Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu

Berhukum Secara Wajar dan Patut

Tulisan ini bukan sebuah analisis politik terkait motif, skenario, tujuan, keuntungan politis dan lain sebagainya.

Penulis: | Editor: Alexander Pattyranie
ISTIMEWA
Maximus Watung 

Inilah yuridis normatif yang menjadi pokok dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.  

Penemuan hukum (rechtsviding) atau interessenjurisprudenz adalah suatu aliran yang muncul sebagai jalan tengah dari pertentangan antara aliran legisme atau legalisme yang memandang hukum terdapat dalam undang-undang, yang berarti hukum identik dengan undang-undang, di luar undang-undang tidak ada hukum, sementara itu aliran freie rechtsbewegung atau ajaran hukum bebas (free law theory) menekankan kebebasan hakim dalam mengadili suatu perkara untuk melakukan menurut undang-undang atau tidak.

Sebab hakim bukan la bouche qui pronounce les parales de la loi  (hanyalah corong undang-undang) melainkan bekerja untuk melakukan penciptaan/pembentukan hukum (rechtsschepping, law making).

Aliran rechtsviding berpandangan bahwa hakim terikat pada undang-undang tetapi tidak seketat aliran legisme, hakim bebas tetapi tidak sebebas pada aliran freie rechtsbewegung. Menurut aliran ini dalam melaksanakan tugasnya hakim mempunyai apa yang disebut sebagai “kebebasan yang terikat” (gebonded-vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (vrije-gebondenheid).

Oleh karena itu, hakim mempunyai tugas melakukan penemuan hukum dengan jalan menselaraskan undang-undang dengan tuntutan zaman, terlebih harapan akan rasa keadilan.   

Interpretasi atau penafsiran secara teoritis, menurut Lilik Mulyadi dibatasi kaidah-kaidah tertentu yang terdiri dari 9 (sembilan) metode.  Kesembilan metode tersebut meliputi :

1) gramatikal

2) historis

3) sistematika

4) teleologis/sosiologis

5) autentik

6) komparatif

7) antisipatif atau futuristik

8) restriktif

9) ekstensif

Apabila interpretasi atau penafsiran dipandang sebagai kegiatan berpikir yang bebas maka kegiatan berpikir itu sesungguhnya “bebas yang terikat” oleh hukum yang ditentukan dalam kesembilan metode tersebut di atas.

Oleh karena itu, interpretasi atau penafsiran tidak boleh dilakukan secara serampangan apalagi digunakan secara akrobatik, “diputar-putar” lalu “dilipat-lipat”, “dibolak-balik” agar dapat dijadikan alat merasionalisasi suatu tindakan politis sebagai upaya merebut atau mempertahankan kekuasaan (politik).

Terlebih hendak memberi kesan seolah-olah taat dan menjunjung tinggi hukum tapi sebenarnya sedang membuat-buat alasan, berkelit dan tanpa disadari telah merobek-robek sumber dimensi etis, moralitas dan budi pekerti luhur dari dasar normatif hukum Indonesia, yakni Pancasila.

Sungguh sangat memprihatinkan.

Bertolak dari sumber legitimasi kekuasaan negara modern yang berasal dari adanya perjanjian antara warga negara dengan pemimpin yang dipilih melalui proses demokrasi --substansial bukan prosedural-- dalam suatu proses pemilihan umum yang didasari hubungan kepercayaan (vertrouwens-relatie) antara pemilih dengan yang dipilih, maka dalam konteks negara hukum Indonesia tidaklah berlebihan bila dikatakan pelaksanaan pemerintahan dan cara berhukum seharusnya dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai philosofische grondslag, Pancasila dengan penuh itikad baik.

Mengukur itikad baik bukanlah sesuatu yang sulit karena indikatornya sedehana yaitu  kewajaran (redelijkheid) dan kepatutan (bilijkeheid).

Pada peristiwa yang menjadi topik debat tersebut di atas, apakah wajar dan patut seorang yang karena penunjukannya untuk menjadi penjabat gubernur pada awal tahun ini, sempat menuai polemik dan berujung dibatalkan oleh Menkopolhukam kemudian disiasati untuk menduduki jabatan lain lalu pada akhirnya secara mengejutkan dilantik juga untuk posisi yang mengundang polemik dan sudah dibatalkan tadi.

Budaya malu pejabat publik di beberapa negara yang berujung pada pengunduran diri karena laku pribadinya mengundang polemik di ruang publik, cukup banyak yang dapat dijadikan refrensi.

Sebut saja Michael Bates salah satu menteri utama di Inggris mengundurkan diri hanya karena terlambat 1 menit menghadiri rapat, yang lain menteri ekonomi Jepang, Akira Amari mengundurkan diri karena dituduh korupsi menerima suap dari perusahaan konstruksi, meskipun secara hukum belum dibuktikan tetapi karena telah menjadi polemik di ruang publik ia merasa malu telah merusak kepercayaan pemerintah dan masyarakat Jepang padahal dalam penyelidikan lebih lanjut terbukti staf-nya lah yang melakukan hal tidak terpuji itu.

Disamping itu, ada juga mantan menteri Inggris David Blunkett yang mengundurkan diri karena merasa malu kepada publik ketahuan menggunakan kewenangan yang ada padanya membantu, Quinn mantan pacarnya mengurus visa bagi pengasuh bayinya yang berasal dari Filipina, selanjutnya Yuko Obuchi mantan menteri perdagangan dan industri di Jepang mengundurkan diri karena malu kepada publik dan merasa telah melakukan hal yang salah mentraktir relawannya dengan menggunakan anggaran negara.

Penutup

Interpretasi atau penafsiran sebagai salah satu cara penemuan hukum (rechtsvinding) digunakan dalam berhukum di negara hukum Indonesia dengan dibatasi kaidah-kaidah tertentu.

Kaidah-kaidah tersebut tersusun dalam sembilan metode secara limitatif-enumeratif.

Artinya diluar dari batasan susunan metode tersebut, tidak diperkenankan oleh hukum untuk melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan hukum normatif.

Akibat dari adanya pembatasan oleh kaidah-kaidah tertentu, maka interpretasi atau penfasiran tidak dapat begitu saja sebebas-bebasnya dilakukan sesuai kehendak pihak yang bersangkutan, pembatasannya oleh hukum mengandung makna di luar dari yang ditentukan oleh hukum maka tidaklah mengikat.

Satu hal lain yang tak kalah pentingnya adalah berhukum dalam negara hukum Indonesia seharusnya tidak boleh dilepaskan terpisah dari nilai dan dimensi etis lima sila Pancasila.

Pembentukan dan pelaksanaan atau penegakan hukum harus senantiasa dilakukan dalam spiritualitas untuk hal-hal baik, adil dan benar. Berhukum senantiasa harus dilakukan dengan penuh itikad baik.

Prilaku yang tidak lagi wajar dan patut dalam berhukum lambat laun akan mengerus kepercayaan publik kepada hukum dan pada gilirannya memberi pengaruh buruk bagi kesadaran atau budaya hukum (legal culture) ketika diperhadapkan dengan struktur dan substansi hukum, yang pada akhirnya akan menimbulkan kekacauan dalam segala dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keadaan dan situasi yang sungguh tidak diinginkan bersama. Langkah sederhana pencegahannya dapat di mulai dengan berhukum secara wajar dan patut.   

(Tribunmanado.co.id/David Manewus)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved