TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 cukup memicu kontroversi di kalangan praktisi maupun akademisi hukum dan politik sekalipun masih jauh dari Pemilu 2029.
Secara garis besar, substansi putusan MK itu memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Pakar Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Stefan Obadja Voges SH MH mengungkapkan alasan putusan itu memicu kontroversi.
Pertama karena memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Kedua, pemilu nasional untuk memilih presiden-wapres, DPR RI, dan DPD RI digelar lebih dulu.
Ketiga, pemilu lokal untuk memilih DPRD dan pilkada akan digelar paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Voges menilai Putusan MK ini wajar menuai pro/kontra karena melampaui wewenang.
"Karena MK telah mengambil peran sebagai positive legislature, yaitu menciptakan norma baru, padahal seharusnya wewenang MK hanya menguji konstitusionalitas Undang-Undang alias sebagai negative legislature," ujarnya kepada Tribunmanado.com, Kamis (3/7/2025).
Bahkan MK mengambil sikap yang bertentangan dengan putusan MK sebelumnya (Putusan No. 55/PUU-XVII/2019) yang memberikan opsi keserentakan pemilu kepada pembentuk Undang-Undang.
Sikap MK ini tentu saja berdampak pada kepastian hukum.
Keputusan ini dikenal sebagai paradoks konstitusional, karena dianggap kontradiktif dengan prinsip keserentakan yang sebelumnya diakui oleh MK sendiri.
"MK seolah tidak memperhitungkan bahwa dengan pemisahan ini akan menimbulkan potensi kerumitan administratif dan politik, bahkan memperlemah partisipasi pemilih," ujarnya.
Kemudian, putusan ini juga akan berimplikasi terhadap wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Putusan ini setidaknya menghapus wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang didukung Presiden Prabowo Subianto sebagai cara untuk menghemat biaya politik.
Baca juga: Kunci Gitar The Actor - Michael Learns To Rock
Baca juga: Data 2025, Kunjungan Wisman dan Wisnus di Sulut Meningkat, Kadispar : Kita Akan Lebih Gencar Lagi
"Patut diduga putusan ini merupakan titipan dari lawan politik Prabowo," ujar akademisi yang juga Direktur Eksekutif Kadin Sulawesi Utara ini.