Spoor akhirnya gagal menghentikan Jenderal Soedirman dan gagal mengembalikan kejayaan Belanda di Indonesia.
Profil Jenderal Soedirman
Berbeda dengan Simon Spoor, sosok Jenderal Soedirman justru melekat erat di ingatan masyarakat Indonesia
Berikut profil Jenderal Soedirman dilansir dari Tribun Video dalam artikel 'Profil Jenderal Soedirman - Pahlawan Nasional Republik Indonesia'
Sejak kecil Raden Soedirman (selanjutnya Soedirman) lebih banyak tinggal bersama pamannya ketimbang bersama orangtuanya.
Masalah ekonomi menjadi alasan utama Soedirman tinggal bersama pamannya, Raden Cokrosunaryo yang saat itu adalah seorang camat.
Soedirman mulai mengenyam bangku sekolah ketika ia berusia 7 tahun. Ia dimasukkan ke Hollandsche Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk pribumi pada masa kolonial Belanda.
Lulus dari HIS, Soedirman kemudian pindah ke sekolah menengah milik Taman Siswa. Namun hanya satu tahun karena sekolah milik Taman Siswa itu dianggap liar oleh Belanda dan akhirnya dilarang.
Soedirman kemudian pindah ke MULO, setingkat SMP Wiworotomo.
Di Wiworotomo, Soedirman banyak belajar ilmu agama dari Raden Muhammad Kholil. Ia terkenal sangat taat beragama, bahkan teman-temannya menjulukinya sebagai “Haji”.
Ia juga aktif berorganisasi, ia menjadi salah satu pendiri organisasi kepemudaan, seperti pramuka di bawah naungan Muhammadiyah, Hisbul Wathan (HW).
Meski prestasi akademiknya biasa saja, namun Sudirman terkenal sangat disiplin, hal ini tidak lepas dari didikan sang paman.
Pernah dalam sebuah acara jambore yang diadakan oleh HW di lereng Gunung Slamet yang sangat dingin, semua peserta jambore tidak tahan dengan hawa dingin yang menyengat itu.
Semua bermalam di rumah-rumah penduduk setempat, kecuali satu orang, Soedirman.
Pada 1934, sang paman yang mengasuhnya meninggal dunia. Hal ini membuat perekonomian keluarganya semakin payah. Beruntung Soedirman tetap diizinkan sekolah di Wiworotomo sampai ia tamat pada 1935 tanpa membayar tagihan sekolah.
Lulus dari MULO Wiworotomo, Soedirman kemudian melanjutkan ke Kweekschool, sekolah calon guru milik Muhammadiyah di Solo.
Namun karena kendala biaya, ia hanya bertahan setahun dan kemudian pulang ke Cilacap, Jawa Tengah.
Pulang ke Cilacap, Soedirman menjadi guru di HIS Muhammadiyah sekaligus menjadi anggota organisasi tersebut. Ia kemudian diangkat menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut.
Pada 1943, Soedirman menjalani pendidikan militer Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor yang diselenggarakan oleh Jepang.
Riwayat Karier
- Guru di HIS Muhammadiyah Cilacap
- Anggota Syu Sangikai (semacam DPR di Banyumas) (1942 – 1944)
- Komandan Batalyon Kroya, Cilacap
- Panglima Divisi V Banyumas, dengan pangkat Kolonel (1945)
- Panglima Besar TKR, dengan pangkat Jenderal (1945 – 1959)
Pada 29 januari pukul 18.30, diusianya yang masih 34 tahun, Sudirman menghembuskan napas terakhir.
Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya di Makam Taman Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta, di samping makam Urip Sumohardjo.
Namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 314 tahun 1964 tanggal 10 Desember 1964.
Penghargaan
- Pahlawan Nasional Indonesoa (1964)
- Jenderal Besar Anumerta Bintang Lima (1997)