Tajuk Tamu
Kebiasaan Posting Apa Saja di Medsos, dan Hasrat Jadi Idola
Ketika mengunggah foto, video atau tulisan di media sosial, apa sebenarnya tujuan atau niat kita? Niatnya mungkin berbeda-beda.
Hasrat Jadi Idola
Oleh: MUJIBURRAHMAN
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari
TRIBUNMANADO.CO.ID - Ketika mengunggah foto, video atau tulisan di media sosial, apa sebenarnya tujuan atau niat kita? Niatnya mungkin berbeda-beda, tergantung pada apa yang diunggah.
Mungkin ingin berbagi berita, hiburan atau pikiran. Mungkin ingin berbagi bahagia atau duka. Mungkin pula ingin dipuji, disanjung dan dikagumi.
Apakah niat tersebut wajar, pantas, sehat dan baik ataukah sebaliknya?
Secara sosial dan psikologis, manusia memerlukan pengakuan dan penghormatan orang lain. Untuk diakui dan dihormati itu, dia harus dikenal terlebih dahulu.
Kini media sosial memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada tiap orang untuk mengenalkan dan menghadirkan dirinya di ruang publik yang terbuka di dunia maya. Dalam hal akses ke ruang publik ini, boleh dikata tiap orang benar-benar setara.
Dalam dunia seperti ini, kontradiksi tak dapat dihindari. Di satu sisi, setiap orang bisa menghadirkan dirinya untuk dikenal, tetapi di sisi lain, sangat sulit untuk menjadi terkenal alias paling dikenal karena terlalu banyak orang yang mengenalkan dan menghadirkan diri.
Tiap detik ada orang yang membagi sesuatu di media sosial. Jika semua orang terkenal, pada hakikatnya tidak ada lagi yang “ter” kenal.
Dalam persaingan di dunia maya itu, kedudukan seseorang di dunia nyata tentu turut memengaruhi.
Orang yang sudah dikenal luas sebagai tokoh atau idola, tentu berbeda dengan ‘pendatang baru’.
Begitu pula, tokoh yang diidolakan kalangan muda, seringkali berbeda dengan yang sudah tua. Orang yang ditokohkan dalam segmen budaya keagamaan tradisional, tentu berbeda dengan mereka yang radikal.
Terlepas dari kompleksitas hubungan sosial di dunia maya dan nyata di atas, pada umumnya tiap orang suka dipuji dan dikagumi.
Semakin banyak komentar positif dan tanda suka, semakin gembiralah hati.
Sebaliknya, semakin banyak komentar negatif, apalagi caci-maki, semakin galaulah hati. Lama-lama, media sosial menjadi masalah eksistensial, yakni masalah diri ini berarti atau tidak, to be or not to be.
Dalam terminologi kaum Sufi, suka dipuja itu disebut hubbul jâh, yang menurut al-Ghazali artinya adalah suka akan kekaguman orang lain pada kesempurnaan tertentu yang kita miliki dalam hal fisik, ilmu, sifat-sifat mulia dan lain-lain.