Bahasa dan Masa Depan Kesadaran Kritis
Kasus “hilirisasi” menunjukkan bahwa bahasa tidak pernah sepenuhnya bebas nilai. Ia bisa menjadi jembatan komunikasi yang menyatukan, tetapi juga bisa menjadi instrumen dominasi dan reproduksi kekuasaan.
Oleh karena itu, pembacaan terhadap bahasa tidak cukup berhenti pada tataran gramatika, semantik, atau fonologi, melainkan harus disertai dengan kesadaran kritis terhadap bagaimana bahasa digunakan untuk menyembunyikan, memproduksi, atau memaksakan makna.
Kesadaran kritis ini penting untuk membedakan antara pertumbuhan bahasa yang organik dan pertumbuhan yang hegemonik. Bahasa organik lahir dari praktik sehari-hari masyarakat dan berkembang mengikuti kebutuhan komunikasi.
Sementara itu, bahasa hegemonik dibentuk oleh aktor-aktor dominan yang punya kepentingan untuk membingkai realitas sesuai agendanya.
Dalam konteks hilirisasi, kita perlu bertanya: apakah istilah ini muncul dari kebutuhan komunikatif masyarakat luas, atau justru dibentuk oleh wacana pembangunan negara?
Apakah ia mempermudah pemahaman, atau justru membingungkan dengan jargon teknokratis yang menjauhkan publik dari partisipasi kritis?
Pada konteks ini, kita perlu literasi kritis, yang tidak hanya melibatkan kemampuan membaca teks, tetapi juga kemampuan membaca konteks sosial, politik, dan ideologis dari teks tersebut.
Dalam hal ini, memahami dan mengkritisi istilah seperti “hilirisasi” adalah bagian dari upaya membangun kewargaan linguistik yang sadar dan aktif.
Akirnya, sebagai bangsa yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu dan instrumen berpikir, kita tidak bisa bersikap pasif terhadap proses kodifikasi dan perkembangan istilah baru.
Kita perlu menghidupkan kembali bahasa yang reflektif, yakni bahasa yang tidak hanya mengikuti kebiasaan, tetapi juga memberi ruang bagi perenungan dan dialog.
Bahasa yang hidup bukanlah bahasa yang tunduk, melainkan bahasa yang tumbuh dalam kesadaran.
Atau, mengutip kembali pemikiran Michel Foucault (1980), bahasa adalah medan perang pengetahuan dan kekuasaan.
Maka, siapa yang menguasai bahasa menguasai cara berpikir. Dan, siapa yang menguasai cara berpikir, sangat mungkin menguasai arah masa depan kita. (*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.