Opini

Sarjana Kesehatan Masyarakat dan Strategi Kepemimpinan Kesehatan Daerah

Editor: David_Kusuma
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

dr Adi Tucunan (Dosen FKM Unsrat)

Penulis : dr Adi Tucunan (Dosen FKM Unsrat)

KETIKA kita berbicara tentang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), maka kemungkinan terjadi kebingungan di publik tentang peran dari SKM bisa sering terjadi.

Hal ini disebabkan karena pemahaman dasar tentang profesi kesehatan masyarakat kita di Indonesia secara khusus di daerah belum memadai. Secara umum, profesi kesehatan hanya dilihat dari aspek profesionalisme yang bergerak di bidang kuratif, mereka di antaranya adalah dokter, perawat, bidan dan profesi lain yang bergerak di bidang kuratif.

Tidak kuatnya pemahaman masyarakat kita tentang adanya profesi yang bergerak di bidang pencegahan dan promosi kesehatan, disebabkan karena paradigma sakit terlalu mendominasi paradigma sehat di negara ini. Artinya, baik pemerintah maupun masyarakat kita selalu memandang dunia kesehatan secara parsial yaitu mereka yang bergerak dalam upaya pengobatan penyakit; tidak memasukkan mereka yang bergerak dalam bidang pencegahan dan promosi kesehatan sebagai bagian penting dalam benak mereka.

Hal ini tentu saja memberikan dampak yang merugikan bagi profesi kesehatan masyarakat karena mereka tidak cukup dikenal di masyarakat dan bahkan sekalipun peran mereka di sektor kesehatan masyarakat jauh lebih penting daripada profesi kesehatan lain.

Kebingungan ini cukup mendasar karena dalam status sosial di profesi kesehatan selama berpuluh tahun, mereka yang bergerak di bidang medis lebih terlihat jelas perannya selama ini dibanding kesehatan masyarakat itu sendiri; sehingga menjadikan Sarjana Kesehatan Masyarakat seperti warga kelas dua dalam profesi kesehatan karena kurang mendapat tempat terhormat baik dalam jabatan fungsional maupun struktural di instansi kesehatan seperti Dinas Kesehatan maupun Puskesmas.

Dalam tulisan kali ini, kami ingin mendiskusikan akar masalah mengapa SKM itu terkesan dianaktirikan bahkan dinomorduakan dan kadang termarginalkan dibanding koleganya tenaga medis seperti dokter dan perawat; sehingga tidak memungkinkan para SKM ini bisa berkontribusi besar dalam meningkatkan derajat kesehatan publik yang dicita-citakan dalam undang-undang kesehatan kita untuk menuju masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya agar dapat hidup sehat dan produktif.

Hal ini menjadi perjuangan yang sulit bagi para SKM karena mereka sulit menembus daya tarik politis kepala daerah untuk menjadikan mereka otak dari sistem kesehatan di daerah dengan mengangkatnya sebagai pemimpin di sektor kesehatan publik.

Dalam pandangan kami, akar masalah sesungguhnya dari kekeliruan cara pandang ini adalah ketidakpahaman kita tentang apa dan bagaimana profesi kesehatan masyarakat itu belajar dan bekerja serta kemampuan mereka mengatasi persoalan kesehatan secara komprehensif dan bukan hanya memandang dari aspek kuratif yang hanya menjadikan para tenaga medis sebagai montir.

Sebaliknya, tenaga SKM dibutuhkan untuk menjaga setiap individu di masyarakat dapat mencegah ambruknya kesehatan dia jika dia mampu melakukan upaya mitigasi, preventif dan promotif bagi proteksi kesehatan dia di masa depan.  

Pemerintah masih melihat fokus utama pada upaya kuratif dikarenakan paradigma sakit yang disebutkan di atas, mereka masih melihat bahwa kesehatan itu tentang bagaimana menyembuhkan orang yang sakit, bukannya bagaimana mencegah agar orang tidak jatuh sakit.

Bahkan di Kementerian Kesehatan selama bertahun-tahun dipimpin oleh mereka yang berpikiran kuratif bukannya preventif promotif.

Semua anggaran kesehatan sebagian besar terserap pada upaya kuratif, padahal jika mengacu pada garis besar sistem kesehatan nasional, arah pembangunan kesehatan kita lebih menitikberatkan pada sektor preventif dan promotif.

Kita melihat ada banyak kebijakan kesehatan nasional selama ini lebih bertolak pada upaya kuratif, padahal jika mengacu pada Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang direvisi dengan UU No. 17 Tahun 2023, maka kebijakan kesehatahan nasional kita harusnya lebih menekankan pada upaya preventif dan promotif, walaupun kuratif dan rehabilitatif tetap bersinergi dalam pelayanan kesehatan secara menyeluruh.

Ini penting untuk dipahami secara filosofis, karena jika kita terus menganut paradigma sakit lebih utama dibanding paradigma sehat maka kita akan menghabiskan terlalu banyak energi untuk mengatasi sesuatu yang sia-sia.

Halaman
123

Berita Terkini