Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Voter Turnout Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19

Partisipasi pemilih di Pilkada dalam arti yang lebih luas, tidak hanya bicara jumlah pemilih yang ke TPS

Editor: David_Kusuma
istimewa
Anton Miharjo, Konsultan politik di Saiful Mujani Research and Consulting SMRC 

Penulis: Anton Miharjo

Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Partisipasi pemilih di Pilkada dalam arti yang lebih luas, tidak hanya bicara jumlah pemilih yang ke TPS. Tapi juga keterlibatan publik mulai dari proses pembuatan UU, PKPU, dan pelaksanaan tahapan. Pada urusan ini, partisipasi publik begitu kuat. Itu terlihat dari ramainya perdebatan pelaksanaan Pilkada.

Nilai lebih dari panasnya perdebatan lanjutan pilkada 2020, yakni adanya keinginan publik memastikan Pilkada berjalan demokratis. Dari banyak ruang perdebatan, persoalan yang paling dirisaukan adalah partisipasi pemilh pada hari pemungutan suara, voter turnout.

Voter turnout dimaknai sebagai suatu bentuk partisipasi melalui perhitungan persentase orang yang mengunakan hak pilihnya dibandingkan jumlah seluruh warga yang berhak mengunakan hak pilihnya (Miriam Budiarjo, 2008)

Voter turnout menjadi isu krusial hari ini karena pelaksanaan pilkada dilakukan di musim pagebluk corona.

KPU telah mematok target sebesar 77,5% di pilkada nanti. Pada pilkada serentak tahun 2018, partisipasi pemilih mencapai 73,24 persen, Pilkada serentak tahun 2017 dikisaran 74,20 persen, dan di tahun 2015 hanya mencapai 70 persen.

Sebelum kita bicara kesiapan penyelanggara pilkada dan seberapa besar peluang pemilih mengunakan hak pilihnya. Hal yang paling dasar adalah memahami perilaku memilih yang kemudian menjadi pintu masuk untuk memahami lebih dalam fakfor-fakfor apa saja yang mempengaruhi voter turnout

Saiful Mujani, R.William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, dalam studi kuantitatif pengalaman pemilu 1999 sampai 2009 yang tersaji dalam buku Kuasa Rakyat (Mizan., 2012) mengurai perilaku memilih di Indonesia dalam tiga pendekatan utama: pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional.

Faktor sosiologi yang mempengaruhi voter turnout, yakni agama (religiositas), civic engagement (keterlibatan dalam kegiatan sosial), kekerabatan, gender, dan demografi; Warga pedesaan, dan mereka yang aktif terlibat pada kegiatan sosial lebih cenderung akan datang ke TPS

Religiositas, kekerabatan, dan keterlibatan warga pada kegiatan sosial erat kaitannya peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh lokal lainnya yang mempunyai jaringan sosial yang luas. Keterlibatan mereka dalam mensosialisasikan pilkada dalam konteks apapun menjadi sangat penting dan bisa mempengaruhi partisipasi pemilih di TPS.

Faktor gender juga mempengaruhi voter turnout. Perempuan cenderung lebih banyak yang datang ke TPS dari pada laki-laki. Salah satu penyebabnya, perempuan cenderung lebih aktif dalam kegiatan warga di lingkungan (pengajian, ibadah kolom, arisan, dll) yang kemudian bisa termobilisasi ke TPS.

Sementara faktor psikologi yang mempengaruhi voter turnout ada pada ketertarikan publik pada politik, efikasi politik, identitas partai, dan kualitas personal calon.

Penting menjadi perhatian bahwa meskipun pemilih memiliki basis sosiologis bagi turnout, tapi kalau seorang warga tidak tertarik pada politik, sangat kecil kemungkinannya berpartisipasi di TPS.

Publik tertarik pada politik dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan umum bisa disebabkan banyak faktor, dan salah satu yang utama adalah informasi politik. Untuk urusan ini sangat terkait dengan publikasi dan informasi yang disajikan oleh para kontestan pilkada.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved