Tajuk Tamu Tribun Manado
Pentingnya Internalisasi Nilai Budaya dalam Pemajuan Kebudayaan
Kota Tomohon dipercaya menyelenggarakan event Nasional Indonesiana bertajuk "Pesta Kolintang Indonesiana 2019" pada Oktober 2019.
Oleh:
Ambrosius Loho M.Fil
Pegiat Filsafat
RUANG bagi pengembangan kebudayaan diyakini sangatlah luas.
Maka dengan itu, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi semua unsur (pemerintah dan masyarakat) untuk terus memberi ruang dalam bentuk perhatian yang seluas-luasnya bagi kebudayaan pula.
Semua stakeholder harus bersinergi teruatama dalam menyusun strategi pengembangan kebudayaan.
Sebagaimana kita ketahui, selain dapat dimengerti sebagai keseluruhan cara hidup suatu rakyat dan warisan sosial yang diperoleh seorang individu dari kelompoknya (Sastrapratedja 2013: 259), kebudayaaan juga pada prinsipnya adalah dimensi esensial manusia, sehingga hal pengembangan kebudayaan harus berkesinambungan dengan manusia itu sendiri.
Artinya bahwa dalam kebudayaan, interaksi dan potensi-potensi manusia bisa mengemuka dan selanjutnya bisa terukur dari terlibatnya manusia dalam kebudayaan, terutama melalui pelestarian dan pengembangan dalam sebuah ekosistem.
Pendek kata, di dalam kebudayaan, manusia menciptakan “lingkungan hidup” yang lebih baik, dan lewat kebudayaan pula-lah manusia mengatur dan menguasai alam.
Tujuan pokok kebudayaan tidak lain adalah menjadi tempat nyaman bagi berkembangnya manusia sebagai manusia dengan akal dan kebebasannya (Bdk. Sutrisno, Filsafat Kebudayaan).
Baca: Dialog Kebudayaan Kota Tomohon, Wali Kota Eman: Terima Kasih Para Tokoh Budaya
Baca: Mari Kenal Sejarah Watu Pinawetengan, Ritual Dan Budayanya Masih Dipertahankan
Pengembangan kebudayaan di Kota Tomohon misalnya, tidak tanpa kaitan dengan apa yang sudah diuraikan di atas.
Pada tahun 2018, Kota Tomohon 'diganjar’ Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan, sebagai kota yang memberi perhatian dan sangat ‘concerned’ pada kebudayaan.
Ganjaran itu terbukti dengan dipercayakannya Kota Tomohon untuk menyelenggarakan event Nasional Indonesiana bertajuk "Pesta Kolintang Indonesiana 2019" yang akan diselenggarakan pada Oktober 2019 nanti.
Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, secara de facto sudah mulai terlihat dengan upaya yang berkesinambungan dalam penyelenggaraan event berskala lokal (Kota Tomohon) seperti: Festival Maengket dan Kolintang dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, kemudian dengan konsep yang sama, juga dilaksanakan dalam rangka mengisi Perayaan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus setiap tahunnya. Bahkan saat ini, pun Kota Tomohon juga telah bersiap-siap menyelenggarakan Tomohon International Flower Festival (TIFF), di mana side event adalah lomba seni budaya entah musik maupun tarian.
Melampaui itu, penulis yang dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan kelompok diskusi, entah berlatar belakang seni, budaya maupun juga akademisi, selalu mengajak untuk bertolak dari pemikiran bahwa segala sesuatu yang dibuat harus punya fondasi yang kuat.
Demikian halnya tentang pengembangan itu harus pula terarah dan tepat sasaran, sehingga ketika dievaluasi, kita bisa melihat sisi mana yang masih kurang menonjol untuk kemudian diperbaiki, dan sisi mana yang sudah menonjol untuk kemudian dipertahankan secara berkelanjutan.
Jika kita ‘mengutak atik’ Undang-Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kita akan dibuat terperangah dengan realitas bahwa ternyata di Indonesia kebudayaan tidak hanya banyak, bahkan masuk kategori kaya, dan lagi menurut pendapat orang luar negeri, Indonesia sebagai negara adidaya dalam hal kebudayaan.
Baca: Musikus Sulut Dukung Pinkan Indonesia Bawa Kolintang ke Unesco
Baca: Fakultas Hukum Unsrat Ikut Bertanding di Lomba Kolintang Piala Presiden
Kendati demikian, apa yang paling mungkin untuk kita lakukan?
Jika berangkat dari UU Republik Indonesia No 5 Tahun 2017, secara khusus Pasal 32 tentang pemanfaatan, dikatakan bahwa pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan (harus) dilakukan untuk: Pertama membangun karakter bangsa, kedua, meningkatkan ketahanan budaya, ketiga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (keempat, meningkatkan peran aktif dan pengaruh Indonesia dalam hubungan Internasional).
Cara tersebut dipertegas dalam Pasal 33 yang mengatakan bahwa semua hal dalam Pasal 32 dilakukan melalui: Pertama, internalisasi nilai budaya, kedua inovasi, ketiga peningkatan adaptasi menghadapi perubahan, keempat komunikasi lintas budaya dan kelima kolaborasi antarbudaya.
Dengan uraian itu, bagaimana praktik kita sekarang? Apakah kegiatan seperti di Kota Tomohon sudah memenuhi katakanlah kriteria yang dimaksud dalam Pasal 32 dan 33 ini?
Pembelajaran apa yang bisa kita peroleh dari pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan ini?
Penulis meyakini bahwa kegiatan sekelas festival, lomba dan atau kompetisi, hanyalah bagian kecil dari sebuah pekerjaan besar tentang pemanfaatan objek pemajuan sebuah kebudayaan.
Mengapa demikian? Karena justru jika hal itu hanya dilakukan secara rutin tanpa penanganan yang serius, pasti tidak akan berfaedah.
BERITA POPULER:
Baca: Raut Wajah Anies Baswedan Berubah Saat Nama Ahok Disebut, Bantah Menghindar Malah Kirim Pesan ke BTP
Baca: VIRAL Sedih Lihat Suami Terlantar & Kelelahan, Istri Pertama Carikan Istri Kedua untuk Suaminya
Baca: TNI Serang Markas KKB Papua, Kocar-Kacir 3 Pasukan jadi Korban, Egianus Kagoya Cs Bakal Balas Dendam
Yang paling perlu dan penting adalah bahwa pemajuan kebudayaan harus melampaui sebatas penyelenggaraan saja, karena fakta yang tidak bisa kita mungkiri bahwa ada saja event yang dilakukan hanya berorientasi pada ‘penghabisan anggaran’, tanpa bisa dipertanggungjawabkan bagaiamana kesinambungan ekosistem seni budaya di suatu daerah.
Maka yang paling mungkin adalah setiap event harus dibekali dengan tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan secara jelas dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Pasal 33, bahwa internalisasi nilai budaya, haruslah satu paket dengan festival atau lomba.
Dengan penginternalisasian nilai budaya, kita mencoba membuka cakrawala berpikir semua orang tentang pentingnya nilai-nilai lokal dalam sebuah seni seperti: Kolintang, Maengket dan bidang-bidang seni yang lain.
Di sisi lain, pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan harus pula direncanakan secara matang, dilaksanakan secara terbuka, dan dipertanggungjawabkan secara bertanggungjawab pula.
Ini menjadi penting karena keterbukaan informasi dan segala hal tentang pelaksanaan sebuah event, menjadi kunci atau bukti pemajuan kebudayaan yang sebenarnya.
Maka dengan langkah itu, segala kerja budaya akan bisa terukur di kemudian hari.
Akhirnya, kita harus memahami bahwa pengembangan kebudayaan, harus dilihat sebagai event yang memantik motivasi untuk terus menempatkan kebudayaan (dengan sekian banyak bidangnya) pada posisi yang ‘numero uno’ (nomor satu).
Diyakini bahwa kebudayaan akan kita sadari, bukan hanya sesuatu yang tidak berfaedah, melainkan justru menjadi ‘motor’ (penggerak) kehidupan manusia.
Kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup, karena kebudayaan adalah esensial. Salam budaya! (*)
Baca: Jam Tangan Pintar untuk Anak Ini Dilarang Sekolah Dipakai Murid Jadi Viral di Media Sosial
Baca: Olly Usulkan Manado Fiesta Susul Jejak Festival Bunaken, Festival Selat Lembeh dan TIFF
Baca: Legenda Perempuan Cantik, Konon Obat Awet Mudanya Tanaman yang Tumbuh di Gunung Tangkuban Perahu