Meski telah turun menjadi sekitar Rp 100 ribu per kilogram, harga ini dinilai masih jauh lebih tinggi dibandingkan harga normal sebelum wabah, yang hanya berkisar Rp 35–45 ribu per kilogram.
Tingginya harga daging babi ini dinilai perlu segera mendapat perhatian dan intervensi dari pemerintah, khususnya dalam mendukung pemulihan sektor peternakan babi di daerah.
Akademisi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Vecky Masinambow, mengatakan bahwa intervensi pemerintah sangat dibutuhkan, terutama di sisi hulu peternakan.
“Pertama, perlu ada sosialisasi menyeluruh soal cara beternak babi agar tidak terjangkit ASF. Ini menyangkut penerapan protokol kesehatan ternak yang standar,” ujar Masinambow saat diwawancarai pada Selasa (5/8/2025).
Ia menjelaskan, intervensi kedua yang perlu dilakukan adalah pemberian fasilitasi bibit ternak yang sehat dan berkualitas.
Namun upaya ini masih menghadapi sejumlah tantangan di lapangan.
“Peternak sebagian masih trauma. Lalu, bibit babi yang sehat itu mahal dan sulit didapat. Ketiga, makanan ternak juga harus standar dan bebas risiko ASF,” tambahnya.
Masinambow memprediksi bahwa harga daging babi kemungkinan besar tidak akan kembali ke harga sebelum ASF, meskipun lambat laun bisa menurun.
“Biaya usaha peternakan saat ini cenderung meningkat. Jadi wajar bila harga jualnya tidak akan kembali seperti dulu,” jelasnya.
Untuk itu, ia mendorong adanya kebijakan yang berpihak pada peternak lokal, baca selengkapnya
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.