Siapa pun Berbakat Seperti Prada DP, Survei: 91 Persen Pria Berpikir untuk Bertindak Tak Manusiawi
Namun menurut sebagian ahli, siapa pun bisa jadi memiliki bakat untuk melakukan tindakan-tindakan mengerikan.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Prada DP tega membunuh pacarnya, Fera Oktaria, dengan sadis.
Kejadian ini menggegerkan masyarakat. Bagaimana seseorang bisa melakukan perbuatan tak manusiawi seperti itu.
Namun menurut sebagian ahli, siapa pun bisa jadi memiliki bakat untuk melakukan tindakan-tindakan mengerikan.
Dilansir dari Quartz, 4 Agustus 2018; mayoritas manusia pernah berpikir untuk membunuh orang lain.
Hal ini diungkapkan oleh David Buss, seorang profesor psikologi di University of Texas-Austin.
Baca: Rencana Mengenai Kenaikan Gaji PNS di Tahun 2020 dan Gaji 13, Ini Penjelasan Pemerintah
Baca: Presiden Joko Widodo Meminta Seluruh Warga Papua dan Papua Barat Untuk Tenang, Mari Saling Memaafkan
Instagram Tribun Manado :
Dia menyurvei 5.000 orang untuk bukunya The Murderer Next Door: Why the Mind is Designed to Kill.
Dari 5.000 partisipan, 91 persen pria dan 84 persen wanita pernah berpikir untuk membunuh seseorang.
Tidak sedikit juga yang bahkan telah melengkapi imajinasi mengerikannya dengan korban dan metode yang spesifik.
Tertulis dalam sejarah manusia
Perilaku agresif pada manusia ini juga ditemukan oleh para peneliti Spanyol yang kemudian memublikasikannya dalam jurnal Nature.
Para peneliti dari empat institusi di Spanyol menemukan bahwa manusia memang lebih cenderung membunuh sesamanya dibandingkan mamalia lain.
Mereka menemukan hal ini setelah memeriksa pohon evolusi mamalia yang terdiri dari 1.020 spesies, termasuk 600 populasi manusia sejak zaman batu.
Berdasarkan bukti-bukti sisa fosil yang ditemukan, para peneliti mencoba untuk melihat proporsi kematian akibat kekerasan antar sesama spesies.
Hasilnya, kekerasan yang mematikan lebih sering terjadi di antara primata dibandingkan mamalia lainnya, khususnya spesies-spesies yang menunjukkan perilaku sosial dan teritorial.
Di antara semua spesies nenek moyang mamalia, sekitar 1 di antara 300 kematian disebabkan oleh kekerasan antar anggota spesies yang sama.
Baca: Kucing Juga Punya Kepribadian, Peneliti Membaginya Jadi 5 Kelompok, Ada yang Neurotic juga
Baca: Mengapa Kucing Jantan Belang Tiga Sangat Sulit Ditemukan? Ini Penjelasannya!
Namun di antara kera besar, proporsi ini meningkat menjadi 1,8 persen; dan meningkat lagi menjadi dua persen di antara manusia-manusia prasejarah.
Namun, proporsi untuk manusia kerap mengalami fluktuasi. Pada zaman besi dan era pascaklasik, misalnya, proporsi kematian akibat kekerasan antar manusia turun hingga di bawah dua persen.
Melihat hal ini, penulis pertama studi dari Estación Experimental de Zonas Áridas (EEZA), José María Gómez, berkata bahwa meskipun kekerasan mematikan merupakan bagian dari sejarah evolusioner manusia, tetapi hal ini tidak tertanam dalam gen kita.
Kemampuan manusia untuk mengatur dirinya dalam kehidupan bermasyarakat bisa memengaruhi tingkat kekerasan antar manusia, ujarnya.
Refleks yang agresif
Sedikit berbeda dari Gómez; Douglas Fields, seorang pakar neurosains dan penulis buku Why We Snap, berpendapat bahwa secara biologis, kita memang cenderung bereaksi dengan kekerasan ketika dihadapkan dengan situasi tertentu.
Pasalnya, otak kita, menurut Fields, memiliki kemampuan untuk memonitor bahaya dan memunculkan agresi sebagai mekanisme perlindungan diri.
Dia mengatakan, kita semua punya kapasitas untuk kekerasan karena dalam situasi tertentu, itu memang dibutuhkan untuk keselamatan kita.
Akan tetapi, pada beberapa individu, mekanisme ini bisa jadi terlalu sensitif.
Khususnya ketika menghadapi tantangan-tantangan di masa modern yang belum pernah dialami otak manusia-manusia pendahulu, mekanisme perlindungan diri pada otak ini bisa mengalami kesalahan.
Fields berkata bahwa contoh-contohnya sering kita lihat di dunia nyata.
Misalnya, ketika seseorang tiba-tiba marah besar karena terjebak kemacetan atau melawan hinaan verbal yang tidak seberapa dengan agresi fisik yang berlebihan.
Untungnya, kita tidak sepenuhnya dikontrol oleh refleks agresif ini.
Fields berkata bahwa menyadari bagaimana otak kita bekerja bisa membantu mengontrol respons kita terhadap ancaman yang dirasakan.
Terutama bagi remaja yang korteks prefrontal atau bagian otak yang membatasi dan mengontrol mekanisme pendeteksian ancamannya belum tumbuh sempurna.
Memahami bahwa emosi yang menjadi-jadi bisa disebabkan oleh kesalahan pada otak, dapat membantu mereka mengontrolnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Menurut Sains, Kita Semua Berbakat Menjadi Prada DP
Baca: Delapan Orang Prajurit TNI Gugur Saat Diserang Kelompok Kriminal Bersenjata Papua, Sepanjang 2019
Baca: Pesta Miras dan Hirup Lem Ricuh, Tangan Pria Ini Nyaris Putus
Baca: Kisah Maru, Anjing di Rusia yang Tempuh Perjalanan 200 KM untuk Pulang ke Majikan yang Membuangnya
Baca: TERBARU Mengenai Kasus Video Vina Garut, Polisi Sudah Mendapatkan Titik Terang Mengenai Penyebar