Lebih jauh lagi, Jan Blommaert (2010) menekankan bahwa dalam era globalisasi dan negara modern, kodifikasi bahasa harus dipahami sebagai bentuk “textual authority”, proses di mana negara dan elite budaya menentukan mana bentuk bahasa yang sah dan mana yang tidak, dalam konteks kontrol sosial dan legitimasi kebijakan.
Dalam kasus “hilirisasi”, proses ini sangat tampak. Dalam waktu singkat, kata ini masuk ke KBBI dan menjadi istilah yang dianggap mapan.
Padahal, secara etimologis maupun gramatikal, bentuk ini hanyalah satu dari banyak kemungkinan bentuk derivasi yang bisa dipilih. Artinya, “hilirisasi” menjadi baku bukan karena struktur bahasanya paling tepat, tetapi karena kekuatan politik dan ekonomi yang menopangnya.
Antara Pembakuan dan Penerimaan
Pemakaian akhiran “-nisasi” dalam bentuk kata bahasa Indonesia sebenarnya bukanlah isu utama yang perlu diperdebatkan secara berlebihan.
Hal ini karena bahasa pada hakikatnya adalah sistem yang terbuka dan dinamis, senantiasa berkembang mengikuti perubahan sosial, budaya, dan kebutuhan komunikatif penuturnya.
Dalam pandangan Wilhelm von Humboldt, bahasa bukanlah produk yang sudah selesai (Ergon), melainkan sebuah proses yang terus berlangsung (Energeia) yakni aktivitas kreatif yang hidup dan terus berubah.
Oleh karena itu, kemunculan bentuk-bentuk baru seperti “hilirisasi” mencerminkan gejala normal dari evolusi bahasa dalam praktik sosial yang terus bergerak.
Dalam sosiolinguistik kontemporer, konsep pembakuan (standardization) tidak lagi dilihat sebagai proses murni linguistik, tetapi juga sebagai proses sosial yang melibatkan dua arah: dari atas ke bawah (top-down) atau preskriptif dan dari bawah ke atas (bottom-up) atau deskriptif.
Pendekatan top-down merujuk pada pembakuan yang dikendalikan oleh lembaga otoritatif seperti negara, lembaga bahasa, dan media arus utama.
Sementara itu, pendekatan bottom-up merujuk pada bentuk bahasa yang tumbuh secara organik di masyarakat penutur dan kemudian mendapatkan legitimasi karena frekuensi dan fungsinya dalam komunikasi sehari-hari sebagaimana dikonsep oleh James Milroy & Lesley Milroy dalam Authority in Language (1999).
Dalam kasus “hilirisasi”, kita melihat proses top-down yang sangat kuat. Kata ini diperkenalkan dan diulang secara sistematis oleh elite politik dalam wacana kenegaraan, diberi legitimasi melalui dokumen kebijakan, dan disahkan dalam kamus resmi.
Namun, agar benar-benar hidup dalam bahasa, pembakuan itu tetap membutuhkan penerimaan dari masyarakat.
Di sinilah pembakuan formal bertemu dengan legitimasi sosial. Konsep ini sejalan dengan pandangan Pierre Bourdieu (1991) tentang legitimasi kebahasaan (legitimate language), yakni bahwa bahasa yang dianggap sah tidak hanya ditentukan oleh bentuknya, tetapi oleh otoritas simbolik yang menyokongnya.
Dengan demikian, “hilirisasi” menjadi sah bukan karena hanya benar menurut tata bahasa, tetapi karena disahkan oleh kekuasaan dan diterima dalam praktik sosial.