Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kasus Dana Hibah GMIM

Sidang Kasus Korupsi Dana Hibah GMIM, Ini Pernyataan Kuasa Hukum Jefry Korengkeng dan Steve Kepel

Enam saksi dihadirkan oleh JPU dalam sidang kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemprov Sulut ke GMIM di ruang sidang Prof Dr Muhammad Hatta Ali.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Tribun Manado/Arthur Rompis
KUASA HUKUM - Michael Jacobus, kuasa hukum terdakwa Jefry Korengkeng bicara kepada wartawan usai sidang dugaan kasus korupsi Dana Hibah GMIM di Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara, Rabu (10/9/2025). Ia menyebut, saksi Melky Matindas tidak konsisten dalam kesaksiannya. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sebanyak enam saksi dihadirkan oleh JPU dalam sidang kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemprov Sulut ke GMIM di ruang sidang Prof Dr Muhammad Hatta Ali SH MH di Pengadilan Negeri Manado di Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, kota Manado, Sulawesi Utara, Rabu (10/9/2025).

Keenamnya adalah ASN di Pemprov Sulut dan pensiunan.

Michael Jacobus, kuasa hukum terdakwa Jefry Korengkeng menyebut, saksi Melky Matindas tidak konsisten dalam kesaksiannya.

Menurut Jacobus, Melky menyebut kliennya memerintahkan memasukkan nama dan nominal pada Juli 2019.

"Sementara pak Jeffry baru dilantik pada Agustus 2019," katanya.

Kemudian dalam BAP sebelumnya, saksi menyebut proposal GMIM sudah rinci dan memenuhi syarat.

Namun keterangan saksi selanjutnya berbeda.

"Setelah itu bilang GMIM tak ada proposal," kata dia.

Ungkap Jacobus, saksi menyebut bahwa GMIM tidak memasukan proposal pada 2019.

Ia lantas meminta saksi menunjukkan daftar list yang memuat nama nama organisasi yang menerima dan tidak.

"Saya minta tunjukkan, berarti cuma satu alat bukti, apalagi saksi yang tidak konsisten dengan keterangannya," kata dia.

Lanjut dia, saksi mengatakan belum ada perranggung jawaban tahap 1, tapi sudah cair tahap 2. 
Begitupun dari tahap 2 ke 3.

"Dan terbukti di persidangan bahwa di list mereka mencentang bahwa LPJ sudah benar," kata dia.

Ia meminta agar majelis hakim mempertimbangkan hal ini.

Febri Tri Hariyada, kuasa hukum Steve Kepel mengatakan, dalam sidang terbukti bahwa

kliennya tidak memiliki peran dalam pencairan dana hibah.

"Baik lisan maupun tulisan tidak ada perintah," kata dia.

Keterangan Saksi Tak Konsisten, Hakim: Harusnya Jadi Terdakwa

Keterangan saksi Melky Matindas, dinilai tidak konsisten oleh majelis hakim dan tim pengacara.

Ketidakonsistenan kesaksian Melky Matindas ini pun jadi sorotan dalam persidangan ini.

Ia berulang kali mendapatkan teguran dari Hakim Ketua Achmad Peten Sili.

Puncaknya terjadi saat hakim dengan nada tegas menyebut bahwa Melky seharusnya menjadi terdakwa.

"Saya sudah peringatkan saksi agar ngomong apa adanya, jangan dusta dusta, nanti susah sendiri," ujar Hakim Achmad.

Dalam kesaksiannya, Melky mengungkapkan bahwa pencairan dana hibah sebesar Rp 18 miliar untuk GMIM tidak sesuai prosedur.

"Pada 2019 tidak ada proposal yang masuk untuk dana hibah dari GMIM tapi tetap dianggarkan pada 2020," sebut dia.

Meskipun demikian, ia mengaku pencairan tetap dilakukan atas "arahan pimpinan."

Kesaksian Melky diperkuat oleh saksi lain, Jimmy Pantouw, yang juga membenarkan tidak adanya pengajuan proposal dari GMIM pada tahun 2019. 

Sementara itu, saksi Ferni Karamoy mengaku mendapat petunjuk lisan dari terdakwa Jefry Korengkeng untuk mencairkan dana tersebut.

Frangky Weku, pengacara terdakwa AGK, menyoroti inkonsistensi kesaksian Melky.

Ia bahkan mengusulkan agar Melky ditetapkan sebagai terdakwa.

Menurut Frangky, nyata dalam sidang bahwa Melky-lah yang membuat dokumen terkait pencairan dana hibah tersebut. 

"Hingga saya mengusulkan agar saksi Melky dijadikan terdakwa," katanya.

Kasus ini beralawal saat Pemprov Sulut melaksanakan pengalokasian, pendistribusian dan realisasi dana untuk belanja hibah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Proses pengalokasian dana tersebut terjadi pada tahun 2020, 2021,2022 dan  2023.

Total dana yang dikucurkan adalah Rp. 21.5 Miliar.

Namun dalam pelaksanaannya diduga telah terjadi praktek melawan hukum dan atau menyalahgunakan kewenangan hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 8,9 Miliar. 

Pada kasus ini modus yang dilakukan yaitu melakukan mark-up dalam penggunaan dana.

Penggunaan dana tidak sesuai peruntukkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan alias pertanggungjawabannya fiktif. (Art)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Baca juga: Tak Terkendali, Protes Korupsi di Nepal Makin Parah: Istana Negara dan Gedung Pemerintah Dibakar

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved