Tajuk Tamu
Berhukum Secara Wajar dan Patut
Tulisan ini bukan sebuah analisis politik terkait motif, skenario, tujuan, keuntungan politis dan lain sebagainya.
Penulis: | Editor: Alexander Pattyranie
Tajuk Tamu oleh:
Maximus Watung
Advokat di Manado, lulusan Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Program Studi Ilmu Hukum
MENARIK debat dengan topik pelantikan Penjabat Gubernur Jawa Barat, Komjen Pol M Iriawan antara Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dengan Wakil Sekjen Partai Gerindra yang disiarkan live oleh salah satu TV swasta nasional.
Bukan saja karena debat tersebut berlangsung antara pihak pemerintah yang diwakili Dirjen Otda Kemendagri dengan wakil partai oposisi tetapi lebih daripada itu konstruksi argumentasi keduanya sama-sama kukuh dibangun di atas dasar interpretasi atau penafsiran terhadap sejumlah pasal dalam ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya UU Kepolisian, UU Otonomi Daerah dan UU Aparatur Sipil Negara.
Tulisan ini bukan sebuah analisis politik terkait motif, skenario, tujuan, keuntungan politis dan lain sebagainya di balik peristiwa pelantikan itu seperti juga mengemuka dalam debat tersebut.
Akan tetapi terbatas pada cara berhukum yang diartikan dalam 2 (dua) pengertian yaitu pembentukan hukum dan pelaksanaan atau penegakkan hukum.
Khususnya bagaimana interpretasi atau penafsiran digunakan dalam berhukum di negara hukum Indonesia.
Apakah interpretasi atau penafsiran dapat dilakukan begitu saja sebebas-bebasnya oleh masing-masing pihak yang bersilang pendapat tanpa dibatasi norma atau kaidah tertentu atau justru sebaliknya ada hukum yang membatasi penggunaannya.
Esensi Negara Hukum
Kebebasan, demokrasi dan hukum merupakan tema penting yang mencuat pasca runtuhnya rezim totaliter orde baru.
Tiga hal tematik tersebut menjadi roh yang menggerakan reformasi sekaligus bahan bakar sosial yang mendorong bangsa ini hingga jatuh pada pilihan melakukan amandemen UUD 1945.
Tujuannya tak lain agar tiga hal tadi terutama hukum selalu dijunjung tinggi serta menjadi jantung yang memompa kebebasan mengalir sebagai nafas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di interaksi antara warga negara satu sama lain maupun penguasa/pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dan dalam hubungannya dengan warga negara.
Mosaab El Shami (20 tahun), seorang mahasiswa farmasi yang berunjuk rasa di lapangan Tahrir melawan rezim Husni Mubarak dalam orasinya sebagaimana dikutib Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nations Fail (2017), mengatakan harapannya agar Mesir bisa mempunyai pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, yang menjalankan dan menjunjung tinggi kebebasan universal serta bisa memberantas korupsi.
Mengapa kebebasan universal? karena kebebasan adalah sukma dari demokrasi dan menurut Brian Z. Tamanaha kebebasan merupakan pra kondisi bagi terwujudnya negara hukum.
Relevansi kebebasan dengan hukum terangkum dalam pepatah Latin yang dikemukakan begawan hukum dan politikus Romawi, Marcus Tulius Cicero ( 106 SM- 43 SM), katanya: “Omnes legume sevi sumus ut liberi esse possimus”, secara bebas dapat diterjemahkan: “kita semua harus tunduk kepada hukum jika kita ingin hidup bebas”.
“Kita semua” dalam konteks negara hukum tentu harus diartikan bukan saja orang per orang selaku warga negara tetapi juga adalah penguasa/pemerintah.
Kebebasan dan demokrasi jika “dibiarkan” jalan sendiri tanpa hukum akan tidak terkendali dan berpotensi menimbulkan kekacauan.
Catatan Acemoglu dan Robinson mengenai situasi di Zimbabwe dan Sierra Leone negara-negara di wilayah sub-Sahara Afrika dapat dijadikan rujukan, betapa hukum sangat penting untuk mengontrol bukan saja institusi politik dan ekonomi yang digandrungi oleh kekuasaan tetapi juga kekuasaan itu sendiri perlu dikendalikan dan dikontrol melalui hukum.