Tajuk Tamu
Anwar Arifin AndiPate: Habibie, Pancasila, dan Kebebasan Pers
Habibie tersenyum senang, ketika hal itu saya sampaikan kepadanya dalam pertemuan santai di Ruangan Perpustakaan pribadinya.
* Reaktualisasi Pancasila
Ketika Ketua MPR Taufik Kiemas mempertemukan Presiden SBY dengan mantan presiden dalam satu forum di Jakarta, 1 Juni 2011, Habibie dan Megawati hadir.
Hal itu merupakan upaya memperkuat negara dengan melakukan revitalisasi dan aktualisasi Pancasila, agar negara memiliki ideologi yang tangguh dalam menghadapi globalisasi yang sarat ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Habibie (1998-1999) menyatakan pentingnya revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang.
Hal tersebut, menurut BJ Habibie, sangat diperlukan karena sejak 1998 Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.
Beliau berkata, “Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa.
Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti tersendat di lorong yang sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik”.
* Kebebasan Pers
Testimoni yang diberikan beberapa tokoh bahwa almarhum BJ Habibie dapat disebut tokoh kebebasan pers Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU Pers yang disahkan Ketua DPR Harmoko dan ditandatangani Presiden Habibie, 23 September 1999, tidak mewajibkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), meskipun UU Pers itu tidak berisi kata Pancasila dan tanpa frasa tanggung jawab.
UU Pers yang dipersiapkan Menteri Penerangan Letjen M Junus Yosfiah (1999) itu mencangkok Sistem Pers Libertarian (1776-1947), gagasan Thomas Jefferson di Amerika Serikat yang telah gugur di negerinya sejak tahun 1947, karena dinilai sebagai kebebasan negatif.
Dua tahun kemudian (6 Desember 2001) beberapa anggota DPR menyatakan UU Pers 1999 itu tidak berhasil menjaga pers dari kebablasannya, sehingga menimbulkan ekses negatif, termasuk terlalu berani mengkritik pemerintah dan mengumbar pornografi, sehingga perlu direvisi. Namun ide revisi itu ditolak komunitas pers.
Bahkan pada Hari Pers Sedunia 3 Mei 2002 terjadi ‘unjuk rasa’ di depan Istana Merdeka menolak revisi itu (Lesek, 2015).
Pers Indonesia telah berpindah dari istana ke pasar. Bahkan ada yang menyebut pers mengalami pepatah,