Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pendukung Prabowo Demo Bawaslu, Rangkuti: Dua Kubu Panik

Laporan kecurangan Pemilu 2019 oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diwarnai unjuk rasa

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Tribunnews/Fransiskus Adhiyuda
Kivlan Zen yang tampak mengenakan kemeja abu-abu dengan topi Bucket hat berwarna cream di halaman Kantor Bawaslu, Kamis (9/5/2019). 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Laporan kecurangan Pemilu 2019 oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diwarnai unjuk rasa di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Jumat (10/5) siang.

Massa menyanyikan lagu berjudul ‘2019 Ganti Presiden’. Mantan penyanyi dan aktris Neno Warisman memimpin massa menyanyikan lagu yang sempat diharamkan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera.

Mengenakan jilbab coklat dan berbaju putih, Neno naik ke mobil komando lalu menyanyikan lagu 2019 Ganti Presiden. Demonstran yang berpakaian putih kemudian kompak mengikuti nyanyian Neno Warisman.

Lagu ini dan tagar 2019 Ganti Presiden sempat diharamkan oleh pencetusnya yaitu Mardani Ali Sera. Mardani menilai hal tersebut dilakukan karena pemilihan umum telah usai dan masa kampanye telah berakhir.

Seusai menyanyikan lagu tersebut Neno Warisman menyempatkan berorasi. Neno berseru untuk tak berhenti mengawal perjuangan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. "2019 untuk Prabowo-Sandi, mari kita kawal terus," ucap Neno.

Dalam orasinya Neno meyakinkan para pengunjuk rasa aksi yang mereka lakukan di depan kantor Bawaslu adalah sebuah kemuliaan. “Ini adalah kemuliaan untuk menjunjung kebenaran,” katanya.

Demonstran membawa spanduk bertuliskan tuntutan kepada Bawaslu untuk mengusut tuntas kecurangan pada Pemilu 2019. Mereka juga meminta Bawaslu untuk melakukan pemeriksaan forensik kepada para petugas pemungutan suara yang meninggal dunia di seluruh Indonesia.

Aksi demonstrasi ini berakhir pukul 15.45 WIB. Tak lama setelah aksi ini berakhir, hadir dari mereka yang menyebut diri sebagai Aliansi Santri Bersatu di depan kantor Bawaslu. Massa ini membawa sebuah mobil komando yang bertuliskan 'Tolak People Power'. Orator menegaskan pihaknya bukan dari pihak pasangan calon 01 maupun 02.

"Kami tegaskan Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Kami bukan 01 atau 02, tapi kami 03 yaitu persatuan Indonesia," kata orator.

Aliansi Santri Bersatu menyerukan tiga tuntutan. Pertama mereka menyatakan mendukung Bawaslu dan KPU. Kedua menuntut semua pihak untuk menghormati hasil pemilu dan menerima hasilnya secara legowo. Ketiga, pemilu telah berakhir dan sekarang adalah saatnya menjalankan ibadah di bulan Ramadan.

Aksi ini juga mendapat pengawalan dari petugas kepolisian. Massa kawal BPN Prabowo-Sandiaga sempat saling dorong dengan petugas kepolisian. Massa kawal BPN memaksa untuk menemui Aliansi Santri Bersatu, namun polisi meminta mereka untuk segera membubarkan diri.

Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin menanggapi demonstrasi yang diinisiasi Kivlan Zen dan Eggi Sudjana di depan kantor Bawaslu dan KPU. TKN menghargai hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat, namun sebaiknya mereka memberikan kesempatan kepada KPU dan Bawaslu untuk menuntaskan penghitungan suara tanpa harus mendapat tekanan dari massa.

"Menurut saya Bawaslu maupun KPU tidak perlu ditekan lewat memobilisasi massa. Biarkan Bawaslu maupun KPU bekerja. Kita tunggu hasilnya," ujar juru bicara TKN Ace Hasan Syadzily kepada Tribun Network, Jumat (10/5).

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini mengingatkan bukan KPU atau pun Bawaslu yang berhak memutuskan pemilu telah berlangsung curang. "Terstruktur, sistematis dan masif, apalagi ditambah istilah brutal, itu istilah karangan mereka yang tidak bisa dibuktikan dan istilah tersebut yang punya kewenangan untuk memutuskan apakah itu TSM atau tidak, ya Mahkamah Konstitusi," tegasnya.

Ray Rangkuti - Pengamat Politik
Ray Rangkuti - Pengamat Politik (monitorday.com)

Kubu Jokowi-Prabowo Panik

Menurut pengamat politik dari Ray Rangkuti, ada anomali sikap para politikus dalam Pilpres 2019. Saat ini kubu Jokowi-Ma'ruf Amin yang dinyatakan menang versi quick count justru seolah merasa kalah dan bertingkah serba panik. Sementara yang dinyatakan kalah, yaitu Prabowo Sandiaga-Sandiaga Uno, seolah merasa menang dan juga tak kalah panik.

Dari rasa panik yang sama, akhirnya muncul saling lapor. Makin banyak yang ditersangkakan dengan pasal makar. Pasal makar diobral bukan untuk diselesaikan kasusnya, tapi cukup sebagai kerangkeng aktivitas korbannya.

Sementara yang dinyatakan kalah versi hitung cepat, merasa menang dan terus menerus menggunakan jalanan sebagai mekanisme solusi. Padahal, banyak infrastruktur demokrasi untuk menyelesaikan berbagai dugaan kecurangan atau pelanggaran dalam pemilu. Agar politik tak lagi diubah di jalanan, tapi di meja dialog dan peradilan.

Tak ada yang berusaha untuk saling menahan diri. Kubu yang dinyatakan menang bahkan membuat benteng dengan aturan dan kewenangan. Sementara yang dinyatakan kalah sibuk menyerang dengan isu curang sembari tak juga mengungkap kebenaran versi mereka dengan transparan.

Saya kira, suasana ini sebaiknya diakhiri. Harus kembali ditumbuhkan kearifan. Semua kembali ke jalan memperkuat demokrasi. Sama-sama menahan diri hingga perhitungan suara tanggal 22 Mei ditetapkan.

Bagi pihak yang merasa dicurangi, maka melangkahlah ke Bawaslu dan tempuh jalur hukum yang berlaku. Sementara yang merasa menang, seharusnya menggunakan kekuasaan untuk mengayomi, bukan untuk menakut-nakuti.

Jangan mudah mengobral pasal makar. Jauh di atas kalah menang yang diperjuangkan, tujuan kita yang utama adalah membangun keadaban bangsa ini. (Tribun Network/tpc/rin/zal/mal/)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved