Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Caleg Eks Koruptor Yakin Pemilih Tak Lari: KPU Uber 49 Caleg Mantan Koruptor

Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh Tanah Air termasuk Sulawesi Utara telah mengumumkan daftar nama

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
antara
KPU RI mengumumkan nama-nama caleg mantan napi korupsi. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh Tanah Air termasuk Sulawesi Utara telah mengumumkan daftar nama calon legislatif (caleg) mantan narapidana korupsi. Di Sulut ada empat caleg dari Partai Gerindra, Demokrat, Berkarya dan calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang masuk daftar.

Caleg DPRD Sulut dari Gerindra, Herry Kereh mengatakan, pengumuman KPU mengenai caleg mantan napi korupsi tidak mempengaruhi pencalonan dia. "Terserah KPU mau bikin apa, tak ada pengaruhnya, " katanya kepada tribunmanado.co.id melalui ponsel, Kamis (31/1/2019).

Dikatakan Herry, ia sudah melakukan sosialisasi kepada warga dan mendapat sambutan baik. Bahkan, kata Herry, banyak warga yang malah menyebutnya tidak pantas disebut koruptor. "Masyarakat juga mengikuti proses KPU sedari awal hingga paham betul hal ini," kata dia.

Herry yakin pemilihnya tak akan beralih dengan pengumuman KPU tersebut. "Saya yakin betul dengan hal itu. Prinsip saya jika Tuhan sudah berkehendak tidak ada satu pun yang dapat menghalangi," kata dia.

Caleg DPRD Kota Manado dari Demokrat, Dharmawati Dareho mengatakan, pengumuman caleg mantan napi korupsi tidak berpengaruh pada elektabilitasnya. "Tidak berpengaruh, " kata dia.

Sebut Dareho, ia punya konstituen yang betul mengenal dirinya. Ia hakul yakin mereka tak akan berpaling darinya.

"Saya kenal mereka dan mereka kenal saya. Saya dekat dengan konstituen," ujar dia.
Terkait upaya KPU itu, Dareho tak akan melakukan upaya hukum atau gugatan. "Prinsip saya, jika Tuhan sudah berkehendak, tak ada manusia yang bisa merintanginya," kata dia.

KPU RI telah merilis 9 nama calon DPD, 16 calon anggota DPRD provinsi dan 24 calon anggota DPRD kabupaten/kota. Total ada 49 caleg dan calon DPD.

KPU Sulut ikut merespon dengan menyebar konten pengumuman caleg dan calon DPD eks koruptor di media sosial. Konten pengumuman itu dalam bentuk digital dengan format PDF.
Dari 49 nama yang diumumkan, ternyata ada empat caleg dan calon DPD di Sulut.

Darmawati Dareho dan Herry Kereh.
Darmawati Dareho dan Herry Kereh. (TRIBUN MANADO/ARTHUR ROMPIS)

Mulai dari Herry Kereh. Herry merupakan mantan anggota DPRD Sulut periode 2004-2009. Ketika itu ia di Partai Golkar. Mantan Dirut PDAM Manado ini kemudian terseret kasus dugaan korupsi terkait gaji PNS.

Ia saat menjabat sebagai Anggota DPRD Sulut masih juga menerima gaji sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi. Herry membantah kasusnya merupakan korupsi. Ia sering menyebutnya korupsi gaji sendiri dan cenderung sifatnya kepentingan politik. Jumlah gaji yang diterima pun sudah dikembalikan, tapi tak menutup pengusutan kasus.

Mieke Nangka, Calon Anggota DPRD Sulut dari Partai Berkarya. Ia maju dari Dapil II Minahasa Utara-Bitung.
Mieke terlibat kasus korupsi Manado Beach Hotel (MBH) gate ketika menjabat sebagai Anggota DPRD Sulut periode 1999-2004.

MBH gate terkait bagi-bagi duit penjualan MBH. Kasus ini menyeret sejumlah anggota DPRD bahkan pejabat Provinsi Sulut.

Dharmawati Dareho, Caleg Demokrat. Ia maju di DPRD Kota Manado. Dharmawari terlibat kasus suap anggota DPR RI ketika bekerja di Kementerian Perhubungan.

Kemudian Syahrial Damapolii, Calon DPD RI Dapil Sulut. Pria asal Bolmong ini pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Sulut periode 2004-2009. Mantan politisi Partai Golkar ini terseret kasus korupsi MBH gate.
Syahrial mengatakan, pengumuman KPU ini tak sesuai aturan.

Ketua Ketua KPU Sulut, Ardiles Mewoh dan Komisioner Meidy Tinangon membagikan konten tersebut. Sesuai informasi tertera, pengumuman itu sesuai ketentuan Pasal 182 dan Pasal 240 UU Nomor 7 Tahun 2017 mensyaratkan caleg dengan status mantan terpidana untuk mengumumkan statusnya secara terbuka kepada publik.

Pada konten pertama ini dirinci partai dam caleg eks koruptor yang diusung, kemudian perincian jumlah caleg per dapil. Konten kedua, terkait peta penyebaran nama eks caleg dan calon DPD per dapil. Khusus caleg lengkap dengan partainya.

Kemudian konten ketiga jumlah prrincian nama caleg eks koruptor per partai pengusung. Di urutan pertama Partai Golkar mengusung 8 caleg eks koruptor, disusul Gerindra 6 caleg, Hanura 5 caleg, Berkarya, PAN dan Demokrat masing-masing 4 caleg.

