Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

AHY Kunjungan Kerja di Manado

Andrei-Icad Punya 50 Ribu Suara di Manado, AHY Restui MOR-Kristo

Perebutan kursi wali kota Manado panas! PDIP kukuh menguasai ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Setelah memenangkan Pemilu April 2019.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
istimewa
Ketua DPRD Sulut Andrei Angouw dan Gubernur Olly Dondokambey. 

Pemilih dengan pola pikir apatis. Jenis pemilih ini adalah pemilih yang tidak percaya lagi dengan sistem apapun. Baginya, memilih atau tidak memilih dalam Pilkada, tidak lagi akan berpengaruh terhadap nasibnya. Ia tak percaya lagi dgn janji-janji calon yang menurutnya tidsk mungkin memenuhi janji-janji itu.

Karena ketiakpercayan itu maka ia tidak lagi mau memilih. Istilah ini sama dengan pemilih golput atau pemilih tidak bersikap. Pemilih dengan pola pikir politis. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang mendasarkan pilihannya atas kepercayaannya terhadap calon. Ia memilih karena pretasi masa lalu yang pernah dilakukan oleh calon.

Jadi, pilihannya didasarkan pada dedikasi calon yang dianggap sangat berjasa bagi banyak orang. Pilihannya jatuh kepada calon yang punya reputasi baik, moralnya bagus dan sangat dipercaya publik. Jenis pemilih seperti ini harusnya perlu dipacu, namun sayangnya populasi dari jenis pemilih di di manado sangat sedikit. Pemilih di Manado kemungkinan akan dikuasai oleh jenis pemilih pertama dan kedua.

Ini keprihatinan kita bersama sebab jika mayoritas pemilih pragmatis dan pemilih sosiologis yang dominan maka dikhawatirkan yang akan terpilih adalah pemimpin yang tidak diharapkan. Ini jadi tantangan juga bagi parpol.

Sejauh mana parpol memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi calon yang bermoral. Sifat buruk pemilih seperti menerima uang dari calon akan dapat teratasi jika calon yang berkompetisi memiliki moral yang baik.

Politik uang bisa dihilangkan, kalau semua calon itu punya moral yang baik. Uang itukan dari calon. Kebanyakan calon yang bagi-bagi uang bukan pemimpin yang bermoral.

Mereka berusaha membeli suara pemilih dan jika tepilih maka kesempatan mereka untuk memperkaya diri sendiri. Mengembalikan berkali-kli lipat dari uang yang dikeluarkan saat kampanye pemenangan. Jika semua calon hanya bermodalkan uang dalam kompetisi pilakda maka pilakda bukan lagi ajang denokrasi tetapi menjadi arena pertarungan aktor licik.

Jangan menjadikan kompetisi pilkada itu pertarungan si licik melawan si licik. Jika mencalonkan diri menjadi kepala daerah hanya bermotifkan pengabdian dan ingin berbakti pada rakyat, tentu tidak mungkin baginya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.

Namun karena telah memiliki target hanya untuk memperkaya diri ketika hendak berkuasa, maka segala cara bisa dilakukannya untuk mendapatkan kekuasaan termasuk menyuap pemilih.  (tribun/coi/fer/ryo)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved