Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

Perdebatan Jumlah Korban Jiwa Tragedi Kemanusiaan Pasca-G30S 1965

Setelah Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, Republik Indonesia menyaksikan lembaran paling kelam dalam sejarahnya.

|
Penulis: Rizali Posumah | Editor: Rizali Posumah
META AI
ILUSTRASI - Ilustrasi tahanan politik era tahun 1960an. Gambar diakses dari Meta AI pada Senin (29/9/2025). 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Setelah Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, Republik Indonesia menyaksikan lembaran paling kelam dalam sejarahnya.

Sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan terjadi sepanjang akhir 1965 hingga 1966, menelan korban jiwa yang diduga mencapai jutaan orang.

Kekerasan massal ini menargetkan mereka yang dianggap, dituduh, atau diyakini berafiliasi dengan Komunis atau Partai Komunis Indonesia (PKI), serta organisasi sayapnya.

Peristiwa ini bermula pada Oktober 1965 di Jakarta, kemudian menyebar cepat ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, sebelum meluas ke sejumlah daerah lain di luar Jawa, terutama Sumatra.

Penangkapan dan pembunuhan tidak hanya dilakukan oleh pihak militer, tetapi juga melibatkan pemuda dan masyarakat sipil.

Mereka yang ditangkap sering kali mengalami penyiksaan dan dieksekusi begitu saja. 

Pembantaian terparah dilaporkan terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Hingga kini, jumlah pasti korban tewas dalam peristiwa 1965-1966 masih diperdebatkan.

Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) terus berupaya menyelidiki dan mengumpulkan bukti-bukti kekerasan yang terjadi.

Pada Oktober 2019, misalnya, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) melakukan audiensi dengan Kejaksaan Agung terkait temuan mereka.

YPKP 65 melaporkan telah menemukan 346 lokasi kuburan massal di berbagai wilayah, termasuk Sumatera Utara, Sumatera Barat, Palembang, Lampung, Sukabumi, Tanggerang, dan Bandung.

Angka Korban: Dari Puluhan Ribu hingga Jutaan

Perdebatan mengenai angka korban telah muncul sejak peristiwa itu berlangsung.

Fact Finding Commission (FFC)

Semasa Presiden Soekarno masih berkuasa, sebuah tim resmi bernama FFC dibentuk dengan Surat Keputusan Presiden untuk menyelidiki. 

Tim berbobot ini dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri dan beranggotakan pejabat tinggi negara serta perwakilan dari partai politik seperti PNI, NU, dan Parkindo.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved