Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Minta MK Sahkan Presiden Terpilih Jokowi: Ini Dalil KPU yang Sulit Dibantah Kubu Prabowo

Adu argumentasi terjadi pada sidang gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Selasa

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Tribunnews/JEPRIMA
Ruang sidang Mahkamah Konstitusi 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA – Adu argumentasi terjadi pada sidang gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Selasa (18/6/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno membuktikan tuduhan mengenai 17,5 juta daftar pemilih tetap (DPT) siluman.

"Pada dasarnya barang siapa mendalilkan harus membuktikan," ujar komisioner KPU Hasyim Asy'ari di gedung MK. Menurut dia, dalam dokumen perbaikan yang disampaikan, KPU sudah menjelaskan dengan data bahwa DPT itu memang benar terdaftar. "Ketika KPU mengatakan tidak benar itu 17,5 juta bukan siluman, memang pemilih benaran," kata Hasyim.

Pada 12 Juni lalu KPU telah mengirimkan dokumen jawaban dan alat bukti terhadap permohonan gugatan PHPU oleh pasangan calon nomor urut 02. Dokumen jawaban dan alat bukti itu dikirimkan ke MK di dalam 272 kontainer plastik.

Baca: Taufik Tumbelaka: Pilkada Manado Pertarungan Keras, Berpeluang Politik Harmoni


KPU akan menyampaikan dokumen jawaban terhadap permohonan PHPU Pilpres 2019 ke MK dengan disertai dokumen alat bukti. "Masing-masing 34 KPU provinsi akan menyerahkan 8 kontainer," kata komisioner KPU Hasyim Asy'ari saat itu.

KPU sebagai pihak termohon telah menyampaikan jawaban atas permohonan sengketa hasil Pilpres 2019. Melalui kuasa hukumnya, Ali Nurdin, KPU meminta Majelis Hakim MK menolak permohonan Tim Hukum Prabowo-Sandi. "Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ali dalam sidang di Gedung MK, Selasa (18/6/2019).

Kemudian, Ali juga meminta Hakim MK menyatakan benar keputusan KPU RI nomor 987/PL.1.8.Kpt/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilu 2019, tertanggal 21 Mei 2019.

"Menetapkan perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang benar sebagai berikut: 1. Jokowi-Ma'ruf Amin: 85.607.362 suara, 2. Prabowo Subianto-Sandiaga Uno: 68.650.239, total suara sah 154.257.601," katanya. "Atau apabila MK berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya," imbuh Ali.

KPU sebagai pihak termohon atas gugatan sengketa PHPU menanggapi dalil kubu Prabowo-Sandi atas tuduhan adanya kecurangan secara sistematis, terstruktur, dan masif (TSM).

KPU, diwakili Ali sebagai kuasa hukum mengatakan bukti-bukti yang diajukan Prabowo-Sandi ke MK tidak memenuhi syarat administrasi. Salah satu bukti yang disinggung adalah link berita yang dianggap kubu Prabowo-Sandi dalam sengketa ini disebut pemohon, terdapat indikasi kecurangan.

Baca: 5 Bulan Pertama 2019, Honda DAW Jual 11.246 Unit di Sulut, Matik Paling Dominan

Merujuk Pasal 36 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4 Tahun 2018 tentang tata beracara dalam PHPU Pilpres, alat bukti baik berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, Ali menegaskan link berita daring yang dijadikan bukti dalam sengketa ini tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

"Print out berita online bukanlah dokumen resmi yang dapat menjadi rujukan dalam pembuktian suatu perkara," ujar Ali saat membacakan jawaban pihak termohon di MK, Selasa (18/6/2019).

Atas dasar hukum itu ia meminta mahkamah tidak menerima bukti link berita tersebut sebagai acuan memeriksa ada tidaknya kecurangan TSM oleh termohon.

"Alat bukti yang diajukan pemohon tidak memenuhi syarat alat bukti, yakni hanya print out berita online. Bukti link pemohon bukan alat bukti berupa surat atau tulisan," ujar Ali.

Ketua tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto menilai pihak KPU gagal menyampaikan argumen yang bisa menjawab permohonan pihaknya selaku pemohon. Jawaban atas permohonan itu dibacakan oleh kuasa hukum KPU dalam sidang sengketa hasil pemilihan presiden 2019 di gedung MK hari ini.

"Pihak termohon menurut kami gagal membangun narasi yang bisa menjawab permohonan-permohonan yang diajukan," kata Bambang di gedung MK.

Bambang menyebut ada tiga poin kegagalan KPU. Pertama, kata dia, KPU menyatakan menolak perbaikan permohonan yang dilakukan pihaknya tetapi menjawab sejumlah poin yang disampaikan dalam perbaikan itu. Kedua, Bambang menilai KPU melakukan kesalahan fundamental lantaran menyebut calon wakil presiden 01 Ma'ruf Amin bukan pejabat Badan Usaha Milik Negara.

Bambang berkukuh Ma'ruf Amin adalah pejabat perusahaan pelat merah dan anak perusahaan BUMN adalah BUMN. Dia menyebut sejumlah rujukan, di antaranya Putusan MK Nomor 21 Tahun 2017, Putusan MK Nomor 48 Tahun 2013, Peraturan Menteri BUMN Nomor 3 Tahun 2013, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Antikorupsi.

"Termohon juga telah melakukan kegagalan yang sangat fundamental. Cawapres 01 dikatakan bukan menjadi pejabat dan anak cabang perusahaannya bukan BUMN hanya merujuk pada aturan BUMN saja," kata mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini.

Baca: Pemerintah Kabupaten, TNI, Polri hingga Masyarakat Bahu Membahu Angkat Eceng Gondok di Danau Tondano

Ketiga, Bambang menyoal perbedaan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dia mengklaim, saat penetapan rekapitulasi perhitungan suara hasil pilpres 2019 pada 21 Mei lalu, jumlah TPS sebanyak 812.708. Kata dia, jumlah TPS di Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) KPU adalah 813.336.

Bambang lagi-lagi menyebut KPU melakukan kegagalan fundamental dalam menjawab permohonan. Dia juga berujar sidang MK sekaligus menjadi forum meyakinkan publik, selain hakim MK. "Saya khawatir dia gagal untuk meyakinkan hakim-hakim di MK. Selamat datang kegagalan termohon satu," kata Bambang. 

Ketua Tim Hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra menghadiri sidang perdana sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019). Sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau Sengketa Pilpres mengagendakan pemeriksaan pendahuluan kelengkapan dan kejelasan pemohon dari tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN). Tribunnews/Jeprima
Ketua Tim Hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra menghadiri sidang perdana sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019). Sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau Sengketa Pilpres mengagendakan pemeriksaan pendahuluan kelengkapan dan kejelasan pemohon dari tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN). Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)

Tim 01 Bantah Polri-BIN Tak Netral

TIM kuasa hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin menyebut tudingan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga ihwal ketidaknetralan Polri dan Badan Intelijen Negara tidaklah berdasar. Bantahan ini disampaikan dalam sidang sengketa hasil pemilihan presiden 2019 di MK, kemarin.

Tim Jokowi menyebut pihak Prabowo selaku pemohon tidak menguraikan secara jelas dan spesifik kejadian pelanggaran seperti apa yang dilakukan aparat kepolisian dan intelijen, di mana terjadinya, kapan waktunya, bagaimana kejadiannya, siapa pelakunya, bagaimana akibat dan hubungannya terhadap perolehan suara pasangan calon.

"Dalil pemohon mengenai ketidaknetralan aparat bersifat asumtif dan tendensius karena didasarkan pada dugaan-dugaan yang keliru dan tidak berdasar," kata kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf, I Wayan Sudirta saat membacakan keterangan.

Sebelumnya dalam sidang tanggal 14 Juni lalu, tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga menuding bahwa aparat kepolisian dan intelijen tak netral di pilpres 2019. Mereka menyebut ketidaknetralan aparat sebagai salah satu dalil bahwa telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.

Sudirta menyinggung telegram Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada 18 Maret 2019 yang menginstruksikan agar anggota Polri menjaga netralitasnya di Pemilu 2019. Tim hukum Jokowi juga menyampaikan bantahan ihwal pengakuan eks Kepala Kepolisian Pasirwangi Garut Jawa Barat, Sulman Aziz yang menyebut ada instruksi atasan agar polisi melakukan pemetaan dukungan di pilpres.

Menurut tim hukum pasangan 01 ini, pengakuan itu telah dicabut sendiri oleh Sulman Aziz. Selain itu, perolehan suara pilpres 2019 Prabowo-Sandiaga juga unggul di Kabupaten Garut. Suara Prabowo-Sandiaga 72,16 persen, Jokowi-Ma'ruf 27,84 persen.

"Dengan demikian patutlah dalil pemohon ini untuk dikesampingkan dan dinyatakan tidak beralasan secara hukum," kata Sudirta.

Sebelumnya tim kuasa hukum Prabowo juga menyinggung indikasi ketidaknetralan aparat Polri karena adanya akun instagram @AlumniShambar sebagai akun induk pendengung atau buzzer anggota Polri di setiap Kepolisian Resor. Informasi ini disebarkaan oleh akun pseudonim @Opposite6890 yang menurut pihak Jokowi tidak jelas.

"Dalil pemohon didasarkan pada sumber akun sosial media yang pseudonim yang tidak jelas siapa penangggungjawabnya dan terlebih lagi konten yang selalu disebarkan kebanyakan konten yang bersifat hoaks," ucap Sudirta.

Adapun ihwal dugaan ketidaknetralan intelijen, tim Prabowo sebelumnya mengutip pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Juni 2018. Mereka menyebut konteks ucapan SBY saat itu ialah pemilihan kepala daerah 2018, bukan pilpres 2019. 

KH Maruf Amin Calon Wakil Presiden 2019-2024
KH Maruf Amin Calon Wakil Presiden 2019-2024 (Tribun Wow - Tribunnews.com)

3 Argumen soal Posisi Ma'ruf

Tim kuasa hukum pasangan calon Jokowi-Ma'ruf Amin menjawab dalil kuasa hukum Prabowo-Sandiaga soal posisi Ma'ruf di dua anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara. Ada tiga poin penjelasan yang disampaikan untuk menjawab tudingan pelanggaran terhadap persyaratan pencalonan ini.

Pertama, tim Jokowi berpendapat KPU telah melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administratif bakal pasangan calon. Seluruh proses verifikasi juga diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu. Jika ada pelanggaran terkait syarat pencalonan ini, maka seharusnya ada pelaporan ke Bawaslu.

Pengadu juga dapat membawa permasalahan ini ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara jika tak puas dengan putusan Bawaslu. "Dengan demikian, penyelesaian masalah terhadap persyaratan calon ini, bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya," kata kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf Luhut MP Pangaribuan saat sidang di gedung MK, Jakarta, Selasa kemarin.

Tim Prabowo sebelumnya mempersoalkan status Ma'ruf Amin sebagai Dewan Pengawas Syariah di Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Mereka menilai Ma'ruf melanggar aturan yang menyebut pejabat dan karyawan BUMN harus mengundurkan diri jika mencalonkan diri sebagai cawapres.

Luhut mengatakan sampai saat ini tak pernah ada pengaduan keberatan ataupun aduan dari kubu Prabowo maupun masyarakat ke Bawaslu. Dia pun menegaskan, MK tak memiliki kompetensi absolut untuk menerima, memeriksa, dan memutus adanya pelanggaran persyaratan pendaftaran pasangan calon.

"Bahwa berdasarkan pada uraian tersebut, dalil Pemohon tidak berdasar secara hukum dan karenanya patut untuk dikesampingkan," kata dia.
Kedua, tim kuasa hukum Jokowi berpandangan bahwa BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri bukan BUMN. Mereka merujuk pada pengertian BUMN di Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menyebut adanya penyertaan keuangan negara. Sedangkan saham kedua perusahaan itu bukan berasal dari negara. Saham mayoritas BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebesar 99,94 persen, sedangkan saham Bank Syariah Mandiri milik PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar 99,99 persen.

Ketiga, tim kuasa hukum Jokowi menyebut Ma'ruf bukan karyawan dan atau pejabat BUMN. Mereka beralasan Ma'ruf Amin tak bertanggung jawab kepada Rapat Umum Pemegang Saham dua anak perusahaan pelat merah itu, melainkan kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Pengangkatan Dewan Pengawas Syariah pun setelah mendapatkan rekomendasi dari MUI.

Lebih lanjut, Luhut merujuk Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1 angka 15 huruf b. Pasal ini menyatakan DPS sebagai pihak terafiliasi yang disamakan dengan konsultan hukum, akuntan publik, atau penilai selaku pihak pemberi jasa kepada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah.

"Dengan demikian tidak ada kewajiban calon wakil presiden nomor urut 01 untuk mundur dari jabatannya sebagai Dewan Pengawas Syariah sebagai syarat mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia," kata Luhut. 

Menko Polhukam Wiranto
Menko Polhukam Wiranto (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Wiranto Penasaran Ada Massa di MK

Massa masih menggelar aksi di depan gedung Mahkamah Konstitusi di tengah persidangan gugatan hasil Pilpres 2019. Sebelumnya, capres Prabowo Subianto meminta tidak ada aksi massa di depan MK. Adanya sejumlah massa ini membuat penasaran Menko Polhukam Wiranto.

Imbauan Prabowo sebelumnya disampaikan tiga hari menjelang sidang perdana sengketa Pilpres. Prabowo menyatakan dia dan Sandiaga telah menyerahkan penyelesaian sengketa Pilpres 2019 lewat jalur yang konstitusional, yakni melalui MK. Dia mengimbau para pendukungnya agar menghindari kekerasan

Karena itu, lanjut Prabowo, dia juga meminta para pendukungnya menghormati proses persidangan di MK. Tidak perlu datang ke gedung MK dan sekitarnya.

"Saudara-saudara sekalian, kami memutuskan menyerahkan melalui jalur hukum dan jalur konstitusi. Karena itu, saya dan Saudara Sandiaga Uno memohon pendukung-pendukung kami, tidak perlu untuk berbondong-bondong hadir di lingkungan MK pada hari-hari yang mendatang," kata Prabowo dalam video yang dikirimkan tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi kepada detikcom, Selasa (11/6).

Namun pada sidang perdana, massa tetap menggelar aksi di depan MK. Terkait hal ini, cawapres Sandiaga Uno mengapresiasi jika ada pendukung yang tidak datang ke depan MK.

Massa Kawal Sidang Sengketa Pilpres 2019 Orasi di Patung Kuda, Jumat (14/6).Massa Kawal Sidang Sengketa Pilpres 2019 Orasi di Patung Kuda, Jumat (14/6). Foto: Rifkianto Nugroho

"Kita terus mengingatkan agar masyarakat khususnya pendukung untuk tetap tenang, tetap menghormati proses MK. Bisa menyimak dari rumah melalui media televisi dan medsos dan pastikan untuk kita melalui proses MK ini dengan aman, tenteram dan damai. Kami mengapresiasi pendukung yang tidak datang ke sana," ujar Sandi di Jalan Nusa Indah Raya, Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu (15/6).

Sidang sengketa Pilpres berlanjut hari ini. Massa tetap menggelar aksi. Aksi yang digelar dimaksudkan untuk mengawal proses persidangan di MK.

Wiranto mengatakan kemungkinan ada pihak lain yang menggerakkan aksi massa di depan gedung MK. Wiranto akan meminta penjelasan kepada Prabowo.

"Saya kira sesuatu yang sangat bagus dan saya juga mengharapkan pendukung beliau ya, simpatisan beliau menaati itu. Ketika sudah tidak menaati ya berarti dari pihak lain. Nanti kita tanyakan ke Pak Prabowo siapa yang bergerak itu," kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (18/6).

Wiranto menyebut, jumlah massa yang menggelar aksi hari ini tidak sebanyak saat sidang perdana yang digelar hari Jumat (14/6). Ia menambahkan, sedianya sidang tidak perlu diganggu gerakan massa.

"Aksi kalau demo tertib nggak apa-apa kan. Demo damai nggak apa-apa. Tapi anjuran Pak Prabowo jelas bahwa tidak perlu kan mendatangi Mahkamah Konstitusi dan menjaga suasana damai, aman supaya sidang berjalan dengan tertib, sidang yang sedang berlangsung nggak usah diganggu ya dengan gerakan-gerakan massa. Dan beliau juga siap untuk menghormati hasil persidangan Mahkamah Konstitusi," terang Wiranto.

Saat dimintai konfirmasi, juru debat BPN, Sodik Mudjahid, menegaskan Prabowo telah memberi imbauan kepada para pendukung untuk tidak hadir di MK. Meski demikian, dia menyebut warga juga punya hak untuk menyampaikan pendapat.

Sodik menyatakan tak ada yang salah dengan sikap Prabowo, pun begitu berlaku sama dengan masyarakat yang beraksi di MK selama sidang. Karena itu, Sodik menganggap pernyataan Wiranto yang akan bertanya ke Prabowo tidak bermutu.

"Jadi Pak Prabowo sudah benar dan juga rakyat sudah benar, tidak ada yang salah dan melanggar UU/regulasi," ucap Sodik.

"Jadi Menko Wiranto tidak usah memperpanjang masalah tadi dengan pertanyaan kenapa masih ada yang datang ke MK, lalu pertanyaan siapa yang menggerakkannya, lalu mengatakan akan tanya Prabowo dst dst. Itu tidak bermutu, bahkan kekanak-kanakan," ujar politikus Partai Gerindra ini. (Tribun/dtc/tmc/lp6/kps)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved