Wisata Minahasa
Mari Kenal Sejarah Watu Pinawetengan, Ritual Dan Budayanya Masih Dipertahankan
Terdapat sebuah batu besar dan ditempat inilah berkumpul para pemimpin sub etnis Tou Malesung berikrar.
Penulis: Andreas Ruauw | Editor: Fransiska_Noel
Laporan Wartawan Tribun Manado, Andreas Ruauw
TRIBUNMANADO.CO.ID, TONDANO - Kabupaten Minahasa merupakan salah satu bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Utara, dimana sebelum dinamakan Minahasa, wilayah ini dikenal dengan nama tanah Malesung.
Malesung pemukimannya terpencar-pencar dan hidup berkelompok sehingga satu sama lain tidak bisa berkomunikasi terlebih tidak ada saling bantu membantu dalam hidup kebersamaan, hal ini sering terjadi dikala para penduduk ini mempertahankan wilayahnya dari serangan/pengacau yang datang seringkali gagal.

Demikian halnya pada saat mereka mengolah pertanian atau lebih sering pada saat berburu selalu terjadi pertentangan karena ada penduduk yang telah memasuki wilayah lain sehingga masing-masing saling mempertahankan wilayahnya.
Menyadari akan hal ini sering terjadi permasalahan maka oleh leluhur atau para tonaas tanah malesung mencari suatu tempat untuk diadakan pertemuan para pemimpin suku guna mencari solusi mengatasi masalah yang terjadi di tanah Malesung.

Setelah mereka mencari tempat maka didapatlah suatu tempat yang terletak disebuah bukit yang bernama bukit Tonderukan, yang berdasarkan ceritera rakyat disebut Watu Rerumeran ne Empung.
Batu-batu tempat para leluhur berunding yang mana disitu terdapat sebuah batu besar dan ditempat inilah berkumpul para pemimpin sub etnis Tou Malesung berikrar untuk menjadi sastu yakni menjadi satu Tou Minahasa sebuah kata yang berarti Mina berarti (menjadi) sedangkan Esa berarti (satu) dalam perkembangannya sehingga tercetuslah menjadi Minahasa.

Menurut penjaga Watu Pinawetengan bernama Ari Ratumbanua, kisah terbentuknya Minahasa berasal sejak 1000 tahun sebelum masehi.
Sekitar 1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao.
Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.
Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu.
Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa.
Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding.