Denny mengaku sudah mengantongi hasil putusan hakim MK yang akan mengembalikan sistem proporsional tertutup atau coblos partai.
Informasi itu diperolehnya dari sumber terpercaya.
Pengamat Politik Sulut Ferry Liando menuturkan, berlakunya kembali sistem proporsional tertutup masih sebatas isu.
MK sebagai yang punya gawean sudah mengklarifikasi bahwa mereka belum bersidang.
"Sampai sekarang oknum yang menyebarkan isu bahwa MK akan memutuskan SPDTt (sistim proporsional daftar tertutup) sebagai sistim yang akan digunakan pada pemilu 2024 belum bisa mempertanggungjawaban sumber informasinya," katanya
Ferry mengurai plus minus pemberlakuan sistem proporsional tertutup.
Menurut dia, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak mencoblos nama orang, tapi logo parpol. Ini lebih mudah secara teknis.
Jelas dia, secara teknis sistem ini memang lebih mudah baik dari pencetakan surat suara, pendistribusian, pencoblosan, penghitungan hingga rekapitulasi.
KPU tidak perlu melakukan sortir nama calon secara ketat, tidak perlu khawatir surat suara tertukar dapil, surat suara tidak sulit dibuka, dicoblos, dan dilipat.
"karena ukurannya tidak terlalu panjang dan lebar serta mekanisme rekapitulasi yang mudah karena penghitungannya bukan per caleg tapi cukup parpol saja," katanya.
Namun, beber dia, SPDTt akan beresiko bagi parpol sendiri. Itu dikarenakan kebiasaan di internal parpol yang mewajibkan imbalan bagi siapa saja yang membutuhkan posisi.
Contoh dalam hal suksesi ketua parpol di daerah, ada kewajiban uang setoran bagi masing-masing calon.
Siapa yang menawar dengan nominal tertinggi maka jabatan akan diberikan kepadanya, lalu pada momentum pemilu, sebagian parpol juga kerap memperjualbelikan kartu tanda anggota (KTA) kepada siapa saja yang ingin menjadi caleg.
"UU Pemilu menyebutkan bahwa syarat caleg harus memiliki KTA. Meski bukan kader parpol tapi jika seseorang memiliki KTA maka memungkinkan baginya memenuhi syarat menjadi caleg," lanjutnya.
Ia menilai, ditinjau dari kondisi tersebut,