PDIP, Partai Garuda, Perindo, PKPI, PKS dan PBB masing-masing 1 caleg. Tinangon mengungkapkan, KPU Sulut hanya meneruskan pengumuman KPU RI.

Syahrial Damapolii
Syahrial Damapolii (TRIBUNMANADO/RYO NOOR)

Syahrial Merasa Terzalimi

KPU RI mengumumkan para caleg termasuk calon senator berstatus mantan napi korupsi atau eks koruptor ke publik.

Syahrial Damapolii ketika diwawancarai tribunmanado.co.id, Kamis (31/1/2019), protes dengan langkah KPU RI tersebut. "Saya merasa dizalimi," kata dia.

KPU seperti tak puas dengan rentetan kebijakan tak sesuai aturan. Tak belajar dari pengalaman bagaimana Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi membatalkan semua putusan soal eks napi korupsi ini. "Jelas saya merasa dirugikan, nanti kita akan lihat langkah apa yang akan kita ambil," kata dia

Kata dia, langkah KPU itu merugikannya karena mengganggu saat ia tengah fokus pada kampanye pileg 2019 ini.
Ia kembali menegaskan, KPU jangan seenaknya mengambil keputusan tanpa dasar aturan. "Apa dasar aturannya, KPU itu bukan pembuat aturan," ujar dia.

Ferry Liando Pengamat Politik Sulut
Ferry Liando Pengamat Politik Sulut (Tribunmanado)

Politik Uang Lebih Parah

Ferry Liando, Pengamat Politik dari Unsrat, mengatakan, masalah caleg eks koruptor tidak ada apa-apanya di banding caleg money politics (politik uang).

Caleg mantan napi korupsi, artinya eks koruptor yang sudah dihukum tapi caleg money politics adalah koruptor sebenarnya.

Lebih adil lagi jika penyelenggara pemilu menemukan caleg koruptor sebenarnya dan umumkan ke publik. Tetap saya apresiasi atas pengumuman caleg eks koruptor ini.

Masalah caleg bukan hanya dihiasi oleh mantan napi, tapi banyak juga caleg yang berpotensi hanya menggunakan uang untuk menyogok pemilih.

Ini perlu menjadi perhatian terutama Bawaslu untuk membuktikan itu, lalu diumumkan. Akar korupsi satu di antaranya politik uang, dan ini sepertinya masih akan mendominasi akal busuk para politisi mendapatkan kedudukan.

Sebagian ada yang menerapkan prinsip perjudian. Membuang uang sebagai modal awal untuk keuntungan yang lebih besar.

Politik uang menjadi kekuatan utama mendapatkan suara oleh sebagian celeg karena motivasi yang keliru menjadi anggota DPRD.

Ada motif karena ingin mendapatkan status sosial agar dihormati banyak orang. Ada yang bermotif mendapatkan pengaruh atau kekuasan agar dipermudah mendapatkan fasilitas pemerintah seperti izin usaha.

Kemudahan pelayanan publik atau kemudahan lainnya yang melekat karena posisi strategis yang dimiliki. Namun ada juga uang bermotif hukum ekonomi. Memasang sejumlah uang dan kalau menang dan terpilih maka uang yang dikeluarkan itu dapat kembali dengan berlipat ganda.

Tunjangan DPRD sangat menjanjikan. Itulah yang kemudian kedudukan ini banyak diincar orang meski dilakukan dengan berbagai cara termasuk cara-cara licik menyogok pemilih.

Sebagian besar sepetinya akan melakukan cara ini meski dengan modus berbeda-beda. Ada yang membentuk sistem seperti multi level marketing. Strukturnya dari kelompok kecil, menengah hingga kelompok besar.
Lima mencari 10, 10 mencari 20 dan 20 mencari 40 dan seterusnya. Ada yang membagikan sebelum pencoblosan dan ada pasca pencoblosan.

Jika ada relawan yang mampu mencapai terget yang disepakati, maka relawan itu akan mendapat upah dari calon. Masyarakat juga seakan tanpa dosa menerima sogokan dari calon karena masyarakat kurang diberikan pemahaman tentang efek buruk yang ditimbulkan ketika menerima sogokan dari calon.

Amat jarang suara-suara kenabian dari tokoh-tokoh agama yang memberitakan kabar lewat khotbah di tempat ibadah tentang upah dosa jika menerima uang haram.

Parpol juga sangat alpa mencegah permainan politik uang, karena parpol juga memiliki kepentingan jika caleg-caleg yang dicalonkan meraih suara sebanyak-banyaknya.

Saya menghargai sebagian caleg yang masih mempertahankan harga diri dengan tidak menyogok masyarakat. Calon-calon yang tidak menyogok itu kebanyakan karena memiliki reputasi, dedikasi dan nama baik di masyarakat.

Caleg yang bermain uang kebanyakan karena reputasi yang minim karena belum memiliki pretasi masa lalu.
Karena kesadaran dari masing-masing caleg yang minim pretasi itulah maka cara gampang yang dilakukan adalah menyogok pemilih.

Bawaslu harus tegas dengan modus praktik yang seperti ini. Anggaran pemilu Rp 24 triliun hanya akan menjadi sia-sia jika yang terpilih adalah caleg yang bermodal sogok menyogok pemilih.
Perlu sanksi jika unsur-unsur terpenuhi. UU Pemilu secara tegas menyatakan bahwa objek pelaku bukan hanya calon, tetapi relawan calon dan penerima sogokan dijerat pasal pidana.

Menurut UU nomor 7 tahun 2017 pasal 515 mengatur politik uang yang dapat kena sanksi adalah pemberi uang, bunyinya setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta. (ryo/art)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved