Menguak Lika-liku Pembajakan Hak Cipta Lagu (1): Manajer Kafe Kaget Wajib Bayar Royalti
Suasana di sebuah kafe jaringan internasional di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (17/2) sore ramai
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Saat ini terdapat sembilan LMK yang telah mendapatkan izin operasional dari Kementerian Hukum dan HAM. Sembilan LMK tersebut adalah RAI, KCI, WAMI, SELMI, PAPPRI, ARDI, Armondo, Starmusic, dan PRCI.
Belum Tuntas
Namun demikian, permasalahan terkait royalti yang diterima oleh penulis lagu tidak lantas tuntas sejak LMKN berdiri. Justru ada beberapa permasalahan baru yang timbul. Permasalahannya antara lain sistem pengumpulan royalti yang belum maksimal, data yang tidak detail, serta user lagu yang belum terbiasa oleh alur pembayaran royalti.
Wakil Sekretaris Jenderal Yayasan Karya Cipta Indonesia Lisa A Riyanto, menuturkan pihaknya tidak mendapatkan rincian data penggunaan musik yang detail setiap LMKN mencairkan royalti ke KCI. Menurut Lisa, data tersebut justru penting untuk mempermudah pendistribusian royalti kepada komposer.
• Elektabilitas Prabowo Kalahkan Menteri Lain: Ini Hasil Survei Capres 2024
"Kita berharap LMKN memilik sistem untuk mendata itu. Semua LMK mendapatkan data yang sama, dan akurat. Seharusnya LMKN memberikan alat atau sistem atau apapun yang disesuaikan dengan masing-masing user," kata putri komposer A Riyanto tersebut kepada Tribun Network saat ditemui di Kantor KCI, Jakarta, Kamis (13/2).
Lisa mengatakan, LMKN seharusnya menyediakan sistem pendataan musik karena mereka ditunjuk sebagai pihak yang berwenang untuk menarik royalti dari user. Sistem pendataan LMKN yang tidak kuat, katanya, berdampak kepada pendistribusian royalti para komposer. Menurut Lisa banyak komposer yang merasa pembagian royalti tidak adil.
"Itu yang menghambat sehingga kita pakai sampel. Misalnya, satu kategori user, karaoke, ada banyak sekali. Setiap brand bahkan punya banyak gerai di seluruh Indonesia," ujar Lisa.
Cholil Mahmud, vokalis dan gitaris band Efek Rumah Kaca, menuturkan kepada Tribun Network bagaimana sistem pengumpulan royalti oleh LMKN belum maksimal. Cholil mengatakan, data penggunaan lagunya oleh user tidak sesuai dengan data dari LMKN yang disampaikan oleh LMK. Cholil memiliki data pemakaian karya-karyanya dari platform digital. Cholil kerap mencocokkan data dari LMK dengan data yang dia peroleh.
"Kita sudah punya realtime di dashboard yang bisa kita akses. Hasilnya beda jauh. Apa yang digunakan dalam LMK itu, bagaimana cara menghitungnya, serta live performance. Kita banyak dapat dari live performance karena kita banyak naik panggung," kata Cholil kepada Tribun Network ditemui di sebuah kafe di Jakarta, Sabtu (15/2),
"Kita tidak tahu sama sekali apakah mereka pernah mengumpulkan atau tidak," sambung Cholil.

Kalah dari Malaysia
Penyerapan royalti hak cipta dalam industri musik di Indonesia masih sangat kecil. Angka serapan royalti hak cipta lagu di Indonesia masih kalah dibandingkan di Malaysia, negara tetangga.
Hal ini dikatakan oleh musikus Anang Hermansyah kepada Tribun Network saat ditemui di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (12/2) sore. Pria yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 itu menuturkan, penyerapan royalti hak cipta lagu Indonesia masih sangat kecil. Berdasarkan catatannya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) hanya menyerap royalti sebesar Rp135 miliar selama periode 2015-2017.
Menurut Anang, angka tersebut jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Malaysia. Pertimbangan Anang adalah jumlah penduduk Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Anang menuturkan penyerapan royalti lagu di Malaysia bisa mencapai Rp500 miliar dalam setahun.
Data lain yang menjadi argumen Anang adalah kontribusi ekonomi kreatif terhadap penerimaan domestik bruto (PDB). Menurut Anang, pada 2019 kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB sebesar Rp1.580 triliun. Dari 16 sektor pendapatan dari bidang musik hanya 0,36 persen dari total PDB.