Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

Kisah Supriyadi, Menhan & Panglima Tentara RI Pertama yang Tak Pernah Muncul, Pejuang PETA di Blitar

HUT TNI setiap 5 Oktober didasarkan pada sejarah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 79 tahun silam.

|
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Rizali Posumah
META AI
ILUSTRASI PETA - Ilustrasi Pasukan Pembela Tanah Air di zaman pendudukan Jepang. Gambar diakses dari Meta AI pada 5 Oktober 2025. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) setiap 5 Oktober didasarkan pada sejarah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 79 tahun silam.

Menariknya, di balik peringatan ini tersimpan kisah misterius tentang pemimpin pertama yang ditunjuk: Supriyadi, tokoh pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar.

Pembela Tanah Air (PETA) adalah kesatuan militer sukarela yang dibentuk oleh Jepang selama masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

PETA dibentuk dengan merekrut dan melatih pemuda Indonesia menjadi prajurit handal, namun akhirnya digunakan untuk melawan tentara Sekutu dan bahkan memberontak melawan Jepang untuk kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, situasi sedang genting. 

Awalnya, Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk pada 22 Agustus 1945.

BKR, yang personelnya berasal dari eks militer bentukan Jepang seperti Pembela Tanah Air dan Heiho (Tentara Bantuan Militer Jepang) dan Belanda seperti KNIL, hanya bertugas memelihara keamanan.

Namun, desakan para pemuda pejuang untuk membentuk tentara nasional resmi kian kuat, terutama setelah kedatangan tentara Inggris yang dicurigai berniat membantu Belanda kembali berkuasa.

Ditunjuk Jadi Panglima TKR dan Menhan Namun Tak Pernah Muncul

Menanggapi kebutuhan mendesak tersebut, BKR resmi diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui Maklumat Pemerintah pada 5 Oktober 1945.

Sehari kemudian, pada 6 Oktober 1945, Presiden Soekarno menunjuk Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat sekaligus Panglima Tertinggi TKR yang pertama. 

Sementara itu, mantan perwira KNIL, Oerip Soemohardjo, diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal.

Pilihan Soekarno atas Supriyadi bukan tanpa alasan.

Supriyadi merupakan perwira PETA dengan pangkat Shodancho (setingkat Kapten). 

Ia terkenal berani memimpin perlawanan PETA terhadap Jepang di Blitar pada Februari 1945.

Pemberontakan ini dipicu oleh perlakuan sewenang-wenang Jepang dan semangat kemerdekaan.

Perlawanan itu berhasil ditumpas tentara Jepang, beberapa prajurit Peta yang terlibat pemberontakan dieksekusi Jepang

Sementara kabar Supriyadi menjadi tidak jelas, pasalnya tidak ditemukan mayatnya.

Beberapa kalangan meyakini Supriyadi berhasil meloloskan diri dan selamt dari buruan Jepang

Ironisnya, sang pejuang yang ditunjuk Soekarno ini tidak pernah muncul untuk menjabat.

Hingga awal November 1945, Supriyadi tetap menghilang. 

Kekosongan kepemimpinan di pucuk TKR membuat pemerintah melalui Kepala Staf Umum, Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo, menggelar Konferensi TKR di Yogyakarta pada 12 November 1945. 

Dalam konferensi ini, Kolonel Soedirman yang juga merupakan tokoh PETA terpilih sebagai Panglima Tertinggi TKR yang baru.

Soedirman kemudian resmi menyandang pangkat Jenderal pada 18 Desember 1945.

Sementara itu, nasib Supriyadi tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga kini.

Porofil Supriyadi

Supriyadi sendiri merupakan anak sulung dari pasangan Raden Darmadi dan Rahayu.

Kedua orang tuanya berasal dari kalangan bangsawan Jawa.

Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Kabupaten Blitar.

Ketika Supriyadi berusia dua tahun, ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan Susilih, yang melahirkan 11 adik laki-laki Supriyadi.

Supriyadi menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Blitar dan melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Malang.

Dia dikenal sebagai siswa yang cerdas, aktif, dan berbakat dalam bidang olahraga.

Supriyadi juga tertarik dengan gerakan nasionalisme dan sempat bergabung dengan Jong Java, sebuah organisasi pemuda yang berhaluan kiri.

Pada 1943, ketika Indonesia diduduki oleh Jepang, Supriyadi mendaftar sebagai anggota PETA (Pembela Tanah Air).

Ini adalah sebuah organisasi milisi yang dibentuk oleh Jepang untuk membantu pertahanan mereka.

Supriyadi ditempatkan di batalyon ke-2 PETA di Blitar dan mendapat pangkat Shodancho (setingkat kapten).

Dia menjadi salah satu perwira PETA yang paling disegani dan dicintai oleh para prajuritnya karena kepemimpinan dan keberaniannya.

Februari 1945, Supriyadi memimpin perlawanan PETA terhadap Jepang di Blitar.

Perlawanan ini dipicu oleh ketidakpuasan para prajurit PETA terhadap perlakuan Jepang yang sewenang-wenang, diskriminatif, dan mengeksploitasi sumber daya Indonesia.

Selain itu, para prajurit PETA juga terinspirasi oleh pidato Jenderal Koiso pada tanggal 7 September 1944 yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Perlawanan ini direncanakan secara rahasia oleh Supriyadi bersama beberapa perwira PETA lainnya, seperti Soeharto (bukan mantan presiden), Soetarjo Kartohadikusumo, Moestopo, dan Sudirman (yang kemudian menjadi Panglima TNI yang kedua).

Mereka berencana untuk membunuh para perwira Jepang saat menghadiri rapat di Hotel Sakura pada tanggal 14 Februari 1945.

Namun rencana ini bocor dan Jepang berhasil menghindari serangan tersebut.

Meskipun demikian, Supriyadi dan pasukannya tetap melancarkan serangan ke markas Kenpeitai (polisi militer Jepang) dan beberapa pos penting lainnya di Blitar.

Mereka berhasil menguasai sebagian besar kota Blitar selama beberapa jam dan menyatakan kemerdekaannya.

Serangan Supriyadi dan pasukannya tidak berlangsung lama.

Jepang segera mengirim bala bantuan dari Malang dan Kediri untuk menumpas pemberontakan Blitar.

Pertempuran sengit terjadi antara pasukan PETA dan Jepang di berbagai tempat di Blitar dan sekitarnya.

Banyak prajurit PETA yang gugur dalam pertempuran tersebut, termasuk beberapa perwira yang terlibat dalam perencanaan pemberontakan.

Supriyadi sendiri berhasil lolos dari kejaran Jepang dan bersembunyi di lereng Gunung Kelud bersama beberapa prajuritnya.

Namun ia tidak pernah terlihat lagi setelah itu.

Berbagai versi muncul mengenai keberadaannya pascapemberontakan PETA, mulai dari dugaan tewas dalam pertempuran atau disiksa Jepang.

Meski begitu, tidak ada bukti pasti yang mampu mengakhiri teka-teki hilangnya Supriyadi.

Ia tetap menjadi misteri abadi dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia

Meskipun nasibnya tidak jelas, Supriyadi tetap dihormati sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang.

Ia juga diakui sebagai Menteri Keamanan Rakyat meskipun ia tidak pernah dilantik secara resmi.

Pada tanggal 9 Agustus 1975, Presiden Soeharto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Supriyadi secara anumerta.

Nama Supriyadi juga diabadikan sebagai nama jalan, sekolah, museum, monumen, dan tugu di berbagai kota di Indonesia, terutama di Blitar dan Trenggalek.

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

SUMBER: 

Baca juga: Sejarah Hari Lahir TNI 5 Oktober 1945: Berawal dari Badan Keamanan Rakyat yang Dibentuk PPKI

 

 

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved