Opini
Mempertentangkan Kesehatan dan Ekonomi, Pantaskah?
Dalam kondisi pandemi seperti saat ini mulai muncul kelompok yang membangun opini untuk mendikotomikan kesehatan dan ekonomi
Penulis: Dewangga Ardhiananta | Editor: David_Kusuma
Penulis: Asep Rahman SKM MKes
(Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unsrat, Sekretaris Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama Sulawesi Utara)
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Dalam kondisi pandemi seperti saat ini mulai muncul kelompok yang membangun opini untuk mendikotomikan kesehatan dan ekonomi sebagai dua kutub yang berlawanan.
Pandangan ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, di berbagai belahan dunia pun menghadapi dilema yang sama. Di mana dengan pemberlakukan berbagai pembatasan untuk menekan laju penyebaran virus Covid-19. Hal tersebut baik secara lansung maupun tidak lansung mempengaruhi bergai sektor, termasuk melemahnya gairah ekonomi.
Dampaknya tentu saja sangat banyak di sektor ini, mulai dari penurunan angka penjualan pelaku usaha, pengurangan jumlah karyawan, hingga penutupan usaha.
Permintaan relaksasi pembatasan di daerah yang telah menerapkan PSBB terus menggaung dengan alasan makin lesu sektor ekonomi.
Bahkan viral sebuah video di media sosial di mana masyarakat semakin acuh dengan pembatasan ini, dengan berani mereka melakukan perlawanan kepada petugas karena sudah sampai pada batas kesabaran.
Jika pembatasan terus dipaksakan (dalam tanda kutip) tanpa membangun edukasi yang kuat, sangat mungkin perlawanan dari masyarakat akan semakin kuat kedepannya, bahkan bisa jadi tidak terkendali.
Di sini penumpang gelap dengan membawa panji bangkitnya ekonomi pada momen seperti ini justru membuyarkan semua tindakan mitigasi pandemi yang telah kita lalui selama dua bulan lebih.
• Tahap Kedua, Unsrat Beri Bantuan Kuota Internet Edukasi Kepada Mahasiswa Aktif
Jika ada yang tanya, pantaskah kita meletakan kesehatan dan ekonomi sebagai vis a vis? Dengan bahasa yang paling sederhana, penulis menyatakan itu adalah hal sangat konyol.
Definisi sehat sendiri baik dari organisasi kesehatan dunia (WHO), maupun yang diadopsi oleh kementerian kesehatan, menyatakan bahwa seorang yang sehat tidak hanya secara fisik namun harus mampu menjadi pribadi yang produktif, ditegaskan bahwasanya bukan hanya produktif hanya secara ekonomi, namun juga secara sosial.
Definisi ini memang terlalu ideal, sehingga seseorang dikategorikan sehat sangatlah paripurna.
Namun, di sini kita bisa lihat bahwa ekonomi dan kesehatan merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan. Telinga kita mungkin sudah terbiasa mendengar pepatah, sehat itu adalah harta termahal yang kita miliki.
Menempatkan kepentingan ekonomi dipertentangkan dengan sisi kesehatan tidaklah tepat. Kesehatan sendiri merupakan investasi yang sangat mahal yang nantinya berkontribusi bagi besar dari sektor ekonomi.
Katakanlah kesehatan sebagai human capital, sedangkan sisi ekonomi sebagai economic capital, kedua-duanya dibutuhkan untuk bersinergi saat ini menghadapi pandemi saat ini. Agar kita tidak terjebak dalam dikotomi ini, baiknya kita mencoba mencari alternatif lain sebagai solusi.
• 25 Contoh Ucapan Selamat Hari Kenaikan Yesus Kristus 2020, Bahasa Inggris dan Indonesia
Selain human capital dan economic capital, kita sebenarnya masih memiliki sumber capital lainya bernama social capital atau modal sosial. Modal sosial ini tentu saja mempunyai potensi besar jika diidentifikasi, digalang, bahkan dilembagakan untuk dimaksimalkan pemanfaatannya.
Indonesia sendiri merupakan negara yang tidak hanya kaya dengan modal ekonomi (dibaca sumber daya alamnya), modal manusia (penduduknya yang banyak), namun juga modal sosialnya. Interaksi antar warga negara kita sejatinya menjadi potensi besar.
Contoh modal sosial yang telah ada seperti adanya komunikasi antar tetangga, arisan keluarga, budaya gotong royong, sopan santun, bahkan saling memberi salam ketika bertemu merupakan modal sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat kita.
Mengutip dari berbagai kajian ilmiah, modal sosial bisa menjadi alternatif solusi pada saat krisis seperti ini melalui tiga cara. Pertama, modal sosial memungkinkan sebagai jembatan edukasi antar semasa masyarakat.
Kedua, modal sosial dapat mengakomodir kebutuhan setiap warganya dengan saling melengkapi kekurangan melalui budaya gotong royong. Ketiga, modal sosial bermanfaat sebagai penguatan sisi psikososial antar warga karena saling memberi dukungan dan motivasi.
• Tak Berlaku Bagi Semua Orang, Meski Jadi Protokol Cegah Corona Masker Berbahaya Bagi Penderita Asma
Modal sosial setiap tempat pasti berbeda-beda. Kita pun tidak perlu membandingkan negara kita dengan negara lain, toh setiap negara memiliki sumber daya yang berbeda-beda.
Penulis sendiri melihat saat ini komponen-komponen modal sosial mulai dimanfaatkan, tapi masih terkotak-kotak dan tidak berkesinambungan.
Sudah saatnya mereka yang memiliki wewenang untuk melihat masyarakatnya sebagai subject aktif dengan beragam potensinya yang bernama modal sosial.
Mohon jangan lagi tempatkan masyarakatnya sebagai objek semata, di mana hanya sebagai beban yang harus diberikan tunjangan selama pandemi. (Ang)