Tajuk Tamu
Mau Tahu Tahanan Rumah yang Sebenarnya, Perhatikan Seorang Pensiunan! Benarkah?
“Ketika kita berhenti bekerja, berbagai hubungan yang selama ini kita miliki, perlahan terputus dan meninggalkan kita."
Tak Pernah Pensiun
Oleh: MUJIBURRAHMAN
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari
“Ada kabar, guru PNS baru pensiun pada usia 65 tahun,” kata isteri saya.
Sebagai seorang guru, isteri saya bimbang antara senang dan gundah. Bukankah perpanjangan masa kerja berarti juga perpanjangan penghasilan?
Tetapi, bukankah kerja menuntut daya tahan fisik dan mental yang tinggi?
Tak lama berselang, kabar itu dibantah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Guru tetap pensiun di usia 60 tahun.
Masalah pensiun rupanya selalu menarik. Saat bertemu dengan sastrawan Banua, Ibramsyah Barbary, di Fisipol Universitas Lambung Mangkurat, Kamis, 1 Agustus 2019 lalu, saya mendapat cerita lain lagi.
“Kalau Anda mau tahu tahanan rumah yang sebenarnya, maka perhatikanlah seorang pensiunan,” katanya. Saya semula tertawa mendengar pernyataan ini, namun segera diiringi perasaan kecut.
“Kenapa dianggap tahanan rumah?” tanya saya.
“Ketika kita berhenti bekerja, berbagai hubungan yang selama ini kita miliki, perlahan terputus dan meninggalkan kita. Orang-orang yang dulu menghormati kita, kini tidak lagi mendekat. Teman-teman sekantor atau mitra kerja di lembaga lain, yang dulu selalu ingin bertemu, sekarang seolah tidak melihat kita lagi. Kita jadi sepi sendirian di rumah. Jadi tahanan!”
“Saya dulu di kantor sebagai manajer, yang kerjanya perintah sana, perintah sini. Saat pensiun, perilaku saya belum berubah. Di rumah, saya masih bersikap seperti manajer, main perintah.
Akhirnya isteri saya protes. Katanya, kalau di rumah, yang manajer itu dia, bukan saya,” jelas Ibramsyah. “Berarti, jika pensiunan adalah tahanan rumah, sipirnya adalah isterinya,” timpal saya. Kami pun tertawa lepas.
Namun, sebenarnya masa pensiun itu tidak akan menjadi petaka jika orang menyikapinya dengan benar.
Masa pensiun tak lain daripada masa peralihan atau tahapan yang kita lalui dalam hidup ini.
Setiap peralihan biasanya menimbulkan gejolak. Tetapi jika kita berhasil melewatinya, kita akan menemukan sesuatu yang lebih baik. Syaratnya, kita harus siap untuk berubah dan mengubah diri. Harus move on.
Ibramsyah melakukan hal itu. Ia putar haluan, dari seorang manajer di perusahaan menjadi seorang penulis.
Suatu langkah yang tidak mudah, tetapi dengan ketekunan dan kesabaran, dia berhasil. Saya juga mengenal sejumlah pensiunan yang alih profesi dan menikmatinya. Ada yang mengelola panti asuhan. Ada yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Ada pula yang sibuk dengan kegiatan keagamaan.
Galau pensiun mungkin tidak jauh berbeda dengan resah turun jabatan. Saat menjabat, tentulah banyak orang mendekat dan mengelu-elukan. Undangan dari berbagai pihak datang bertubi-tubi. Permintaan sambutan hampir tiap hari. Para bawahan seringkali meminta arahan. Fasilitas dan layanan siap-sedia. Namun, ketika jabatan hilang, semua ikut terbang. Semua penghormatan kini tinggal kenangan.
Karena itu, dapat dipahami jika mantan pejabat mengalami sindrom. Apalagi jika saat menjabat, dia sangat angkuh dan menindas.
Pejabat seperti ini biasanya dikelilingi manusia-manusia munafik dan penjilat. Kelak setelah tidak menjabat lagi, mereka pasti akan meninggalkan dan mengabaikannya. Mereka akan berpaling kepada pejabat baru untuk dijilat dan dipuja. Semua itu tak lebih dari sandiwara.
Sebagaimana pensiun dari pekerjaan, pensiun dari jabatan juga merupakan masa transisi yang bisa mudah, bisa pula sulit dilewati.
Orang harus sadar sejak dini bahwa jabatan itu sementara. Orang yang siap berhenti dari jabatan adalah orang yang meletakkan nilai dirinya pada dirinya sendiri, bukan pada sesuatu di luar dirinya. Jika mobil saya keren, bukan berarti saya keren. Saya adalah diri saya sendiri.
Singkat kata, hakikat hidup adalah gerak. Sindrom pascapensiun (dari pekerjaan atau jabatan) adalah gejala kematian sebelum kematian. Einstein berkata, “Hidup ini seperti mengendarai sepeda. Jika kau berhenti bergerak, kau akan terjatuh.”
Hidup tentu tidak sekadar bergerak dan bernapas. Hidup yang bernilai adalah hidup yang bermanfaat. Hidup yang bermanfaat adalah hidup yang membahagiakan. Alhasil, sebenarnya tidak ada masa pensiun dalam hidup ini. Yang ada hanyalah masa transisi.
Menurut Muhammad Iqbal, surga pun bukanlah tempat liburan abadi, karena kebahagiaan sejati terletak dalam kreativitas tanpa henti. Bahagia itu berarti dekat dengan Tuhan, dan Tuhan adalah Sang Maha Kreatif. (banjarmasin.tribunnews.com)