Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Isu Pergantian Kapolri

Jenderal Listyo Sigit Prabowo Disebut Tetap Menjabat sebagai Kapolri hingga Akhir Tahun 2025

Pihak Komisi III DPR RI mengatakan bahwa Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan tetap dipertahankan sebagai Kapolri sampai akhir tahun 2025.

|
Editor: Frandi Piring
Dok. Divisi Humas Polri
POLRI - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat berbicara di depan umum. Kabar terbaru, Jenderal Listyo disebut tetap menjabat sebagai Kapolri hingga akhir tahun 2025. Hal itu disampaikan oleh Anggota Komisi III, Nasir Djamil. mengatakan bahwa informasi yang diterima kini adalah Listyo akan tetap dipertahankan sebagai Kapolri sampai akhir tahun 2025. 

“Jabatan Kapolri merupakan jabatan karier dalam struktur organisasi polri yang tunduk pada batas usia pensiun dan mekanisme pembinaan kepegawaian, bukan jabatan politik seperti menteri yang mengikuti masa jabatan presiden,” ujar laki-laki yang akrab disapa Eddy itu dalam sidang lanjutan pengujian materi Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dalam Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (29/7/2025) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

Eddy menjelaskan perbedaan antara jabatan kapolri dan menteri tidak hanya terletak pada kedudukan fungsional, tetapi juga pada dasar hukum pengangkatannya.

Menteri diangkat dan diberhentikan sepenuhnya atas hak prerogatif presiden, sedangkan kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Eddy menuturkan terkait masa jabatan, UU Polri secara tegas telah mengatur batas usia pensiun anggota Polri termasuk Kapolri adalah 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun berdasarkan kebutuhan organisasi. Dengan demikian, masa jabatan Kapolri tidak ditentukan oleh periode masa jabatan presiden.

“Tidak ada ketentuan dalam UU Polri yang menyatakan bahwa masa jabatan kapolri mengikuti masa jabatan presiden. Pemaknaan demikian tidak memiliki dasar hukum dan dapat menimbulkan ketidakpastian dalam manajemen organisasi Polri,” kata dia.

Ilustrasi Polisi. Pangkat Jenderal Polisi sebagai syarat penjabat Kapolri.
Ilustrasi Polisi. Pangkat Jenderal Polisi sebagai syarat penjabat Kapolri. (Tribunnews.com)

Selain itu, menurut Eddy, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, karena tidak dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional secara nyata, spesifik, dan aktual yang ditimbulkan akibat berlakunya norma yang diujikan.

Para Pemohon tidak memiliki hubungan langsung sebagai pihak yang dirugikan secara konstitusional.

Tidak ada bukti bahwa keberlakuan norma tersebut berdampak pada hak-hak konstitusional mereka.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto selaku Ahli di bidang Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-undangan dihadirkan Pemohon dalam sidang ini.

Ia mengatakan, Kapolri adalah pejabat publik yang diangkat presiden dengan persetujuan DPR sehingga terdapat mekanisme check and balances, berbeda dengan menteri yang merupakan pembantu presiden dan dapat diangkat atau diberhentikan secara langsung tanpa persetujuan lembaga lain.

“Jabatan kapolri memang melalui proses politik, tetapi bukan jabatan politik. Artinya, kapolri bukan bagian dari struktur kabinet yang langsung melekat pada masa jabatan Presiden,” kata Aan yang hadir dalam persidangan secara daring.

Aan melanjutkan, berbeda dengan menteri yang masa jabatannya secara eksplisit berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan presiden, kapolri tunduk pada ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam UU Polri.

Namun dia menyoroti ketidakjelasan norma dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Polri yang memuat alasan pemberhentian kapolri, salah satunya karena “masa jabatan telah berakhir”. Menurutnya, ini menimbulkan persoalan konstitusional karena batang tubuh undang-undang sama sekali tidak mengatur tentang masa jabatan kapolri.

“Penjelasan tidak boleh mengandung norma baru yang tidak terdapat dalam batang tubuh. Hal itu bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan,” sebut Aan.

Dia menekankan bahwa memasukkan norma dalam penjelasan yang bukan merupakan tafsir dari norma dalam batang tubuh dapat menimbulkan interpretasi ganda dan ketidakpastian hukum. Dalam perspektif negara hukum, segala bentuk pembatasan kekuasaan, termasuk dalam jabatan publik, harus mengikuti prinsip legalitas dan kepastian hukum.

Profil Listyo Sigit Prabowo

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved