Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Radiate Love, Bring Hope, Refleksi atas Pandemi Covid-19

Pandemi ini telah membangkitkan solidaritas dan kegotong-royongan yang kuat di tengah masyarakat. Orang peduli terhadap mereka yang berkekurangan.

ISTIMEWA
J Mangkey MSC 

Oleh:
J Mangkey MSC
Pastor Misionaris Hati Kudus Yesus

COVID-19 yang melanda 216 negara tidak sekadar masalah kesehatan tetapi juga telah berkembang menjadi masalah kemanusiaan dalam pelbagai aspeknya. Pandemi global ini telah menelan jumlah besar orang-orang yang terjangkit dan yang meninggal dunia tanpa mengenal status, ras, suku dan golongan apa pun. Tatanan sosial, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan masyarakat diuji dan didobrak untuk ditinjau kembali, diubah atau dibarui.

Sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 di Indonesia pemerintah menerapkan protokol kesehatan untuk penanganan Covid-19 dan pembatasan kegiatan-kegiatan di ruang publik. Setelah melewati waktu 3 bulan Indonesia bersiap untuk masuk dalam era yang disebut “New Normal”, suatu tatanan baru dalam pelbagai aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, dsb. Pandemi ini telah membongkar dan mendobrak sejumlah pola hidup manusia. Tatanan baru ini berkaitan dengan cara atau pola hidup (lifestyle) dan berperilaku baru, cara berelasi dan bersosialisasi secara baru, cara belajar dan cara bekerja secara baru. Anjuran untuk pola hidup sehat dan aman disosialisasikan dengan lantang dan pembatasan-pembatasan tertentu diterapkan.

Perubahan yang diakibatkan oleh pandemi ini menyentuh eksistensi manusia dalam hubungannya dengan Yang Mahakuasa, dengan sesama manusia dan dengan alam ciptaan. Orang disadarkan akan keterbatasan, kerentanan dan kerapuhannya serta diajak untuk meneropong dimensi eksistensial dan esensial hidupnya melebihi hal-hal luaran atau periferal/pinggiran. Orang diajak untuk merefleksikan dan memikirkan apa yang sebenarnya penting bagi kelangsungan hidupnya dan manakah yang bersifat superfisial. Orang didorong untuk bertanya tentang jati diri atau identitas diri yang sebenarnya. Orang diundang untuk masuk ke dimensi kontemplatif yakni kembali ke diri sendiri untuk berhadapan dengan Yang Mahakuasa dengan menggunakan daya-daya spiritual yang terpateri dalam dirinya.

Sejumlah pertanyaan mendasar mengemuka. Siapakah kita dan untuk maksud apakah kita bereksistensi? Seberapa besar kemampuan manusia berhadapan dengan misteri-misteri kehidupan? Apabila kita masih diberi kesempatan apakah yang ingin kita lakukan dan capai? Apakah yang ingin kita syukuri dan harapkan? Seberapa jauh hidup kita telah berarti bagi orang-orang lain? Seberapa besar hidup kita telah ikut membahagiakan sesama dan menyejahterakan bangsa dan negara? Dsb.

Momentum Covid-19 ini menjadi era kebangkitan baru (a time of new awakening), waktu kepedulian dan solidaritas (a time of caring and solidarity), waktu pengharapan (a time of hope), waktu untuk berubah dan bergerak maju (a time to change and to move on) menuju kehidupan yang lebih berkualitas.

A time of new awakening

Adanya pandemi Covid-19 menyadarkan masyarakat akan sejumlah keterbatasan, kerentanan dan kerapuhan dalam pelbagai aspek kehidupan. Tetapi pandami ini sekaligus membangkitan suatu kesadaran baru akan hal-hal yang esensial dan terpenting. Inilah waktu untuk kebangkitan baru (a time of new awakening). Sejumlah nilai dan warisan budaya yang menjadi kekayaan Indonesia dan yang sudah tergerus oleh kemajuan modern mengemuka untuk dibangkitkan kembali.
Di antara nilai-nilai itu adalah gotong royong yang menjadi warisan luhur dari budaya Nusantara.

Gotong royong adalah bekerja bersama-sama untuk mencapai hasil yang diharapkan. Setiap daerah atau lingkup budaya mempunyai ekspresi dan bahasanya sendiri. Setiap daerah mempunyai istilahnya sendiri untuk mengungkapkan esensi yang sama dari gotong royong, seperti Ngacau Gelamai (Bengukul), Alak Tau (Dayak Rindang Benua), Marsialapari (Sumatera Utara), Nugal (Kalimantan Barat), Ngayah (Bali), Gemohing (NTT), Song-Osong Lombhung (Madura), Mappalette Bola (Sulawesi Selatan), Grebuhan (Gunung Kidul Yogyakarta), Liliuran (Sukabumi), Alang Tulung (Aceh), Mapalus (Minahasa), Kuriak (Subang), Batobo (Riau), Ammossi (Sulawesi Selatan), Masohi (Maluku), Helem Foi Kenambai Umbai (Papua), Sabilulungan (Sunda), dsb. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan gotong royong sebagai “bekerja bersama-sama (tolong-menolong, bantu-membantu).” Bekerja bersama demi kepentingan bersama adalah nilai inti dari gotong royong.

Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Presiden Soekarno menerangkan “gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong! Prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.” Dia menjadikan gotong royong sebagai landasan semangat membangun bangsa. Momentum pandemi ini dipandang sebagai kesempatan untuk membangkitkan kembali nilai gotong royong yang menjadi intisari Pancasila dan yang dibutuhkan dalam situasi seperti ini oleh semua komponen bangsa Indonesia.

Selain itu, salah satu hal yang paling didengungkan dan disadarkan adalah kedisiplinan dan kepatuhan sebagai kunci untuk hidup secara teratur, sehat dan aman. Kedisiplinan dalam pelbagai aspek hidup sosial menjadi kunci untuk membangun masyarakat menjadi lebih baik. Masyarakat disadarkan akan pentingnya hidup disiplin dan teratur serta kepatuhan pada norma-norma sosial dan hukum untuk kepentingan dan kebaikan bersama.

Pola relasi dan hubungan antarsesama, yang tadinya mengedepankan kebersamaan dan kedekatan fisik, mengalami transformasi. Misalnya, kerja bersama di kantor dimungkinkan dari jarak jauh dengan work from home (WFH). Sebagai ganti tatap muka di ruangan kelas pelajaran dilakukan secara digital. Sistem pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi mengalami pergeseran; pendidikan melalui media sosial menjadi suatu kemungkinan yang perlu dikembangkan. Dalam hal ini perkembangan dan kemajuan teknologi media sangat menentukan. Pelbagai program dan aplikasi media dimanfaatkan. Juga, ruang kerja, ruang kelas, ruang pertemuan, dan lain-lain, ditata kembali, yang dapat dilihat sebagai suatu cerminan untuk penataan hidup itu sendiri.

Keluarga, yang merupakan sel inti hidup bermasyarakat, disadarkan akan nilai kebersamaan dan kekerabatan yang perlu diprioritaskan di tengah kesibukan pekerjaan. Kebosanan yang dirasakan dapat menjadi dorongan baru untuk menjadi kreatif, yakni bagaimana memanfaatkan waktu secara berkualitas (quality time), yang sering terabaikan atau ditelan oleh tuntutan kesibukan pekerjaan di luar rumah.

Hidup beragama dan beriman, yang cenderung bersifat ritual, ikut dimurnikan untuk kembali ke pengalaman iman yang relasional dengan Yang Mahakuasa. Ketika rumah-rumah ibadat ditutup untuk ibadat bersama umat merasa ada sesuatu yang hilang, yakni kebersamaaan fisik dengan sesama umat, doa bersama dalam gedung ibadat dan hal-hal lain yang menjadi kekhasan setiap agama. Umat dikembalikan ke esensi hidup beragama, yang terutama menyangkut kedalaman relasi personal dengan Yang Mahakuasa, yang seyogianya terekspresikan dalam hubungan dengan sesama dan alam ciptaan. Esensi hidup beragama jauh melebihi ritual-ritual, praktek-praktek saleh dan simbol-simbol luaran. Umat dituntut untuk menjalankan hidup beragama secara substansial dan esensial, bukan artifisial atau superfisial. Protokol peribadatan diterapkan.

Pandemi ini juga menyadarkan kita akan pentingnya lingkungan (environment) yang mendukung hidup sehat. Lingkungan hidup yang sudah terdeteriorisasi atau rusak oleh perilaku manusia berteriak untuk dikembalikan menjadi rumah bersama yang nyaman. Di antara hal-hal yang nampak sepele dan sederhana tetapi berdampak besar untuk kehidupan bersama adalah anjuran untuk sering mencuci tangan dengan antiseptik, memakai sanitizer, melindungi diri dengan masker, menjaga jarak, dsb. Demikian, kita ditantang untuk memperjuangkan pola hidup yang sehat dan lingkungan yang sehat dan hijau.

A time of caring and solidarity

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved