Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

OPINI

OPINI - Topeng Kekuasaan

Hampir muskil ditebak kehendak apa yang dihasratkan oleh "kehendak kuasa"(Der Wille zur Macht) -- seturut buku Nietzsche

Editor: Aswin_Lumintang
zoom-inlihat foto OPINI - Topeng Kekuasaan
istimewa
Reiner Ointoe

Reiner Ointoe

Penulis, Budayawan

HAMPIR muskil ditebak kehendak apa yang dihasratkan oleh "kehendak kuasa"(Der Wille zur Macht) -- seturut buku Nietzsche -- sebagai wujud konstitutif pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember 2020 di tengah kemelut pandemi Covid-19. Tak satupun prediksi meyakinkan kecuali apologi penyelenggara(KPU-Bawaslu) asal sesuai protokol dan protap Covid-19.

Betapa Covid-19, satu-satunya kuasa anonim dan absurd, bisa menafikan semua tatacara dan tatanan demokrasi prosedural kita. Apa urgensi rasional untuk memaksa atau terpaksa dalam situasi "force majeur" dan darurat ini -- "state of exception" dalam perspektif Agamben -- memilih kepala daerah serentak sebagai perintah konstitusi?

Semua tahu, konstitusi secara demokratis tabu kosong dari kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan dalam kekuasaan darurat sekalipun kekosongan pemerintahan itu berakibat lebih fatal timbang bencana non alam nasional ini. Tapi, tentu saja publik yang sedang risau dan panik terhadap bencana ini, pun sedang tak begitu hirau dengan tuntutan konstitusi memilih kepala pemerintahan di level provinsi dan kabupaten-kota serentak.

Akibatnya, prosedur teknis Pilkada kali ini(apapun yang sudah ditetapkan lewat PKPU, misalnya), pun tak akan mengundang partisipasi publik yang mayoritas. Sasarannya, boleh jadi selain berakibat pada penunaian dan pelipatan anggaran, bisa juga berpotensi meminimalisir partisipasi masif yang tak dikehendaki oleh demokrasi substantif.

Partisipasi publik yang rendah hanya akan menguntungkan kekuasaan dengan mandat bodong. Dalam artikata, saham publik pada kursi kekuasaan calon kepala daerah terpilih hanya memenuhi tahap demokrasi prosedural. Atau, sang kepala daerah terpilih dengan partisipasi publik rendah berpotensi untuk melanggengkan kekuasaan yang korup dan delegitimasi. Kelak, mereka tak butuh lagi aspirasi publik -- apalagi mayoritas yang tidak memilih mereka -- untuk menyelenggarakan mandat bodong pemerintahannya. Dalam ilmu politik seperti yang pernah diulas oleh Profesor David Walter Ruciman dari universitas Cambridge Inggris dalam buku "Political Hypocrisy"(2008), "politik apapun bentuk penyelenggaraannya berpotensi besar memiliki dua muka yang kedua-duanya palsu(baca: hipokrit)."

Jika demikian, urgensi untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak Desember 2020 nanti meski dalam suasana tak menentu dan dibarengi kepanikan yang dikelola di bawah sadar, boleh disangkakan pada gelora politik dua muka yang dihasratkan oleh makhluk "zoo-politicon". Padahal, pada binatang sesungguhnya(baca: zoos), hipokrit itu bukan wataknya. Itupun watak simpanze yang sudah diteliti biolog binatang, Franz de Waal seperti yang diurai dalam bukunya,"Primates & Philosopher: How Morality Envolved"(2006). Ternyata, hanya manusia secara politis harus melanggar moralitasnya. Simpanze: Ndaklah ya aauuu. Topengku saja sangat otentik. Darwin pun sudah mengakui sebagai spesies yang asli. Bukan dari keturunannya."#ReQuote.

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aib untuk Like

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved