23,75 persen); perdagangan (18,47 persen); pengadaan listrik, gas, air dan industri (10,99 persen); administrasi pemerintahan (8,57 persen); dan transportasi dan komunikasi (7,63 persen). Sejalan dengan hal itu, kelima lapangan usaha ini juga dominan dalam perekonomian, masing-masing sebesar 21,13 persen; 13,32 persen; 9,54 persen; 7,09 persen; dan 14,60 persen (sumber: Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Utara Triwulan 1 2020, sulut.bps.go.id).
Selanjutnya, mari kita tinjau masing-masing lapangan usaha tersebut. Pertama, lapangan usaha pertanian sangat bergantung pada hasil karya petani di lokasi pertanian yang diusahakannya; tentu saja hal yang sulit dilakukan dari rumah.
Selanjutnya, lapangan usaha perdagangan cukup fleksibel dan dapat dijalankan secara offline maupun online. Namun, berdasarkan data hasil SE2016 (sumber: Publikasi Potensi Usaha Mikro Kecil Provinsi Sulawesi Utara, 2018, sulut.bps.go.id), sebanyak 92,91 persen UMK non-pertanian di Sulawesi Utara belum menggunakan internet dalam usaha. Artinya, mayoritas UMK di Sulawesi Utara, termasuk di dalamnya lapangan usaha perdagangan yang menyumbang 45,07 persen UMK di Sulawesi Utara masih menggunakan cara konvensional dalam menjajakan barang atau jasa yang diproduksi.
Selanjutnya, lapangan usaha pengadaan listrik, gas, air, dan industri merupakan aktivitas padat karya dan memiliki standarisasi. Hasil pekerjaan tangan dari para pekerjanya sangat menentukan kualitas dan kuantitas output yang dihasilkan, sehingga aktivitas bekerja secara jarak jauh relatif sulit untuk dilakukan. Keterbatasan teknologi dan protokol yang harus dipatuhi menjadi penyebab lapangan usaha ini sulit menjalankan kegiatannya secara maksimal di masa pandemi ini.
Lapangan usaha administrasi pemerintahan cukup fleksibel karena pekerjaan di balik meja dapat dilakukan secara jarak jauh.
Selanjutnya, aktivitas transportasi dalam lapangan usaha transportasi dan komunikasi identik dengan mobilitas; sebaliknya aktivitas komunikasi memperlancar komunikasi bahkan yang berjarak jauh sekalipun, sehingga lapangan usaha ini relatif saling melengkapi satu sama lain.
Dari identifikasi kelima kegiatan sebelumnya, maka secara umum dapat dikatakan bahwa mayoritas aktivitas ekonomi dominan di Sulawesi Utara relatif sulit untuk dilakukan secara jarak jauh atau dari rumah dan untuk produksi maksimal harus ditangani secara langsung. Kelima lapangan usaha di atas bahkan belum mencakup lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum yang sangat terpukul.
Akibatnya, angka pertumbuhan ekonomi triwulan 1 2020 hanya tumbuh sebesar 4,27 persen (y-o-y) dan beberapa lapangan usaha tumbuh negatif, yaitu transportasi dan pergudangan (-2,59 persen), penyediaan akomodasi dan makan minum (-17,91 persen), jasa perusahaan (-2,16 persen), dan jasa lainnya (-4,78 persen). Bukan hanya di Sulawesi Utara, kondisi yang sama juga terjadi secara nasional.
Selanjutnya, dapat dilihat dari ulasan sebelumnya bahwa anjuran stay at home sesungguhnya sulit untuk diterapkan jika dihubungkan dengan aspek perekonomian, baik secara nasional, regional, maupun masing-masing individu. Pergerakan dari lapangan usaha-lapangan usaha tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian Sulawesi Utara.
Metode ini tentu akan sulit dipertahankan dalam jangka panjang. Masyarakat tetap harus melakukan aktivitas yang bertujuan memenuhi kebutuhan hidupnya, dan tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhannya dengan berdiam diri di rumah saja atau dengan kerja dari rumah. Ditambah lagi dengan budaya berkumpul dan bergotong royong yang identik di Indonesia atau budaya "mapalus" bagi masyarakat Sulawesi Utara membuat hal ini terasa semakin tidak mudah untuk terus dilakukan.
Pemerintah beberapa negara mulai mencoba menerapkan apa yang disebut dengan “new normal” atau dalam bahasa Indonesia “kenormalan/kelaziman baru”. Singkatnya, kenormalan baru ini membolehkan masyarakat tetap produktif sambil menjalankan protokol pencegahan Covid-19 selama vaksin infeksi tersebut belum ditemukan (sumber: cnnindonesia.com). Hal ini dapat mendorong kembali kegiatan ekonomi di Indonesia dan Sulawesi Utara sebagai respons perekonomian yang tumbuh melambat di Triwulan 1 2020.
Namun, sejak awal timbulnya wacana ini, metode ini cukup menjadi kontroversi di tengah masyarakat yang mayoritas mengganggap bahwa Indonesia belum layak untuk menerapkan new normal karena kurangnya kesiapan dari sisi sarana prasarana serta perilaku masyarakat.
Selain dari aspek ketenagakerjaan, yang patut dipertimbangkan dalam penerapan new normal ini adalah dari kondisi sosial masyarakat itu sendiri. Kelompok masyarakat lansia, atau yang berumur 60 tahun ke atas merupakan kelompok usia yang rentan terpapar Covid-19.
Di Sulawesi Utara, pada tahun 2020 ada sebanyak 292.216 orang atau 11,55 persen penduduk yang berumur 60 tahun ke atas (sumber: Proyeksi Penduduk BPS). Artinya, setidaknya sebanyak 11,55 persen masyarakat Sulawesi Utara merupakan kelompok rentan terjangkit Covid-19 di luar variabel lainnya, misalnya penduduk dengan riwayat penyakit tertentu, pekerja di bidang medis, dan lainnya. Tentu saja, berapapun angkanya, hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah yang bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat.
Maka, jika memang new normal akan diterapkan, beberapa metode pencegahan yang dapat saya sarankan adalah sebagai berikut:
Lebih meningkatkan awareness masyarakat akan protokol new normal. Masyarakat perlu diedukasi akan pentingnya prosedur cuci tangan yang benar, pemakaian masker, jaga jarak dan melakukan kontak langsung dengan benda, hewan, atau orang lain. Alangkah baiknya jika sarana pengingat seperti spanduk, baliho, maupun poster dapat makin diperbanyak dan disebarluaskan terlebih ketika new normal sudah mulai diterapkan.
Jika memungkinkan, pemerintah dapat menyediakan masker dan hand sanitizer yang memenuhi standar untuk masyarakat secara gratis. Saat ini masih dapat dijumpai di tempat-tempat umum masyarakat yang belum memakai masker, entah karena tidak memiliki atau memang kurang kesadaran. Pemerintah dapat membantu menyediakan barang-barang tersebut agar masyarakat tidak lagi memiliki alasan untuk tidak menggunakan masker. Selain itu, hand sanitizer yang dapat dibawa kemana saja merupakan alternatif yang praktis jika tidak ada tempat cuci tangan terdekat.
Kedua barang ini relatif murah harganya sejak berakhirnya kelangkaan pada beberapa waktu lalu namun cukup efektif dalam membantu pencegahan penyebaran virus.
Beberapa saran tersebut serta seluruh upaya dan kebijakan yang diambil pemerintah tentu akan efektif jika dibarengi dengan peran aktif seluruh warga masyarakat. Dengan menerapkan protokol kesehatan, maka kita akan sama-sama mencegah dan meminimalkan risiko diri kita dan orang lain terjangkit Covid-19. (*)
• Bawaslu Rilis IKP Pilkada 2020, Sulut Kategori Rawan Tinggi, Termasuk Manado, Minut dan Tomohon
• Minta Dibebaskan dari Hukuman Mati, Aulia Kesuma Surati DPR hingga Presiden
• Pilkada 2020, Ferry Liando: Modal Besar Jika Calon Gubernur Didukung Wali Kota atau Bupati