NEWS
Polisi Amankan Lima Ambulans Berlogo Pemerintah Provinsi DKI, Berisi Batu dan Bensin
Polisi mengamankan lima mobil ambulans pada aksi kerusuhan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Ambulans berlogo Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
TRIBUNMANADO.CO.ID - Polisi mengamankan lima mobil ambulans pada aksi kerusuhan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Ambulans berlogo Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tersebut diamankan karena mengangkut batu dan bensin saat terjadi aksi kerusuhan.
Lima mobil ambulans tersebut diamankan oleh Polda Metro Jaya. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono memastikan hal itu, Kamis (26/9/2019) pagi.
Video tentang ambulas milik Pemprov DKI yang berisi batu bensin itu beredar di media sosial.
Argo menyebutkan, mobil ambulans itu diamankan pada Kamis dini hari sekitar pukul 02.14 di dekat Gardu Tol Pejompongan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
"Ya benar (ada ambulans milik Pemprov DKI)," kata Argo saat dikonfirmasi Kompas.com seperti dikutip dari artikel berjudul "5 Ambulans Pemprov DKI Ketahuan Angkut Batu dan Bensin Saat Rusuh"
Berdasarkan informasi dari akun instagram @TMCPoldaMetro, mobil ambulans tersebut diduga mengangkut batu dan bensin untuk bahan bom molotov.
Argo mengatakan, saat ini polisi telah membawa mobil ambulans itu ke Polda Metro Jaya.
"( Mobil ambulans beserta sopir) diamankan di Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan," ujar Argo. (*)
Baca: Menabrak Pejalan Kaki, Pengendara Ini Alami Luka Bibir, Lebam Mata Kanan, Lecet Tangan dan Belakang
Baca: Saat Sedang Sepi, Pria Ini Mendekap Seorang Nenek Dari Belakang, Lakukan Hal Ini, Namun Tak Berhasil
Baca: Terjadi Gempa Dengan Kekuatan Magnitudo 6.8, Hari Ini Kamis (26/09/2019), Ini Lokasi Lengkapnya
Facebook Tribun Manado :
Demo massa
Ketua Himpunan Pemerhati Hukum Siber Indonesia (HPHSI), Galang Prayogo, menilai besarnya jumlah massa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR/DPD RI tidak lepas dari peran media sosial.
Menurut dia, aksi massa yang berakhir ricuh menjadi bukti efektifnya propaganda di media sosial.
"Diawali aksi yang dilakukan mahasiswa, kemudian menjalar ke adik-adik yang belajar di STM dan SMK hanya berlandaskan solidaritas. Begitu hebatnya media sosial saat ini," kata Galang, saat dihubungi, Rabu (25/9/2019).
Dia menjelaskan, setiap warga negara mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat.
Namun, kata dia, apabila bentuk anarkisme dicontoh ini sudah berada dalam tahap mengkhawatirkan.
Baca: Cerita Pengendara dan Penumpang, Terjebak Macet Empat Jam Karena Kericuhan, Ada Yang Kelaparan
Baca: Informasi Terbaru Mengenai Gempa Bumi, Ini Lokasi dan Kekuatan Guncangan
Baca: PERINGATAN Dini BMKG Hari Kamis 26 September 2019, Waspada Hujan Petir Disertai Angin Kencang
Instagram Tribun Manado :
Dia menilai bebasnya informasi di media sosial tanpa kebijaksanaan netizen dalam mengolah informasi berpotensi menyebabkan chaos atau kerusuhan yang lebih besar.
"Hal ini, jika tidak segera diredam, akan menjadi bola api yang sulit dipadamkan," kata dia.
Untuk itu, dia menegaskan, pemerintah berkewajiban meredam arus informasi keliru yang tersebar di media sosial.
Tidak harus sampai membuat internet down, tetapi cukup aktif melakukan klarifikasi dari hal-hal yang dipersoalkan.
Dia menyarankan kepada pemerintah jangan hanya mencap sebuah konten sebagai hoaks tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Sebab, kata dia, ini yang menjadi persoalan.
"Pemerintah cenderung mengambil jalan pintas saja. Isu Rasisme, internet down. Aksi damai dengan jumlah massa luar biasa, internet dibuat lemot, cara tersebut justru membuat masyarakat yang curiga menjadi semakin menjadi-jadi," tegasnya.
Dia berharap, pemerintah dan DPR bisa aktif menyosialisasikan RKUHP dan bisa menjelaskan poin-poin yang menjadi kontroversi.
"Enggak bisa pemerintah lelah. Masyakat membutuhkan transparansi, dan itu bukan hal yang sulit dilakukan pada era teknologi saat ini," tambahnya.
Tunggu pernyataan Jokowi
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi mengatakan, meskipun situasi dan isu yang berkembang bisa ditangani oleh menteri terkait, tetapi mengenai perkembangan yang terjadi, Presiden Jokowi dinilainya harus memberikan respons langsung.
"Saya kira kalau dari kewenangan, isu, dan situasi ini bisa ditangani oleh Menko Polhukam dan Kepala KSP. Tapi, perkembangan situasi mutakhir nampaknya menuntut respons langsung Presiden," ujar Kuskridho Ambardi, yang biasa disapa Dodi, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/9/2019).
Menurut Dodi, cara berkomunikasi Presiden dengan mendelegasikan kepada para menterinya untuk berbicara ke publik tidak akan meredam situasi dan gejolak di masyarakat.
"Karena, dalam banyak protes itu merujuk pada Presiden. Sehingga, jika Presiden tidak meresponsnya secara langsung, justru akan menjauhkannya dari peluang merebut simpati," ujar Dodi.
"Apalagi jika cara berkomunikasi Menko Polkam dan Kepala KSP kurang empati," kata dia.
Dodi menilai, apa yang dilakukan Ketua DPR Bambang Soesatyo dengan menjenguk korban demontrasi lebih simpatik, terlepas dari ada intensi politik di baliknya.
Bola panas di tangan Presiden
Aksi yang dilakukan mahasiswa, pelajar, dan elemen masyarakat lainnya tak hanya mengarah kepada tuntutan Presiden untuk membatalkan UU KPK, tetapi juga menyoroti kinerja DPR.
Sementara, suara partai merespons serangkaian aksi ini juga tak banyak terdengar.
Menurut Dodi, partai memilih tak banyak berbicara karena "bola panas" saat ini ada di tangan Presiden.
Sebab, Presiden palang terakhir untuk menunda UU, atau yang berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait UU KPK.
Situasi seperti ini dinilainya lebih menguntungkan partai.
"Situasi ini lebih menguntungkan partai. Meskipun demo juga merambah ke Senayan, urutan palang pintu itu yang paling akhir tetap Presiden," ujar Dodi.
Ia mengatakan, sikap untuk memilih diam adalah sebaik-baik taktik politik bagi partai dan DPR untuk saat ini.
Terakhir, pada Senin (23/9/2019), Presiden Jokowi merespons tuntutan massa aksi dengan mengatakan tak akan mengeluarkan Perppu dan tak akan mencabut UU KPK hasil revisi yang telah disahkan DPR.
Pernyataan ini disampaikan Presiden pada Senin petang, saat aksi di beberapa daerah mulai terjadi.
Dalam perkembangannya, aksi semakin meluas dan terjadi tindak kekerasan terhadap massa aksi.
Ratusan orang mengalami luka-luka dan menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit.
Terkait perkembangan situasi ini, Menko Polhukam Wiranto meminta tidak ada lagi aksi demonstrasi terkait penolakan sejumlah rancangan undang-undang (RUU).
Menurut dia, beberapa RUU sudah dinyatakan ditunda pengesahannya oleh DPR, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan (PAS).
Oleh karena itu, ia menilai bahwa aksi demonstrasi dinilai sudah tidak lagi relevan.
"Dengan adanya penundaan itu yang didasarkan oleh kebijakan pemerintah untuk lebih mendengarkan suara rakyat maka sebenarnya demonstrasi-demonstrasi yang menjurus kepada penolakan Undang-Undang Pemasyarakatan, RKUHP, Ketenagakerjaan, itu sudah enggak relevan lagi, enggak penting lagi," kata Wiranto dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Polhukam, Selasa (24/9/2019).
Sementara itu, pada Rabu kemarin, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan, sikap Presiden Jokowi tak akan berubah. Tak akan mencabut UU KPK. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul 5 Ambulans Pemprov DKI Ketahuan Angkut Batu dan Bensin Saat Rusuh di Gedung DPR