Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pahlawan Nasional

Ini Alasan Adian Napitupulu Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto

Tokoh aktivis reformasi Adian Napitupulu bahkan menegaskan, perjuangan 1998 yang menjatuhkan Soeharto tidak mungkin dilupakan begitu saja.

Kolase Tribun Manado/Kompas.com
TOLAK - Kolase foto Tokoh aktivis reformasi Adian Napitupulu dan Presiden ke-2 RI Soeharto. Pemerintah diketahui tengah menggodok 40 nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional. Dan di antara nama-nama itu, muncul sosok yang paling kontroversial: Presiden ke-2 RI, Soeharto.  

Ketika pembangunan disebut sebagai alasan pemberian gelar, Adian menolak klaim tersebut.

“Kalau gua pikir, siapapun bisa melakukan itu. Tapi kalau misalnya kemudian kita bilang apakah itu luar biasa, gua tidak lihat,” ujarnya.

Ia mencontohkan pelanggaran kebebasan pers dan hak petani. Banyak media dibredel, dan Soeharto tidak bisa dikatakan sebagai presiden yang demokratis.

Organisasi jurnalis, buruh, dan pemuda dibatasi pada satu wadah tertentu, sementara sistem partai politik hanya dibatasi dua partai ditambah Golongan Karya.

“Artinya, kebebasan berorganisasi sebagai syarat demokrasi juga tidak tumbuh tuh di masa Soeharto,” kata Adian.

Ia juga menekankan catatan pelanggaran HAM yang luas selama rezim Soeharto, mulai dari peristiwa 1965, Petrus, Tanjung Priok, Talangsari, dan lain-lain.

Pelarangan jilbab dan pembatasan kebebasan lain pun menurutnya menjadi bukti bahwa tidak ada dasar kuat untuk menyematkan gelar pahlawan.

Legitimasi dan dampak lingkungan

Adian mengingatkan dampak kebijakan Soeharto terhadap lingkungan. Lahan pertanian di Bogor, Jawa Barat, dan Jawa Tengah diambil tanpa ganti rugi memadai.

“Sampai tahun ’95 atau tiga tahun sebelum jatuhnya Soeharto, ada sekitar 57 juta hektar hutan yang dijadikan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Kalau kita asumsikan setiap hektar ada 200 pohon besar yang ditebang, maka paling tidak ada sekitar 11 miliar pohon lebih yang ditebang. Itu atas nama negara yang diberikan kewenangannya oleh Soeharto sebagai kepala negara,” jelasnya.

Menurut Adian, hal ini berdampak langsung pada kualitas udara dan iklim yang dirasakan masyarakat hingga kini. Ia menekankan pentingnya kesadaran sejarah bagi generasi muda.

“Pohonnya ditebang tahun ’95, dampaknya terhadap kualitas udara kita sampai sekarang dong. Bahwa mereka tidak tahu terjadi penebangan pohon itu benar, tapi bahwa dampaknya mereka rasakan,” katanya.

Kritik terhadap ekonomi dan bisnis keluarga

Adian juga menyoroti pembangunan ekonomi pada era Soeharto dan pengelolaan bisnis keluarga Cendana.

Menurutnya, pengusaha yang muncul pada masa itu lebih banyak mengandalkan proteksi dan fasilitas negara, bukan dibangun sebagai pengusaha sejati.

Ia menyebut luas lahan milik keluarga Cendana mencapai 3,6 juta hektar, lebih besar dari Provinsi Jawa Tengah yang hanya 3,2 juta hektar.

Dari berbagai catatan tersebut, Adian menilai Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved